Oleh Ustadz Apad Ruslan
(Arrahmah.com) – Kesesatan Syi’ah begitu halus dibungkus penganutnya. Masyarakat awam pun banyak yang terpedayai aksi taqiyyah kaum syi’i, baik melalui media aksi, intelektual, sosial maupun politik. Karenanya, mari kita kenali hakekat Syi’ah berdasarkan kajian Sigabah.com berikut yang diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?). Bismillah.
A. Mengenal Syi’ah
Secara etimologi, kata as-Syi’ah dalam bahasa Arab berarti pengikut atau pendukung. Sementara dalam kajian sekte-sekte Islam, secara terminologis Syi’ah berarti orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali ra. Secara khusus, dan berpendapat bahwa hanya Sayyidina Ali ra. saja yang berhak menjadi khalifah dengan ketetapan nash dan wasiyat dari rasulullah SAW., baik secara tersurat maupun tersirat. Mereka berkeyakinan bahwa hak imamah (menjadi pemimpin umat Islam) tidak keluar dari keturunan beliau. Apabila imamah ternyata tidak dalam genggaman keturunan Sayyidina Ali ra., berarti ada kezaliman dari pihak lain atau imam yang berhak sedang menerapkan konsep taqiyyah.
Berangkat dari definisi ini, Ibnu Hazm azh-Zhahiri memberikan penjabaran lebih detail, bahwa siapa saja yang menyepakati Syi’ah dengan beranggapan jika Sayyidina Ali ra. Adalah orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW., dan hanya beliau berikut keturunannya saja yang lebih berhak menjadi pemimpin umat Islam (imamah), maka orang tersebut dapat dikategorikan sebagai Syi’ah.
Mengikuti penegasan Ibnu Hazm, maka selanjutnya kita dapat mengidentifikasi person-person atau kelompok-kelompok baru dengan nama dan slogan baru yang muncul belakangan: adakah ia masuk dalam kategori Syi’ah atau bukan? Identifikasi semacam ini adalah logis, mengingat dua identitas atau lebih bisa saja melekat pada satu orang: Ibnu Abi al-Hadid disebut sebagai Syi’i-mu’tazili, yang berarti bahwa ia mengikuti faham Syi’ah, namun dalam waktu yang bersamaan juga sepakat dengan mu’tazilah. Dalam konteks keindonesiaan, Ulil Absar Abdalla disebut sebagai NU-liberal, sebab secara organisatoris, ia adalah orang NU, namun pada waktu yang bersamaan, ia justru mengusung faham liberalisme—yang amat dikecam oleh NU karena bersebrangan dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah (aswaja).
Jadi, LSM, kelompok atau gerakan dengan nama dan label apapun, jika memiliki faham sebagaimana faham Syi’ah dan mengusung kepentingan dengan menggunakan ideologi Syi’ah, maka ia adalah Syi’ah. Demikian pula hanya dengan individu (perorangan) baik berafiliasi pada suatu organisasi atau tidak, jika faham dan ideologinya sama dengan Syi’ah, maka ia juga dapat dikategorikan sebagai Syi’ah.
Dalam diskursus ini, muncul pula orang-orang yang tidak berafiliasi pada kelompok mana pun, namun mereka getol menganjurkan ‘persatuan’ atau ‘kompromisasi’ antar umat tanpa memperdulikan akidah, ideologi dan manhaj al-fikr atau framework-nya. Tentunya, kelompok ini tidak bisa kita masukan pada firqah-firqah tertentu dalam Islam, sebab realitanya mereka tidak condong pada kelompok manapun. Hanya saja, dalam batas-batas tertentu mereka bisa dikategorikan sebagai penganut faham ‘agnostisisme’ (al-Laa Adriyah). Mereka adalah orang-orang yang tidak memperdulikan akidah dan ideologi, cuek terhadap ajaran-ajaran keagamaan dan hal-hal yang menurut mereka menghambat persatuan dan kemajuan umat. Karena itu, orang ini masa bodoh (la adriy) terhadap ajaran haq dan mereka menganggapnya tidak penting. Biasanya, pemikiran seperti ini banyak muncul dari kalangan Liberalisme.
