JAKARTA (Arrahmah.com) – Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menggelar pertemuan antara Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi (Prass) dengan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) makin memperkuat bukti bahwa orang nomor satu di Indonesia itu sesungguhnya tidak memahami aturan serta sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Pertemuan tersebut rencananya dilangsungkan di Istana Negara, Senin (13/4/2015) besok.
“Kemelut yang terjadi antara Ahok dengan DPRD yang bermuara keputusan Hak Angket dan bakal meningkat pada HMP (Hak Menyatakan Pendapat) merupakan realitas dan dinamika penyelenggaraan otonomi daerah yang sepenuhnya wewenang mendagri,” kata pengamat ibu kota dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW) Amir Hamzah, Ahad (12/4/2015), dikutip dari Harianterbit.
Menurut Amir, mendagri antara lain mempunyai tupoksi pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Atas dasar itulah, kata Amir, prakarsa Jokowi untuk mempertemukan Ahok dengan Prass, selain melenceng dari aturan.
“Gagasan pertemuan itu merupakan campur tangan yang akan menimbulkan kecurigaan tentang kemungkinan indikasi keterlibatan Jokowi dalam beberapa kasus korupsi di Pemprov DKI Jakarta saat dia masih gubernur,” terang Amir.
Selain itu, intervensi yang bias atiran ini, lanjut Amir, juga dapat diartikan sebagai kesengajaan Jokowi untuk menihilkan peran dan tugas Mendagri Tjahjo Kumolo yang oleh undang-undang diberi kewenangan serta kekuasaan untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Ketua DPRD berdasarkan UU tidak memiliki fungsi eksekutor, maka apapun hasil yang dicapai dalam pertemuan segitiga besok tidak harus diterima oleh DPRD DKI. Atau dengan kata lain, apapun hasil keputusan pertemuan ini tidak mengikat DPRD,” jelas Amir. (azm/arrahmah.com)