Oleh: Al-Imam Ibnul Jauzi
(Arrahmah.com) – Berkata Ibnul Jauzi rahimahullahu tentang induknya khawarij dan peringatan akan bahayanya manhaj mereka:
Khawarij yang pertama dan yang terburuk keadaannya adalah Dzul Khuwaishirah.Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu anhu telah berkata:
“Ali bin Abu Thalib mengirimkan dari Yaman sebatang emas yang belum diangkat dari cetakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membagikannya kepada empat orang: ‘Uyainah bin Badr, Aqra bin Habis, Zaid Al Khail, dan yang keempat adalah Alqamah atau ‘Amir bin Thufail. Melihat hal itu, salah seorang sahabat berkata, ‘Kami lebih berhak atas emas tersebut daripada orang-orang ini.’ Ketika kabar itu didengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku adalah orang yang terpercaya dari langit? Aku menerima kabar dari langit, pagi hari maupun sore hari.’ Tiba-tiba seorang laki-laki dengan mata cekung, tulang pipi cembung, dahi menonjol, berjanggut tipis, berkepala gundul dan menggunakan ikat pinggang berdiri dan berkata, ‘Ya Rasulullah! Takutlah kepada Allah.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Celaka kamu. Bukankah di muka bumi ini akulah yang paling takut kepada Allah?’ Orang itu beranjak dari tempat duduknya. Khalid bin Walid berkata: ‘Ya Rasulullah! Izinkan aku menebasnya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Jangan, bisa jadi ia mengerjakan shalat.’ Khalid berkata: ‘Berapa banyak orang yang shalat berkata dengan lisannya yang tidak sesuai dengan hatinya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Aku tidak diperintah untuk menyelidiki hati seseorang atau mengetahui isi perutnya.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat kepada orang itu ketika hendak pergi: ‘Sesungguhnya dari keturunannya akan muncul suatu kaum yang membaca Kitabullah tetapi hanya sampai tenggorokannya saja. Mereka lepas dari agama sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.”
Aku kira Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berkata: “Seandainya aku hadir pada masa itu aku akan membunuh mereka sebagaimana bangsa Tsamud dibinasakan.” (HR. Al-Bukhari – 4004)
Lelaki itu kemudian dikenal dengan nama Dzul Khuwaisirah At-Tamimi. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ia telah berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berlaku adillah engkau!”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya: “Celaka engkau! Siapa yang bisa adil jika aku tidak adil?”
Dialah khawarij pertama dalam sejarah Islam, dia mencukupkan dirinya dan merasa ridha’ dengan pendapat nafsunya saja. Seandainya dia berada diatas ilmu tentulah dia tahu bahwa tidak boleh ada pendapat diatas keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pengikut lelaki inilah yang di kemudian hari membunuh Ali radhiyallahu anhu. Peritiwa ini terjadi ketika bergulirnya perang berkepanjangan antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu anhuma. Suatu ketika pasukan Muawiyah radhiyallahu anhu mengangkat mushaf-mushaf dan memanggil pasukan Ali radliyallahu ‘anhu untuk bertahkim (mengadakan perundingan).
Maka mereka berkata: “Kalian memilih satu orang dan kami juga memilih satu orang. Kemudian kita minta keduanya untuk memutuskan perkara berdasarkan Kitabullah”.
Maka orang-orang (yang terlibat dalam peperangan itu) berkata: “Kami setuju!”
Lalu pasukan Muawiyah radhiyallahu anhu mengirim ‘Amr bin Al-‘Ash. Dan pasukan Ali radhiyallahu anhu berkata: “Utuslah Abu Musa Al-Asy’ari”. Ali radhiyallahu anhu berkata: “Aku tidak setuju kalau Abu Musa, ini Ibnu Abbas, dia saja.” Mereka berkata: “Kami tidak mau dengan orang yang masih ada hubungan kekeluargaan denganmu.” Maka akhirnya dia (Ali Radliallahu’anhu) mengirim Abu Musa dan keputusan (tahkim) diundur sampai Ramadhan.
