Amjad Abu Ayash yang berusia 56 tahun, berdiri di atas bukit dan memandang sepetak lahan pertanian yang hangus serta pipa air yang rusak.
“Mereka menyebut daerah ini ‘tanah kematian’ karena bahkan burung yang datang ke sini mati,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Menjelaskan bahwa penghalang yang dibangun oleh “Israel” telah menyentuh tanahnya. Abu Ayash, seorang petani melon mengatakan: “Setiap kali seseorang atau sesuatu dalam jarak 300 meter dari perbatasan, pasukan ‘Israel’ akan menembak.”
Sebuah laporan terbaru yang dikeluarkan oleh PBB untuk urusan kemanusiaan (OCHA) mengatakan bahwa tank-tank “Israel” melanggar perbatasan Gaza (lahan pertanian) sebanyak dua kali selama pekan terakhir di bulan Januari.
Kelompok ini juga mendokumentasikan 26 insiden penembakan oleh pasukan Zionis dengan peluru tajam di zona “akses terbatas” di darat dan laut selama seminggu pertama di bulan Januari.
Seorang warga Beit Lahiya, Abu Ayash memperkirakan bahwa ia membutuhkan lebih dari 2.000 USD untuk memperbaiki tanahnya.
“Kami tidak mampu memperbaiki semua kerusakan ini, jadi kami tidak memiliki pekerjaan,” ungkapnya. “Rumah saya juga rusak parah, namun kami masih tinggal di dalamnya.”
“Dunia tidak melihat kami,” tambah Abu Ayash.
Selama 51 hari di musim panas lalu, “Israel” melancarkan serangan besar di Gaza. Pada saat gencatan senjata dicapai akhir Agustus, “Israel” mengklaim kematian 73 warganya termasuk lima warga sipil. Dan diperkirakan 2.257 orang Palestina gugur,
menurut laporan OCHA.
Salah satu tempat yang paling padat penduduk di bumi, Gaza masih menanggung derita akibat perang. Rumah diratakan dan bangunan hancur, memenuhi jalan-jalan dengan puing-puing.
Di ujung jalan dari lahan pertanian Abu Ayash, Abu Khader Khatib yang berusia 50 tahun, merupakan salah satu dari ratusan ribu orang yang mengungsi di sekolah-sekolah yang dikelola oleh PBB selama pertempuran berlangsung.
“Aku kembali dari sekolah setelah perang mereda dan menemukan sebagian besar hewan saya sudah mati,” ujar petani strawberry tersebut kepada Al Jazeera.
“Rumah saya hancur total namun kami masih tinggal di dalamnya.”
“Situasi belum membaik sama sekali,” lanjut Khatib. “Blokade tidak memungkinkan dan organisasi internasional tidak mendukung kami dengan cara yang benar-benar membantu kami. Kami hanya menjadi tergantung pada mereka karena kami tidak
punya pilihan lain.”
Karena ladangnya dekat dengan “zona penyangga” antara “Israel” dan Gaza, Khatib menjelaskan bahwa drone, balon pemantau dan pesawat sering terbang di atas kepalanya.
“Ini adalah realitas sehari-hari, dan ketika kami mendekati pagar perbatasan, militer melepaskan tembakan ke arah kami,” katanya.
“Mereka menembak dan menembak. Bagi kami, itu adalah perang konstan.”
Bill Van Esveld, seorang peneliti senior di Human Rights Watch menjelaskan bahwa para petani sangat terpengaruh dengan sangat buruk oleh pembatasan ketat “Israel”, yang memperburuk kondisi yang sudah sulit yang disebabkan oleh delapan tahun
blokade “ISrael”-Mesir terhadap Gaza
“Pasukan ‘Israel’ terus melaksanakan kebijakan tidak sah, menembaki siapa saja yang melintasi garis tak terlihat yang mereka anggap terlalu dekat dengan perimeter pagar (perbatasan) Gaza,” lanjutnya kepada Al Jazeera.
Seorang juru bicara militer “Israel” membela tindakan pasukannya dengan dalih sebagai perlindungan terhadap warga sipil “Israel” dan para tentara.
“Karena masalah keamanan menargetkan warga sipil ‘Israel’ dan tentara, akses ke sekitar pagar perbatasan antara ‘Israel’ dan Jalur Gaza dilarang.”
Jaber Abu Daqqa, 61 tahun, dan keluarganya memiliki lahan di al-Faraheen, desa yang berbatasan dengan “Israel” di selatan Gaza, dimana mereka menanam kacang-kacangan. Rumahnya sebagian besar telah rusak oleh serangan “Israel” selama perang.
“Kami memiliki sekitar selusin domba sebelum perang,” ujarnya dan menceritakan baha ia tidak mendapat akses ke daerah tersebut untuk memberi makan domba-dombanya selama perang.
“Kami kembali dan mereka semua sudah mati. Beberapa telah ditembak dan yang lainnya kelaparan. Saya juga memelihara burung, tapi mereka juga mati.”
Menunjuk ke sebuah pesawat tak berawak yang berdengung di langit di atas kepalanya, Abu Daqqa, ayah dari enam anak mengatakan: “Hanya ada satu hari ini, tapi kadang-kadang ada lebih.” Kemudian menunjuk jip militer yang merayap di
sepanjang perbatasan, ia berkata: “Jika berhenti, kami harus bergerak, itu berarti mereka akan melepaskan tembakan. Mereka telah banyak menembaki kami selama tiga minggu terakhir.”
Lima menit berjalan kaki menyusuri jalan tanah, Maram Hussein, 60 tahun, mengatakan bahwa tank menaiki lahannya sampai hancur selama perang.
“Kandang ayam saya juga hancur dan 12 domba mati,” ungkapnya kepada Al Jazeera.
Ia menambahkan bahwa keluarganya telah melarikan diri dari daerah tersebut selama invasi darat “Israel”.
“Aku memiliki 300 ekor ayam sebelum perang. Mereka semua pergi sekarang.”
Tidak ada organisasi kemanudiaan di luar sana yang datang untuk membantu keluarga Hussein.
“Jika ada orang di luar sana yang dapat membantu kami, silahkan datang. Kami menderita di sini,” pintanya, menambahkan bahwa pasukan Zionis melepaskan tembakan ke arah petani Gaza hampir setiap hari di daerah penyangga.
Saat Al Jazeera berbicara dengan para petani di Faraheen, tembakan terdengar di dekatnya.
“Jangan khawatir,” ujar Abdullah Abu Daqqa (17).
“Mereka terdengar lebih dekat. Kami akan tahu apakah mereka menembaki kami.”
Rekonstruksi perkotaan dan pedesaan Gaza sangat lambat sejak perang mereda hampir setengah tahun lalu. Meskipun donor internasional menjanjikan 5,4 milyar USD untuk Gaza pada konferensi Oktober lalu di Kairo, hanya lima persen dari jumlah
tersebut yang telah sampai di Gaza pada Januari lalu.
HRW menjelaskan bahwa penembakan pasukan “Israel” ke petani Gaza membuat kerawanan pangan karena membatasi kemampuan mereka untuk bekerja.
Abu Khader Khatib mengatakan bahwa ia akan terus mempertahankan lahan pertaniannya tidak peduli bahaya yang ia hadapi.
“Apalagi yang harus kami lakukan? Tidak ada uang dan tempat lain untuk pergi.” (haninmazaya/arrahmah.com)