Sekadar untuk dimaklumi, bahwa sebetulnya kelompok terakhir ini bukan berarti sama sekali absen dari suatu ideologi. Sebab selama manusia hidup, ia tidak bisa lepas dari suatu nilai (value) yang diyakini akan kebenarannya secara mutlak. Dengan demikian, orang yang ‘tidak berafiliasi’ pada suatu ideologi atau faham tertentu, dan untuk mnganjurkan untuk melepaskan diri dari faham-faham yang dianutnya, sebetulnya ia sedang mengaplikasikan faham yang ia anut dan diyakini akan kebenarannya secara mutlak, yakni faham ‘agnistisisme’ atau “tidak tahu-isme.” Pada batas-batas tertentu, pemikiran semacam ini telah melampaui batas-batas ekstremitas, dan karenanya juga wajib diwaspadai.
B. MUNCULNYA SYIAH
1. Gejolak Awal
Semasa hidup, Nabi Muhammad SAW. Menjadi rujukan utama para sahabat dalam menyelesaikan setiap urusan mereka, baik berkenaan dengan masalah keagamaan maupun masalah keduniaan. Ketika suatu kasus muncul, para sahabat langsung mengutarakannya pada Nabi SAW., dan beliau pun menjawab dan memberikan penyelesaian finalnya. Jadi, seiring problem demi problem yang dihadapi umat Islam, pada periode ini relatif tidak ada perbedaan pendapat yang terjadi di antara umat Islam.
Setelah Rasulullah SAW. Meninggal, tentunya tidak ada otoritas tunggal yang menjadi pengayom umat Islam, mengatur masalah keduniaan dan keagamaan mereka seperti sedia kala, dan menjadi pengendali bagi gerak-langkah mereka. Menyadari akan arti penting kehadiran seorang pemimpin (top leader), maka para sahabat pun melakukan musyawarah, berunding guna membahas dan menyelesaikan permasalahan yang paling krusial ini.
Syekh al-Khudhari mengatakan, “Pasca wafatnya Rasulullah SAW., umat Islam (sahabat) bersepakat akan kewajiban untuk menegakkan khilafah. Kesepakatan ini pada gilirannya dijadikan pedoman oleh umat Islam generasi selanjutnya, kecuali sebagian kecil dari kelompok Khawarij dan sebagian Mu’tazilah . Mereka berpendapat bahwa, apabila kehidupan umat telah berjalan baik dan ajaran agama (al-Qur’an dan hadits) dilaksanakan, maka khalifah sudah tidak diperlukan lagi.”
Akan tetapi justru pada titik inilah perselisihan mulai terjadi. Bahwa kemudian para sahabat berbeda pendapat mengenai siapakah yang sebetulnya berhak menduduki posisi khalifah. Sebab memang tidak ada nash yang tegas secara langsung menunjuk pengganti Nabi SAW. Serta tidak ada wasiat apa pun dari Nabi SAW. Mengenai pengganti beliau, di samping posisi ini merupakan kedudukan yang istimewa, yang tentunya sulit terhindar dari ragam peta pemikiran yang selalu bersebrangan. Permasalahan ini telah banyak menguras pemikiran para pembesar ulama Islam. Silang pendapat mengenai pemegang posisi khilafah inilah merupakan perselisihan yang pertama kali terjadi di tubuh umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW.
Sampai di sini, agaknya tidak heran jika kemudian muncul pertanyaan: kenapa umat Islam harus tenggelam dalam perselisihan pendapat sepenginggal Rasulullah SAW., padahal beliau telah membekali mereka dengan petunjuk yang demikian terang benderang, mewariskan al-Qur’an dan al-Hadits, yang jika dijadikan pedoman, maka mereka tidak akan tersesat selamanya?
Menanggapi pertanyaan ini, al-Imam Muhammad Abu Zahrah menjelaskan beberapa faktor yang memicu terjadinya perselisihanp—yang pada gilirannya juga kerap memantik terjadinya perpecahan. Di antaranya adalah faktor fanatisme dan ambisi kekuasaan. Faktor-faktor tersebut merupakan fenomena yang inheren dengan kehidupan sosial umat manusia, dan karenanya perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan sesuatu yang natural. Artinya, dunia ini tidak akan pernah lepas dari segenap problematika yang menjadi pemicu terjadinya silang pendapat dan perpecahan. Nah, di sini al-Qur’an dan al-Hadits berfungsi sebagai petunjuk yang selalu dapat mengatasi problematika umat Islam yang akan terus berlanjut tanpa terputus waktu.