Maka Urwah bin Udzainah (salah seorang tokoh khawarij -pent) berkata: “Kalian telah berhukum kepada manusia pada perintah Allah. Tidak ada hukum kecuali milik Allah.”
Kemudian Ali radhiyallahu anhu pulang dari Shiffin dan masuk ke kota Kufah. Lalu khawarij muncul dengan jumlah 12.000 pasukan, mereka berkata: “Tiada hukum melainkan hukum Allah”. Itulah awal kemunculan mereka. Mereka berkata bahwa pemimpin perang mereka adalah Syabib bin Rib’i At-Tamimi dan pemimpin shalat mereka Abdullah bin Al-Kuwa Al-Yasykari.
Para Khawarij adalah ahli ibadah, tetapi mereka meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari Ali radhiyallahu anhu, disinilah penyakit mereka yang berbahaya.
Berkata Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu: “Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul menyendiri di suatu daerah. Ketika itu mereka ada sekitar 6000 orang. Mereka berkumpul untuk memberontak pada Ali bin Abi Thalib. Sehingga datang seseorang dan melaporkan pada Ali bin Abi Thalib: ‘Wahai amirul mukminin, sesungguhnya ada kaum yang akan memberontak padamu.’ Ali bin Abi Thalib berkata: ‘Biarkanlah mereka, sesungguhnya aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan pasti mereka akan lakukan itu.’
Maka aku (Abdullah bin Abbas -pent) berkata kepada Ali bin Abi Thalib: ‘Wahai amirul mukminin, tundalah shalat zhuhur hingga matahari tidak terlalu panas, mungkin aku bisa berbicara dengan mereka kaum Khawarij.’ Ali berkata: ‘Aku mengkhawatirkan keselamatanmu.’ Aku berkata: ‘Tidak perlu khawatir, aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.’ Maka Ali pun mengizinkanku.
Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki hingga masuk di barisan mereka di tengah siang. Aku benar-benar berada di tengah suatu kaum yang belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat beribadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, kepalan tangan mereka menebal bagaikan lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat pasi karena kurang tidur, mereka menghabiskan malam untuk beribadah.
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku: ‘Selamat datang, wahai Ibnu Abbas. Apa gerangan yang membawamu kemari?’
Aku berkata: ‘Aku datang pada kalian sebagai perwakilan dari sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, dan juga dari sisi menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (Ali), kepada merekalah Al-Quran diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Al-Quran daripada kalian.’
Sebagian Khawarij berkata ke sesama meraka: ‘Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu Abbas – pent.). Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.’
Dua atau tiga orang dari mereka berkata: ‘Biarlah kami yang akan mendebatnya!’
Ibnu Abbas berkata: ‘Wahai kaum, beri aku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal Al-Quran diturunkan kepada mereka, dan tidak ada seorang Shahabat pun yang bersama kalian. Ali adalah orang yang paling mengerti tentang penafsiran Al-Quran.’
Mereka berkata: ‘Kami punya tiga alasan.’
Ibnu Abbas mengatakan: ‘Sebutkan (tiga alasan kalian).’
‘Pertama, sungguh Ali telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman:
إِنِ الحُكْمُ إلاَّ لِلهِ
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.‘ (QS. Yusuf: 40)
‘Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah Ta’ala,’ kata mereka.
Aku menanggapi: ‘Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?’
Mereka melanjutkan: ‘Kedua, sesungguhnya Ali telah berperang dan membunuh, tapi mengapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (orang-orang yang berperang melawan Ali) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.’
Aku bertanya lagi: ‘Lalu apa alasan kalian yang ketiga?’
Kata mereka: ‘Ketiga, dia telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).’
Aku berkata: ‘Ada alasan selain ini?’
Mereka berkata: ‘Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!’
