JAKARTA (Arrahmah.com) – Presiden Joko Widodo diminta segera menghentikan perseteruan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kisruh dua lembaga penegak hukum itu bagai “pertunjukan Ludruk” yang sama sekali tidak lucu.
“Mas Pram, tolong sampaikan ke mbak Mega. Minta agar Presiden Jokowi segera menghentikan “pertunjukan Ludruk” ini. Solusinya harus politis, bukan hukum. Penyelesaian secara hukum hanya akan membuat negara ini semakin runyam. Akan semakin banyak pelaku hukum yang tiba-tiba menjadi pemain ludruk,” ujar ekonom senior Rizal Ramli diskusi di Jakarta, Rabu (4/2/2015).
Menurut tokoh nasional yang dikenal sebagai perintis Gerakan Perubahan ini, penyelesaian pertentangan KPK vs Polri secara hukum, akan membuat persoalan makin berlarut-larut. Masing-masing pihak akan menjerat para petinggi institusi hukum lawannya dengan status tersangka. Pimpinan KPK akan habis. Akibatnya, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi bisa berhenti total.
Diskusi siang itu berusaha menjawab sejumlah pertanyaan. Antara lain Benarkah Jokowi Boneka Megawati? Atau Megawati yang sebenarnya dihancurkan oleh mereka yang merusak Jokowi? Diskusi yang dipandu pengamat politik Boni Hargens itu juga menghadirkan politisi senior PDIP Pramono Anung dan Pemimpin Redaksi Berita Satu Don Bosco. Namun hingga acara berakhir, tidak ada jawaban yang pas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Menyusahkan rakyat
Rizal Ramli juga menyampaikan keterkejutannya atas popularitas Jokowi yang anjlok jauh lebih cepat dibandingkan prediksinya. Tadinya, lanjutnya, dia memperkirakan popularitas Jokowi akan mulai turun setelah setahun memerintah. Namun ternyata prediksinya itu keliru.
“Jokowi membuat banyak kebijakan yang menyusahkan rakyat kelas menengah bawah di awal-awal pemerintahannya. Misalnya, dia menaikkan harga premium di saat harga minyak dunia justru turun. Kita tahu, premium dikonsumsi sebagian besar rakyat kelas bawah. Sopir angkutan umum, nelayan, pesepeda motor, dan lainnya. Pada saat yang sama, pertamax dan pertamax plus tidak naik harganya,” papar ekonom yang konsisten menyuarakan ekonomi konstitusi ini.
Dia menambahkan, kebijakan Jokowi lainnya yang justru menyengsarakan rakyat adalah dinaikkannya harga LPG tabung 3kg, naiknya tarif dasar listrik (TDL), dan kenaikan tarif kereta api kelas ekonomi hingga 400%. Semua itu sangat bertentangan dengan jargon Trisakti yang diusung sewaktu kampanye Pilpres. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat kental bernuansa neolib dan menyakitkan rakyat.
“Ternyata Trisakti ditinggalkan dan hanya jadi jualan kampanye, sudah tampak sejak awal. Ini sudah tampak sejak kabinetnya dinamai dengan Kabinet Kerja. Kalau hanya kerja, zaman penjajah Belanda dan Jepang juga digenjot kerja, kerja, kerja. Tapi yang diuntungkan bukan rakyat Indonesia. Blunder Jokowi makin menjadi ketika kabinetnya diisi banyak para penganjur neolib dan berkualitas KW-3. Para menterinya hanya bisa menaikkan harga,” ungkap tokoh yang pernah menyelamatkan PLN dan BII dari kebangkrutan tanpa menyuntikkan dana dan menjual selembar pun saham.
Pada kesempatan itu, Don Bosco menyoal penggunaan diksi ‘Petugas Partai’ yang dilekatkan pada Jokowi. Saat deklarasi pencapresan Jokowi, lanjut dia, mungkin masih bisa diterima akal, kalau Megawati mengatakan Jokowi adalah Petugas Partai.
“Namun kemarin diksi ini kembali diulang Puan Maharani. Dia menyatakannya berulang-ulang di hadapan wartawan. Kalimat ini sangat tidak elok, mengingat Jokowi hari ini adalah Presiden Republik Indonesia. Baiknya mas Pram menyampaikan soal ini kepada mbak Mega,” tukas Don. (azm/arrahmah.com)