Tapi apakah perbedaan pendapat dan pemikiran selalu ada dalam batas kewajaran yang harus dimaklumi adanya? Di sinilah titik permasalahan yang tengah kita hadapi. Perbedaan sebagai rahmat, sebagaimana ditunjuk oleh sebuah hadits, “perbedaan yang terjadi di antara umatku adalah rahmat” adalah tidak mencakup ajaran-ajaran yang prinsip (ushul) dalam agama. Dalam konteks ini, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan :
مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ اَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَخْتِلفُوا أَلاَ إِنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ .
Saya tidak bahagia jika tidak ada perbedaan pendapat diantara sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW., andaikan tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka, maka tidak akan ada rukhshah (toleransi hukum).
Imam Jalaluddin as-Suyuthi mengomentari pernyataan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut demikian, “Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud perbedaan sebagai rahmat adalah dalam lingkup hukum-hukum fikih. Ada pula kalangan yang mengatakan bahwa yang dikehendaki dengan perbedaan itu adalah pada tataran pekerjaan dan mata pencaharian.”
Pernyataan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut, dengan demikian, telah ada dalam konteksnya yang tepat, sebab para sahabat memang tidak pernah berbeda pendapat dalam tataran Ushul ad-Din (pilar-pilar dasar agama).
Sebagai kelaziman dari kesimpulan di atas, maka melalui dalil-dalil yang sangat kuat, para ulama juga berkesimpulan bahwa perbedaan dalam tataran Ushul ad-Din (pilar-pilar dasar agama) dengan demikian bukanlah sebuah rahmat, akan tetapi sebaliknya, malah menjadi ‘adzab’ (siksa atau petaka), dan karenanya pada wilayah ini harus selalu diupayakan untuk tidak terjadi perbedaan. Terkait dengan hal ini, dalam al-Qur’an disebutkan:
شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَ مَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَ مُوْسَى وَ عِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيْهِ (الشورى [٤۲]:۱۳)
“Dia telahmensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecahbelah tentangnya.” (QS. Asy-Syura [42]: 13).
Asy-Sya’rani menegaskan, bahwa ayat di atas memberikan uraian yang sangat tegas jika perbedaan dalam hal pokok-pokok agama tidaklah sama dengan perbedaan dal hal-hal cabang yang ‘non-prinsip’. Karena itu, asy-Syar’ani secara bulat menyatakan bahwa mereka berpandangan bahwa rahmah yang ditunjuk dalam hadits ikhtilaf al-ummah juga mencakup perbedaan dalam hal Ushul ad-Din, adalah pandangan yang salah total.
Rumusan as-Syar’ani ini sejalan dengan penjelasan para pakar tafsir untuk ayat tersebut. Ath-Thabari, misalnya, ketika menafsiri potongan ayat “wa laa tatafarraqu fihi” (dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya/agama) menyatakan, “Ketahuilah bahwa perbedaan (dalam wilayah ini) adalah kebinasaan, dan bahwa persatuan adalah sebuah kepercayaan yang kokoh.” Ibnu katsir juga memberikan komentar sebagai berikut, “Allah SWT. berwasiat kepada para nabi dengan persatuan dan melarang mereka bercerai-berai serta berbeda pendapat.”
Nah, dalam konteks inilah hadits iftiraq al-ummah mengambil peranannya yang tepat. Bahwa ketika perbedaan dalam hal prinsip-prinsip agama tidak diperkenankan, dan ternyata perbedaan itu di kemudian hari memang akan terjadi tanpa terelakkan, maka Nabi SAW. memberikan warning dalam haditsnya, agar kita tetap berada pada jalur-jalur agama yang telah beliau lalui bersama para sahabat beliau, sehingga menjadi kelompok yang selamat dunia-akhirat. Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr – radhiyaallahu’ anhuma, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Bani Isra’il telah terkotak-kotak menjadi tujuh puluh dua kelompok. Dan umatku akan terkotak-kotak menjadi tujuh pulun tiga kelompok. Semuanya akan masuk ke neraka, kecuali satu kelompok.” Sahabat bertanya, “Siapakah yang satu itu?” Beliau menjawab, “Dia yang sesuai dengan (ajaran)ku dan sahabat-sahabatku.”
(adibahasan/sigabah/arrahmah.com)