Aku mulai menanggapi pernyataan mereka: ‘Ucapan kalian bahwa Ali radhiallahu ‘anhu telah menjadikan manusia untuk memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pent), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan kerancuan kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?’
Mereka menjawab: ‘Ya, tentu kami akan kembali.’
Aku berkata: ‘Ketahuilah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.’ (QS. Al-Maidah: 95)
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, AllahSubhanahu wa Ta’ala juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman:ا
‘Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (pemutus perkara) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.’ (QS. An-Nisa’: 35)
Demi Allah, jawablah, apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?’
Mereka katakana: ‘Inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.’
Aku berkata: ‘Apakah kalian telah memahami masalah pertama?’
Mereka berkata: ‘Ya.’
Aku melanjutkan: ‘Adapun ucapan kalian bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu telah berperang tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah). Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita, kalian telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala –pent.). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir -pent.), maka kalian pun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman:
Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.’ (QS. Al-Ahzab: 6)
Aku berkata: ‘Apakah kalian telah memahami masalah ini?’
Mereka menjawab: ‘Ya.’
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata lagi: ‘Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang paling kalian ridhai, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah melakukan perjanjian damai dengan orang-orang musyrik, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi?
Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ali: ‘Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.’ Ali menulis: ‘Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…’
Orang-orang musyrik berkata: ‘Demi Allah! Kami tidak mengakui engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai utusan Allah, tentu kami tidak akan memerangimu!’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali, tulislah: Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah.’ (Rasulullah memerintahkan Ali untuk menghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian –pent.)
Aku berkata: ‘Demi Allah, sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mulia dari Ali, meskipun demikian beliau menghapuskan sebutan rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah!’
Aku (Ibnu Abbas) berkata: ‘Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).'”Selesai perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhu
Dari Jundub al-Azdi ia berkata: “Ketika kami pergi kepada kaum Khawarij dan kami bersama Ali bin Abi Thalib, kami sampai ke perkemahan mereka dan mereka berdengung seperti dengungan lebah (yang datang) dari bacaan Quran (mereka).”
Dalam riwayat yang lain: “Tatkala Ali radhiyallahu anhu sedang mengadili, datang padanya dua orang khawarij Zar’ah bin Al-Baraj At-Tha-i dan Harqhus bin Zuhair As-Sa’di. Mereka berkata pada Ali: ‘Tiada hukum melainkan hukum Allah.’ Lalu Ali juga berkata: ‘Tiada hukum melainkan hukum Allah.’ Kemudian Harqhus berkata pada Ali: ‘Bertaubatlah dari kekeliruanmu dan revisilah apa yang telah engkau putuskan atas kami, keluarlah bersama kami untuk kita perangi musuh kita sampai kita bertemu dengan Rabb kita. Jika engkau tidak berhenti memutuskan hukum dengan keputusan manusia atas kitab Allah maka kami akan membunuhmu dengan mengharap ridha Allah.'”
Lalu kaum khawarij berkumpul di rumah Abdullah bin Wahab Ar-Rasibi, disana dia bersyukur dan memuji Allah lalu berpidato: “Tidak selayaknya bagi kaum yang beriman kepada Ar-Rahman dan berhukum dengan kitab Allah cenderung mempertimbangkan kepentingan dunia ini dari beramar ma’ruf dan nahi munkar serta dari menyampaikan kebenaran. Maka dari itu, marilah kita keluar bersama (dari imarah Ali –pent.)!”
Lalu mereka menulis surat pada Ali: “Sungguh kau bukan marah karena Allah, engkau hanya marah karena dirimu sendiri. Seandainya kau bersaksi bahwa kau telah kafir kemudian kau mau bertaubat, mungkin kami bisa kembali melihat persoalan antara kami dan engkau. Jika tidak, maka kami putuskan perkaramu diatas yang hal sama. Wassalam.”
