Oleh: Abu Fikri
(Arrahmah.com) – Mencoba memahami keterkaitan antara isu radikalisme dan terorisme melalui pintu ISIS yang marak akhir-akhir ini dengan sosialisasi Indonesia dalam ancaman Neo Liberalisme dan Neo Imperialisme yang belum begitu dipahami oleh masyarakat secara meluas adalah sesuatu yang menarik. Di satu sisi Pemerintah dengan berbagai elemen sibuk memperkuat opini terorisme dan radikalisme sebagai ancaman nasional. Di sisi lain ada arus penyadaran umat tentang ancaman nasional sesungguhnya melalui neo liberalisme dan neo imperialisme. Kenapa pula disebut dengan ancaman bukan cengkeraman sebagaimana yang secara masif dikampanyekan oleh salah satu ormas di negeri ini.
Dalam Wikipedia, ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman adalah bagian dari risiko. Sedangkan risiko adalah buah pikir dari sebuah ancaman. Jenis Ancaman antara lain : Ancaman militer dan Ancaman non militer/nirmiliter. Sedang sasaran ancaman adalah negara, bangsa, pemerintah, masyarakat, individu dan wilayah. Kepentingan ancaman negara yaitu kedaulatan dan kemerdekaan negara, keutuhan wilayah, bangsa, persatuan bangsa, Nilai-nilai luhur bangsa, pemerintah, kebijaksanaan dan tindakan pemerintah, legitimasi pemerintah.
Sasaran secara individu meliputi keamanan jiwa diri dan keluarga. Serta harta kekayaan. Ancaman juga bisa berupa ancaman masa depan berupa serangan simultan dari dalam dan atau didukung dari luar. Termasuk serangan multi arah melewati batas negara, serangan asimetri, serangan oleh negara kecil dan bukan negara, serangan jaringan teroris internasional, serangan terhadap sistem kehidupan masyarakat.
Diantara salah satu konten jerat hukum atas tindak ancaman adalah
pasal 29 UU ITE “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.” Pasal 45 ayat (3) UU ITE “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Jika kita perhatikan maka secara sederhana kita bisa melihat potensi ancaman yang bisa memenuhi kategori defenisi sebagaimana disitir oleh Wikipedia hanyalah ancaman yang dilakukan oleh kekuatan negara besar atau kekuatan politik internasional yang mendominasi dan memainkan peran penting dalam peta percaturan politik internasional. Kecuali ancaman yang potensial terjadi sebagai wujud sebagian kecil saja dari pengertian ancaman secara menyeluruh. Sementara jerat hukum sebagaimana dijelaskan dalam UU ITE hanyalah untuk menjerat pidana ancaman oleh individu atau kelompok. Dan belum ada sebuah konstruksi hukum satupun yang mampu menjerat pidana ancaman yang dilakukan oleh negara atau kekuatan politik internasional semisal Multi National Corporation.
Neoliberalis sebuah ancaman
Terlepas dari perdebatan secara teori defenisi neo liberalis, secara faktual kebijakan neo liberalis nampak pada salah satunya skema SAP (Structural Adjustment Program/Program Penyesuaian Struktural) sebagai Letter Of Intents IMF yang dipaksakan pada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis besar adalah : liberalisasi perdagangan, privatisasi/swastanisasi BUMN, penghapusan subsidi (BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, telepon, dan lain- lain), dan restrukturisasi keuangan.
Esensi liberalisasi perdagangan adalah dibukanya proteksi pasar domestik untuk perdagangan internasional. Di bidang investasi, sebagai syarat pencairan hutang, IMF merekomendasikan kepada pemerintah untuk: menghapus batasan kepemilikan saham 49 % bagi investor asing -kecuali perbankan–, menghapuskan larangan investasi pada sektor perkebunan, dan mencabut larangan investasi asing dalam perdagangan eceran (supermarket, mall, waralaba, dan sebagainya). Modal internasional pun akan leluasa mengeksploitasi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan menggusur pasar-pasar tradisional.
Sedang swastanisasi BUMN pada hakekatnya adalah sebuah upaya sistemik pengalihan sektor pengelolaan strategis dari representasi negara (baca BUMN) kepada pemodal internasional seperti Multi Nasional Corporation. Pengalihan sektor pengelolaan strategis itu meliputi manajemen dan kepemilikan. Dan naifnya proses pengalihan itu dibangun menggunakan argumentasi penyesatan opini seperti bahwa “BUMN sarang korupsi” maupun “swasta lebih bisa mengelola”.
Penghapusan subsidi pada hakekatnya cuman sebagai retorika angka-angka. Sementara asumsi tujuan penghapusan subsidi dalam kacamata kebijakan neo liberal adalah bagaimana mengalihkan subsidi konsumtif kepada subsidi produktif. Subsidi publik dianggap pemborosan maka subsidi harus diarahkan kepada mekanisme pasar karena justru biaya yang akan ditanggung konsumen (rakyat) akan lebih murah. Termasuk subsidi sosial seperti pendidikan, kesehatan, energi dan kebutuhan dasar rakyat lainnya. Begitu propagandanya.
