(Arrahmah.com) – Mujahidin Belanda di Suriah menyampaikan sebuah tausiyah berharga yang menjelaskan mengenai kesalahpahaman tentang jihad dan mujahidin, di mana banyak Muslim mengira bahwa Mujahid adalah seorang yang sempurna, bahkan lepas dari dosa dan kesalahan.
Tausiyah ini menyampaikan kenyataan bahwa seorang Mujahid adalah manusia biasa, dengan semua kelemahan dan kekurangannya. Terbukanya pintu jihadlah yang “memaksa” mereka terbangun dari kelalaian hidup yang tengah mereka jalani untuk menghadapi kenyataan yang keras di medan perang.
Dalam tausiyah ini dijelaskan pula bahwa kenyataan itu tak lantas mengubah atau bahkan menghilangkan semua kebiasaan buruk yang sebelumnya dijalani oleh Sang Mujahid. Jika umat hanya mau berjihad setelah segala dosa yang dimiliki hilang, maka Jihad tak kan kunjung tegak di bumi ini.
Berikut terjemahan tausiyah tersebut selengkapnya, yang bersumber dari alminara.wordpress dan dipublikasikan oleh Muqawamah Media pada Rabu (28/1/2015).
Dalam Islam kita memiliki panutan yang nyata, pahlawan kita dalam umat tidak fiktif seperti panutan Hollywood Barat. Panutan yang kita miliki adalah sangat manusiawi, dan ini terlihat jelas saat Mujahidin di medan perang. Dunia terus menutup mata pada Mujahidin, dan mereka selalu mengkritik Mujahidin atas kesalahan yang dilakukan.
Salah satu dari banyak kesalahpahaman tentang jihad dan mujahidin adalah bahwa seorang Mujahid adalah sempurna, atau setidaknya ia harus sempurna. Mereka membayangkan Mujahid sebagai semacam tokoh suci bebas dari salah, banyak Muslim berpikir seperti ini. Tetapi kenyataannya adalah bahwa Mujahid adalah orang seperti laki-laki lain, dengan semua kelemahan manusia dan kekurangan. Dia bisa melakukan dosa dan membuat kesalahan.
Pikirkan tentang fakta bahwa banyak Mujahidin di Suriah, beberapa tahun yang lalu, hidup dalam kelalaian. Banyak umat Islam, di banyak negara, yang sampai saat ini masih hidup dalam kelalaian. Kemudian Allah mengubah situasi Suriah, dan membuka pintu jihad bagi mereka (umat Islam yang lalai ini).
Hal yang sama berlaku bagi umat Islam di Irak, Libya dan negara-negara Islam lainnya yang tiba-tiba terbangun dari kelalaian mereka ketika mereka berhadapan dengan realitas yang keras dari perang dan mendapatkan penindasan. Tapi apakah itu berarti bahwa semua kebiasaan buruk Sang Mujahid langsung hilang dan dari seorang pendosa menjadi seorang yang bersih dan tak bisa salah? Jika kita hanya mau berjihad setelah segala dosa yang dimiliki hilang, maka Jihad takkan tertegak di muka bumi ini.
Di Suriah misalnya ada Mujahidin yang masih kecanduan rokok, ada Mujahidin yang melakukan dosa. Mereka yang mengklaim sebaliknya sangat naif tentang realitas. Tapi apakah itu berarti bahwa Mujahid berdosa tidak memiliki status Mujahid? Lihat para Mujahidin sebelum ini yang melakukan dosa apakah dia tidak dianggap bagian dari Mujahidin? Pasti tidak!
Syaikh Abdullah Azzam Rahimahullah pernah ditanya saat di Afghanistan, “Apakah Jihad beberapa Mujahidin Afghanistan, yang pada saat itu berperang melawan komunis Rusia, diterima? Karena beberapa dari mereka masih kecanduan opium, dan belum mampu untuk mengatasi kecanduan ini selama Jihad mereka.” Tentang hal ini Syaikh memberikan jawaban yang indah, beliau menjawab, “Bahkan Mujahid yang merokok opium memiliki status lebih tinggi dari orang yang beribadah haji di Ka’bah!” Karena tidak ada ibadah yang lebih berharga dan menghapus lebih banyak dosa daripada Jihad, Jihad adalah puncak dari ibadah. Para Haji yang berdoa di Ka’bah hanya menguntungkan dirinya sendiri, berbeda dengan Mujahidin yang mengorbankan hidupnya di medan perang untuk membela umat Islam.
Abdullah bin Mubarak Rahimahullah juga mengatakan, “Ketika perbuatan baik seseorang lebih besar daripada perbuatan buruk, maka janganlah sebutkan perbuatan jahatnya. Dan ketika perbuatan buruknya lebih besar daripada perbuatan baiknya, maka janganlah sebutkan perbuatan baiknya.” (Imam Adh-Dhahabi, Siyar A’lam An-Nubala)
Jika ini tidak meyakinkan kalian, maka mari kita lihat generasi terbaik dari umat ini (para Sahabat). Seorang sahabat, Abi Mihjan At-Thaqafi (Radhiallahu anhu) adalah seorang pecandu minuman keras sebelum masuk Islam, pada masa Jahiliyah ia bahkan berkata kepada anaknya, “Jika aku mati, kuburkanlah aku di samping kebun anggur agar anggur dapat memuaskan dahagaku, dan jangan menguburku di padang gurun karena aku takut tidak akan pernah merasakan rasa anggur setelah kematianku.” Dia benar-benar kecanduan.