Dalam perjalanannya, kaum khawarij bertemu dengan Abdullah bin Khabab. Mereka berkata: “Apakah engkau pernah mendengar dari ayahmu hadits yang disampaikan oleh Rasulullah SAW?” Abdullah bin Khabab berkata: “Iya, saya mendengar ayah saya menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW: ‘Akan terjadi fitnah dimana orang yang duduk lebih selamat dari orang yang berdiri, dan orang yang berdiri dimasa itu lebih baik dari orang yang berjalan, yang berjalan lebih baik dari yang bergegas. Jika engkau berada dimasa itu, maka jadilah hamba Allah yang terbunuh.'”
Para khawarij bertanya: “Apakah benar kau mendengar ini dari ayahmu dan ia mendengar dari Rasulullah?”
Abdullah bin Khabab berkata: “Iya benar.”
Lalu mereka giring Abdullah bin Khabab ke tepi sungai, dan mereka tebas lehernya hingga darahnya mengalir deras. Lalu mereka berpaling ke istrinya yang sedang hamil, mereka belah dan keluarkan isi rahimnya.
Kemudian saat mereka berkemah di hutan kurma di Nahrawan, bebarapa kurma yang telah matang jatuh ke tanah dan salah satu dari mereka mengambilnya dan memakannya. Ketika yang lain memberitahunya bahwa kurma itu haram dimakan tanpa membayarnya, dia langsung memuntahkannya. Ada diantara mereka yang sedang mempertajam pedangnya dan mulai menggerak-gerakkannya di udara., ketika seekor babi milik kaum kafir ahlu dzimmah lewat, ia menebasnya dengan pedang dan berbangga dengan itu. Teman-temannya mengatakan kepadanya bahwa apa yang dia lakukan adalah pelanggaran syari’at, sehingga ia harus menemukan pemilik babi dan membayarnya dengan harga yang disepakati.
Ketika Ali bin Abi Thalib mengutus tentara kepada kaum Khawarij agar mereka menyerahkan pembunuh Abdullah bin Khabab, mereka menjawab bahwa mereka semua yang telah membunuhnya. Permintaan itu diulang tiga kali, dan selalu mereka mengulangi jawaban yang sama. Ali radhiyalahu anhu kemudian mengatakan kepada para tentaranya untuk memerangi mereka. Selama peperangan itu, kaum Khawarij senantiasa mengatakan satu sama lain: “Persiapkanlah dirimu untuk bertemu dengan Tuhan di syurgaNya.” Namun, mereka kemudian mengalami kekalahan yang mengerikan di mana Abdullah bin Wahab dan sebagian besar pengikutnya tewas menggenaskan.
Setelah perang Nahrawan, Abdurrahman bin Muljam berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, mereka meratapi kekalahan kaumnya di Nahrawan dan mengenang teman-teman mereka yang gugur disana. Mereka berkata: “Demi Allah, apa lagi yang akan kita perbuat setelah kepergian mereka? Mereka tidak takut terhadap apapun di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaiknya kita mengorbankan jiwa dan mendatangi orang-orang yang sesat itu. Kita bunuh mereka, sehingga negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas dendam?”
