GONTOR (Arrahmah.com) – Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr. Hamid Fahmi Zarkasy mengatakan bahwa, kreteria radikal di Indonesia sangat sulit diukur. Padahal, kelompok sekuler, liberal dan kaum komunis juga radikal.
“Apa yang disebut radikal itu tidak hanya untuk orang Islam, tetapi orang komunis radikal juga ada, sekuler dan liberal yang radikal juga ada,” ujar Dr. Hamid beberapa waktu lalu, dikutip dari hidayatullah.com, Jum’at (10/4/2015).
Sebelum pemblokiran situs media Islam oleh Kemenkominfo atas instruksi BNPT terjadi, pemerintah melalu Menteri Tenaga Kerja (Menaker) juga berencana melarang tenaga kerja asing (TKA) yang berprofesi guru agama dan dosen teologi. Demikian dilaporkan hidayatullah.com, Februari lalu.
Larangan itu menurut Dr. Hamid sudah diimplementasikan sejak Januari lalu melalui revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.40 tahun 2012 tentang jabatan-jabatan yang tertutup bagi TKA.
Menurut Menaker M. Hanif Dhakiri, pelarangan ini sebagai salah satu upaya menghindarkan lembaga agama tidak dijadikan lahan persemaian benih-benih radikalisasi di kelompok agama manapun.
Namun menurut Hamid, subtansi pelarangan guru agama asing mengajar di sekolah dan pesantren di Indonesia karena alasan radikalisasi agama itu akan sulit diukur.
Jika dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permen Menaker) itu mempersoalkan radikalisme agama, mengapa mereka tidak mempersoalkan radikalisme orang-orang liberal, sekuler, pluralisme maupun komunis yang sama-sama juga bisa membahayakan NKRI?
“Radikalisasi itu tidak hanya untuk orang Islam melainkan juga pada aliran sekuler, liberal, pluralisme dan juga komunis,” tegas Hamid.
Selain alasan radikalisme itu, jika Menaker ingin menciptakan keamanan dalam kerukunan antar umat beragama, menurut Hamid bukan hanya radikal saja yang dilarang, tetapi yang sesat juga harus dilarang.
“Masa melarang yang radikal, tetapi membiarkan yang sesat seperti syiah dan aliran lainnya yang menyimpang, itu kan nggak masuk akal,” ujar Hamid.
Selama ini, menurut Hamid, “nggak ada guru agama asing yang mengajar di sekolah ataupun pesantren yang menyebabkan radikalisasi agama di Indonesia.”
“Kebijakan yang mengada-ada, itu urusan Menteri Agama (Menag). Menaker mending fokus ngurusin TKI maupun TKW,” pungkas Hamid. (adibahasan/arrahmah.com)