Terakhir dari SAP adalah restrukturisasi keuangan yang pada intinya adalah rekapitalisasi perbankan dan penyelesaian hutang (hutang luar negeri pemerintah dan swasta, penyelesaian kredit-kredit macet domestik oleh BUMN-BUMN maupun oleh swasta). Rekapitalisasi perbankan dianggap sebagai faktor penting untuk menstabilkan perekonomian. Tidak masalah bagi IMF maupun pemerintah untuk mengcovernya sekalipun digunakan sebagai ladang subur bagi para bankir, pejabat BI maupun birokrasi.
Kita bisa memahami kemudian bahwa 4 konten dalam Struktural Adjusment Program LOI IMF adalah infrastruktur ekonomi politik yang membuka jalan lapang interdependensi (ketergantungan) negara miskin seperti Indonesia terhadap negara adi daya AS. Dengan kata lain ancaman neo liberalisme melalui implementasi kebijakannya telah mewujud secara nyata. GATT, APEC, MEA 2015 dan terakhir KAA 2015 di Bandung dan Jakarta adalah forum-forum internasional yang dianggap sebagai sebuah keniscayaan tetapi sesungguhnya menjadi media yang memuluskan jalan liberalisasi perdagangan, pencabutan subsidi, swastanisasi BUMN dan restrukturisasi keuangan. Dan itulah yang dimaksud dengan neo imperialisme. Sebuah imperialisme gaya baru di bidang ekonomi politik melalui penguatan forum-forum internasional maupun legal of frame. Yang mengancam secara sistemik sebagaimana dijelaskan oleh Wikipedia di atas.
Posisi ISIS sebagai simbol war on terrorism
Pengelolaan isu ISIS sebagai simbol radikalisme dan terorisme memiliki peran strategis untuk mengaburkan arti ancaman sesungguhnya. Dan dalam kerangka peta pengaruh mempengaruhi maka kepentingan membuka jalan mudah untuk mengimplementasikan setidaknya 4 konten SAP LOI IMF adalah dengan jalan mengeleminasi segala bentuk perlawanan melalui treatment jebakan intelektual, politik maupun legislasi. Dengan kata lain pengarustamaan opini penanggulangan terorisme dan radikalisme melalui pintu ISIS berhadapan secara vis a vis dengan pengarustamaan opini Indonesia dalam ancaman Neo Liberalisme dan Neo Imperialisme. Karena sesungguhnya ISIS hanyalah tema antara untuk memberikan signal kepada siapa saja yang diidentifikasi sama secara intelektual maupun politik. Terutama kesamaan dalam konteks pemahaman terkait dengan simbol, ajaran maupun profil para pengembannya. Fenomena sertifikasi da’i, pemblokiran situs-situs islam, revisi UU Terorisme, sinergitas penanggulangan terorisme radikalisme, deradikalisasi, penangkapan terduga teroris jaringan ISIS, dan lain-lain adalah sebuah kerangka sistemik untuk memuluskan kepentingan sebenarnya di balik propaganda terorisme ISIS sebagai ancaman nasional. Apalagi kalau bukan kepentingan skenario global mengelola Indonesia sebagai negara strategis di antara dua samudra dan dua benua. Yang perairannya menjadi tempat 50 persen sirkulasi perdagangan internasional. Dan Selat Malakanya menjadi perairan yang menjadi lintasan pengangkutan minyak terbesar kedua setelah Selat Hormuz. Dimana ada Armada 7 AS yang senantiasa mengamankan dan mengendalikannya. Kekayaan flora, fauna, ragam budaya, sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang melimpah. Lengkap sudah ancaman dilakukan secara komprehensif yang ditunjukkan dengan simbol-simbol antara lain : keberadaan Kedubes AS, latihan militer bersama, penyadapan intelijen, intervensi politik melalui pilpres, dan terakhir perayaan Independence AS di Losari Makassar secara outdoor seolah mengindikasikan berpindahnya barometer politik ekonomi di Indonesia. Dari Jakarta berpindah di Makassar. Mengingat nilai strategis Indonesia Timur sebagai titik konsentrasi eksplorasi eksploitasi sumber daya alam dan perdagangan.
Cengkeraman bukan ancaman
Melihat fenomena di atas hubungan posisi pembangunan opini penanggulangan terorisme radikalisme di satu sisi. Dengan kepentingan kekuatan ekonomi politik global di bawah komando AS yang dominan di sisi yang lain. Maka sesungguhnya Indonesia tidak lagi tepat dikatakan sebagai dalam ancaman. Karena istilah ancaman secara sederhana bahasa dipahami sebagai potensi yang akan membahayakan. Sementara neo liberalisme dan neo imperialisme dalam wujudnya sebagaimana yang telah dijelaskan sudah terjadi dan semakin menghegemoni. Maka Indonesia sesungguhnya bukan saja dalam ancaman Neo Liberalisme dan Neo Imperialisme melainkan Indonesia dalam Cengkeraman Neo Liberalisme dan Neo Imperialisme. Bagaimana keluar dari jerat cengkeraman ini ? Harus ada sebuah kekuatan besar yang berakar dari keyakinan umat akan datangnya kebangkitan melalui sebuah kekuatan negara yang memiliki kemampuan politik untuk menghadang sekaligus menghalanginya. Gabungan kekuatan pemikiran, politik dan militer yang terhimpun dari berbagai elemen umat untuk menghimpunnya. Berakar dari ajaran Islam yang memuat syariah, dakwah, jihad dan khilafah. Wallahu a’lam bis showab.
(*/arrahmah.com)