ATMEH (Arrahmah.com) – Relawan kemanusiaan Inggris dicampakkan pemerintahnya sendiri. Demikian lapor Al-Jazeera terkait penolakan pemberian paspor terhadap putri dari Tauqir Syarif dan isterinya yang berkebangsaan Inggris, Rabu (18/3/2015).
“Tauqir Sharif, yang bekerja bersama isterinya yang berkewarganegaraan Inggris di kamp pengungsi dekat perbatasan Turki gagal mendapatkan paspor untuk putri mereka (17 bulan),” ujar pejabat Inggris.
Kini mereka terkatung-katung di Suriah, tidak dapat menghindari peperangan dan terancam bahaya kematian. Padahal aplikasi paspor untuk putrinya telah dilakukan sejak 2013, namun tidak pernah ditanggapi oleh pihak kedutaan Inggris di Turki. “Putri saya bukan orang Inggris, ia tidak punya status. Jika kami ingin keluar dari Suriah, kami tidak bisa melewati perbatasan secara resmi. Kami harus menyusup, dan menghadapi desingan peluru tentara Turki,” papar Sharif kepada
Al Jazeera.
Lokasi Sharif bekerja di Atmeh, tadinya relatif aman. Namun beberapa hari lalu, serangan udara telah membunuh 9 warga sipil di perkampungan itu. Pengamat mengatakan serangan itu dilancarkan pihak koalisi AS yang menargetkan Mujahidin Jabhah Nushrah. “Mereka mengebom daerah kerja kami, sehingga serangan udara ini membahayakan nyawa kami,” ujar Sharif.
Kriminalisasi relawan kemanusiaan di Suriah
Syarif yang pernah menjadi relawan di kontingen kemanusiaan Kapal Mavi Marmara, telah bertugas di Suriah sejak 2012. Sejak saat itu pula, hidupnya dikriminalisasi “Israel” dan pemerintahnya sendiri.
Saat meninggalkan Inggris, rekening bank milik istri dan dirinya ditutup, namun uang sebanyak $7500 dolar milik mereka dipertanyakan pihak kepolisian Inggris. Keluarga mereka pun mendapat perlakuan buruk.
Donatur pun ditakut-takuti bahwa mereka bisa saja membiayai terorisme. Dengan begitu, donasi semakin sulit didapat, sementara ada 50 orang relawan yang harus dibiayai hidupnya selama di Suriah. Subhanallah.
Polisi dan intel selalu menyelidiki semua kegiatan Sharif dan keluarganya. Padahal ia adalah relawan yang humanis. “Setiap kali anda pergi ke kamp, semua orang tua, nenek-nenek, semuanya kenal Sharif dan semua orang menghrmatinya,” jelas Majid Freeman, seorang relawan yang mengunjungi Atmeh bulan lalu kepada Al Jazeera.
“Anda dapat melihat bagaimana interaksi orang-orang dengan Sharif, bahwa ia orang penyayang dan bersama isterinya memberika manfaat yang besar di lapangan. Ia dan isterinya mempraktikkan nilai-nilai orang Inggris, yang mengajarkan perlawanan terhadap ketidakadilan dan menolong yang membutuhkan,” tambahnya.
Sharif mengatakan bahwa ia mengerti alasan pihak keamanan begitu tertarik dengan pekerjaannya. Karenanya, ia memberikan penjelasan tentang rencana perjalananya dan mengajak mereka berdiskusi langsung tentang kecurigaan mereka.
“Saya katakan kepda mereka, ‘Saya relawan dan saya tidak akan berhenti bekerja [demi kemanusiaan]. Tetapi saya lebih suka saat saya kembali dari bekerja di lapangan selama berminggu-minggu, untuk tidak duduk 12 jam bersama kalian [pihak keamanan].’ Tetapi mereka berkata bahwa, kami tidak dapat menjamin itu. ‘Kami dari bagian khusus [polisi anti-terorisme Inggris]. Barangkali di lain waktu M15 atau bagian keamanan akan menahanmu.” Subhanallah. (adibahasan/arrahmah.com)