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sa’ad dari para Masyasyikhnya: “Tiga tokoh khawarij -Abdurrahman bin Muljam, Al-Barak bin Abdullah, dan Amru bin Bakr At-Tamimi- berkumpul untuk merencanakan pembunuhan tiga Shahabat; yaitu Ali, Muawiyah dan Amru bin Al-‘Ash radhiyallahu anhum. Berkata ibnu Muljam: ‘Aku yang tangani Ali.’ Berkata Al-Barak: ‘Aku yang tangani Muawiyah.’ Dan berkata Amru: ‘Aku yang tangani Amru.’ Mereka bertiga saling berjanji agar target mereka tidak boleh ada yang selamat. Lalu Ibnu Muljam berangkat ke Kufah, dan pada malam yang mana ia merencanakan aksinya untuk membunuh Ali radhiyallahu anhu, ia melihat Ali keluar untuk shalat subuh, langsung saja ia tebas Ali dan berhasil melukai dahinya, sehingga sampai ke otak. Ali berkata: ‘Janganlah kalian terfitnah oleh laki-laki ini!’ Berkata Ummu Kultsum: ‘Wahai musuh Allah, kau telah membunuh pemimpin orang-orang beriman!’ Ibnu Muljam berkata: ‘Jadi kenapa kau tak menangis?’ Dan dia juga berkata: ‘Demi Allah, aku telah meracuni pedangku, jikapun aku tertangkap dia pasti tetap akan dibinasakan dan dihancurkan oleh Allah.’ Setelah Ali radhiyallahu anhu wafat, hukuman atas Ibnu Muljam pun ditegakkan. Maka Abdullah bin Ja’far memotong kedua tangan dan kakinya, namun Ibnu Muljam tidak merintih dan tak bergeming sama sekali. Kemdian kedua matanya dipaku dengan paku panas, dia Ibnu Muljam juga tetap tidak berteriak bahkan dia membaca surat Al-‘Alaq sampai habis dalam keadaan darah mengalir dari dua matanya. Dan ketika lidahnya akan dipotong barulah dia berteriak, maka ditanyakan kepadanya: ‘Mengapa engkau berteriak?!!’ Dia Ibnu Muljam berkata: ‘Aku tidak suka kalau aku mati di dunia dalam keadaan tidak berdzikir kepada Allah.’ Dan dia Ibnu Muljam adalah orang yang keningnya berwarna kecoklatan karena bekas sujud. Semoga Allah Ta’ala melaknatnya.”
Tatkala Al-Hasan Radhiyallahu anhu ingin menemui Muawiyah Radhiyallahu anhu untuk memberikannya nasehat, seorang Khawarij bernama Al-Jarrah bin Sinan datang pada Al-Hasan dan berkata: “Kau telah musyrik sebagaimana ayahmu dahulu!” Kemudian ia menusuk pangkal paha Al-Hasan radhiyallahu anhu.
Para Khawarij senantiasa memberontak pada para pemimpin kaum muslimin, dan mereka memiliki madzhab yang berbeda-beda:
Pengikut Nafi’ bin Al-Azraq berkata: “Kita adalah orang-orang musyrik selagi berada di negeri kafir, dan jika kita keluar darisana maka kita menjadi orang-orang Islam.”
Mereka juga berkata: “Orang yang menyelisihi madzhab kami adalah orang musyrik, pelaku dosa besar adalah orang musyrik, dan yang hanya duduk (tidak ikut) dalam keputusan kami untuk berperang maka dia kafir.”
Mereka juga membolehkan membunuh wanita dan anak-anak kaum muslimin, dan memvonis mereka semua telah kafir.
Adapun Najdah bin A’mir adalah seorang yang berpengetahuan di kaumnya, dia menyelisihi Nafi’ bin Al-Azraq. Dia berpendapat darah dan harta kaum muslimin haram disentuh, dia juga berpendapat bahwa pelaku dosa dari para pengikutnya tidak diazab oleh Allah di Jahannam, karena neraka jahannam hanya untuk mereka yang menyelisihi madzhabnya. Sebagian pengikutnya berkata: “Jika seseorang memakan harta anak yatim, maka dia wajib masuk neraka. Karena Allah telah menjanjikan untuk dosa itu api neraka.”
Para khawarij mereka memiliki kisah-kisah yang panjang dan madzhab-madzhab yang aneh. Aku tidak ingin memperpanjangnya karena yang dimaukan di sini adalah untuk melihat bagaimana iblis menipu orang-orang yang dungu itu. Yang mereka beramal dengan keadaan mereka dan mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan orang-orang yang bersama dengannya dari kalangan Muhajirin dan Anshar adalah pihak yang salah. Dan mereka beranggapan bahwa hanya mereka saja yang berada di atas kebenaran.
