BANDUNG (Arrahmah.com) – Menjadi pemimpin adalah hal yang sangat berat. Hingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikannya kepada seorang Abu Dzar Al Ghifari.
Mengapa amanah kepemimpinan demikian sulitnya diemban, namun niscaya untuk dilakukan. Berikut kekuatan seorang pemimpin yang dapat kita pelajari dari kisah sahabat Nabi, Abu Dzar Al Ghifari, yang disarikan FPPD, Selasa (17/3/2015), dari Buku Ustadz Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah.
“Injak kepalaku ini hai Bilal!
Demi Allah, kumohon injaklah!”
Abu Dzar Al-Ghiffari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir ke wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal ibn Rabah segera mendarat di pelipisnya.
“Kumohon Bilal Saudaraku,” rintihnya, “Injaklah wajahku. Demi Allah aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliah dari jiwaku.” Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia meraa begitu lemah berhadapan dengan hawa nafsunya. Maka dengan kepala bersaput debu yang disujudkan dan wajah belepotan pasir yang disurukkan, dia mengerang lagi, “Kumohon injaklah kepalaku!” Sayang, Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca.
Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal. Dia merasa Bilal tak mengerjakan sebuah amanah dengan utuh, bahkan seakan membuat alasan untuk membenarkan dirinya sendiri. Abu Dzar kecewa dan, sayang, dia tak dapat menahan diri. Dari lisannya terlontar kata-kata kasar. Abu Dzar sempat berteriak melengking, “Hai anak budak hitam!”
Rasulullah yang mendengar hardikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan bergegas bagai petir menyambar, beliau menghampiri dan menegur Abu Dzar. “Engkau!” sabdanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar, “Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliah!”
Maka Abu Dzar yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon. Tapi Bilal tetap tegak mematung. Dia marah, tapi juga haru. “Aku memaafkan Abu Dzar, Ya Rasulullah,” kata Bilal. “Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak.”
Hati Abu Dzar rasanya perih mendengar itu. Alangkah lebih ringan andai semua bisa ditebusnya di dunia. Alangkah tak nyaman menelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, sahabat Rasulullah yang mulia. Adapun kita dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjukkan ke wajah kita. Lalu sebuah kesadaran menyentak, “Engkau! Dalam dirimu masih terdapat jahiliah!”
Kemampuan untuk berhubungan baik dengan sesama manusia bukanlah akibat serta merta dari iman yang kokoh menjulang. Baik iman maupun kemampuan , itu adalah dua hal yang seharusnya bersesuaian. Keberadaan yang satu tidak lantas mewujudkan yang lain.
Orang seagung Abu Dzar tidak pernah diragukan imannya. Dia lelaki yang disebut Sang Nabi memiliki lisan paling lempang, lidah paling jujur, dan tutur paling benar di segenap kolong langit ini. Dialah sang “Ashdaqu Lahjatan”.
Namun, Abu Dzar bukanlah orang yang tahan untuk diam dan berlapang dada terhadap kesalahan sesama. Lisan kebenarannya kadang tajam dan tidak menimbang perasaan orang. Mungkin sebab itulah, ketika dulu dia meminta agar Sang Nabi mengangkatnya menjadi salah satu petugas untuk suatu jabatan, Rasulullah bersabda kepadanya, “Hai Abu Dzar Al-Ghifari, sesungguhnya kulihat engkau seorang yang lemah!”
Bukan lemah iman tentunya. Tapi lemah dalam memimpin dan menjaga hubungan. Menjadi pemimpin berarti harus memiliki kelapangan dada. Menjadi pemimpin menuntut kemampuan untuk tak sekedar mengatakan yang benar, melainkan juga memilih saat yang tepat, cara yang jitu, dan kalimat yang mengena.
Kisah Abu Dzar ini tidak mengurangi terpujinya namanya di hati kita. Ia adalah salah satu bintang yang menyala penuh cahaya di langit sejarah. Kemuliaannya menjadi cermin terindah yang kilat kilaunya takkan pernah terkejar oleh sinar dari segala amal kita. Bahwa ia memiliki sisi-sisi manusiawi yang tak terelakkan, itu karena ia bukan malaikat dan kemaksuman juga tidak dijaminkan untuknya. Ia adalah apa adanya dan kita belajar banyak dari itu. Wallahua’lam bish-shawwab.
(adibahasan/arrahmah.com)