Mereka menghalalkan darah anak-anak kaum Muslimin, akan tetapi menganggap bahwa tidak boleh memakan buah tanpa membayar harganya. Mereka bersusah-susah dalam ibadah dan begadang. Ibnu Muljam berteriak ketika akan dipotong lidahnya, karena takut mati dalam keadaan tidak berdzikir. Namun ia menganggap halal untuk memerangi dan menumpahkan darah Ali Radliyallahu ‘anhu.
Kemudian mereka menghunuskan pedang-pedang mereka kepada kaum Muslimin. Dan tidak ada yang mengherankan dari merasa cukupnya mereka dengan ilmu mereka, dan meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari Ali Radliyallahu ‘anhu. Dan demikianlah juga Dzul Khuwaishirah yang telah berkata kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam: ‘Berbuat adillah, karena engkau tidak adil!’
Dan sungguh, Iblislah yang telah menunjuki mereka kepada kehinaan ini. Kita berlindung kepada Allah dari ketergelinciran seperti ini.
Dari Muhammad bin Ibrahim berkata: aku telah mendengar Rasulullah Shalalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Nanti akan muncul diantara umatku kaum yang membaca Al-Quran, bacaan kamu tidak ada nilainya dibandingkan bacaan mereka, dan shalat kamu tidak ada nilainya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kamu tidak ada artinya dibandingkan puasa mereka, mereka membaca Al-Quran sehingga kamu akan menyangka bahwasanya Al-Quran itu milik mereka sahaja, padahal sebenarnya Al-Quran akan melaknat mereka. Tidaklah shalat mereka melalui kerongkongan mereka, mereka itu akan memecah Islam sebagaimana keluarnya anak panah daripada busurnya.” (Sahih Muslim/ 2467, Sunan Abu Daud/4748 ).
Dari Abdullah bin Abi Aufa’ berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam mengabarkan kepada kami bahwa mereka (Khawarij) adalah anjing-anjing neraka”. Seseorang bertanya padanya: “Wahai Abdullah bin Abi Aufa, apakah kaum Al-Azariqah saja atau Khawarij seluruhnya?” Beliau berkata: “Bahkan Khawarij seluruhnya.”
Pasal-Pasal:
- Merupakan pendapat Khawarij bahwa tidak layak Imamah bagi seseorang, melainkan ia berilmu dan zuhud.
- Dari merekalah lahir firqah Mu’tazilah yang berpendapat untuk menentukan buruk dan baik cukup dengan akal (logika), dan sikap adil tidak dibutuhkan.
- Kemudian muncul Qadariyah di zaman sahabat, sehingga akhirnya menjelma menjadi Jahmiyah yang dibawa oleh Ghillan Ad-Dimasyqi dan Al-Ja’du bin Dirham.
- Pola pikir Jahmiyah mempengaruhi Ibnu A’tha’ dan kemudian juga diikuti oleh ‘Amru bin Ubaid.
- Pada era itu juga muncul firqah Murjiah, yang mana mereka berkata: “Iman tidak terpengaruh oleh maksiat, sebagaimana keta’atan tidak memberikan manfa’at pada kekufuran.”
- Kemudian Mu’tazhilah semakin berkembang, yang mana Abu Hudzhail Al-Allaf menerbitkan buku-buku filsafat di zaman Khalifah Al-Makmun. Mereka menghasilkan teori-teori filsafat tentang waktu, benda, penciptaan dan tempat. Persoalan yang mereka munculkan pertama sekali adalah pendapat bahwa Al-Quran Adalah mahluk. Di masa itu, perkara ini mereka namakan “ilmu kalam”.
Dan Allah Maha memberikan hidayah kepada siapapun yang Ia kehendaki.
(muqawamah.net/arrahmah.com)