Kemudian, saat masuk Islam, dia tidak bisa mengatasi kecanduan ini sepenuhnya. Kadang-kadang dia minum arak, lalu menyesal dan dihukum untuk ini. Kemudian kecanduan lagi, setelah itu dia bertobat dan dihukum lagi. Hal ini berlangsung selama bertahun-tahun, sampai kepemimpinan Umar bin Khattab (Radhiallahu anhu).
Ini terdengar aneh bagi sebagian orang, tapi ini menunjukkan kemanusiaan para sahabat. Mereka adalah orang-orang seperti kita, itu sebabnya mereka adalah contoh sempurna bagi kita! Jika Allah memberikan malaikat tanpa dosa untuk dijadikan sebagai teladan, maka kita tidak akan pernah bisa mengikuti jejak mereka.
Pertempuran Al-Qaddisiyah terjadi dan Umar bin Khattab mengirim pasukan untuk berperang melawan Persia. Komandan militer pada saat itu adalah Sa’ad bin Abu Waqqas (Radhiallahu anhu). Abi Mihjan At-Thaqafi ingin mengambil bagian dalam pertempuran ini, tetapi Sa’ad bin Abu Waqqas berkata kepadanya bahwa dia tidak boleh ambil bagian karena terkenal sebagai peminum arak. Abi Mihjan bersikeras dan mengatakan “Mungkin Allah akan mengampuniku dengan memberiku mati syahid, dan membersihkanku dari dosa.” Setelah bersikeras dia akhirnya bergabung juga.
Pasukan Islam tiba di medan perang dan mendirikan kemah. Sementara negosiasi sedang berlangsung antara Sa’ad dan Persia, mereka membutuhkan waktu lebih lama dari yang diharapkan, sehingga beberapa hari berlalu tanpa pertempuran. Pada saat itu Abu Mihjan mulai mendambakan arak, akhirnya dia tak tahan dan diam-diam minum arak. Kabar tersebut sampai ke telinga Sa’ad bin Abu Waqqas, Sa’ad sangat marah. Dia menghukum Abu Mihjan dan mengikatnya di dalam tendanya, dia dilarang untuk mengambil bagian dalam perang melawan Persia.
Subhanallah inilah hukumannya! Uangnya tidak diambil, dia tidak disiksa atau dilecehkan. Tidak, hukumannya adalah bahwa dia tidak diizinkan untuk berjihad dan mengorbankan hidupnya di medan perang! Dia tidak diizinkan untuk mencari Mati Syahid. Ini adalah hukumannya! Karena hukuman itu, Abu Mihjan menjadi sangat sedih, dia memohon dan mengatakan dia akan bertobat, dia terus bersikeras untuk mengambil bagian dalam pertempuran.
Tapi Sa’ad menolak dan tidak mengubah keputusannya. Ini adalah perbedaan antara generasi kita dan generasi mereka. Kita melarikan diri dari pertempuran dan kesyahidan, dan senang ketika kita bisa lolos dari itu. Sementara mereka mendambakan hal itu, dan menjadi sedih ketika tidak berhasil mencapainya. Kita melihat perjuangan dan kesyahidan sebagai hukuman, sementara mereka melihat sebaliknya sebagai hukuman.
Pertempuran Al-Qaddisyah akhirnya mulai dan berlangsung tanpa Abu Mihjan. Banyak yang tewas di kedua belah pihak: Persia dan Muslim. Sementara Abu Mihjan duduk terikat di tendanya sepanjang waktu. Dia putus asa dan mencoba untuk keluar, tapi dia tidak berhasil. Dia lelah mencoba setelah beberapa saat dan mulai berteriak. Salma istri Sa’ad mendengarnya. Dia datang kepadanya dan bertanya apa yang dia inginkan, mungkin dia ingin minum atau makan. Tapi dia mulai memohon, “Izinkan aku pergi dan pinjamkan kuda Sa’ad sehingga aku bisa bertempur! Jika aku mati maka kalian akan tenang karena aku tidak merepotkan kalian lagi, namun jika aku selamat, maka aku akan kembali mengikat diri.”
Sa’ad sendiri tidak bisa berpartisipasi dalam pertempuran ini karena sedang sakit, dia memimpin tentara dari menaranya. Abu Mihjan tahu bahwa kuda Sa’ad yang bernama Balqa masih ditambat di belakang. Salma bersimpati, dan akhirnya menuruti permintaan Abu Mihjan. Tapi dia diminta untuk menjaga janjinya jika berhasil selamat. Abu Mihjan berjanji bahwa dia akan kembali dan mengikatkan dirinya jika dia selamat. Dia kemudian membebaskannya dan memberinya kuda Sa’ad, dia melompat ke atas kuda dan menutupi wajahnya sehingga tidak ada yang bisa mengenalinya.
Ketika kaum Muslimin melihatnya, mereka kagum dengan orang bertopeng tak dikenal itu, mereka bertanya-tanya siapa dia. Mereka tidak melihat dia sebelumnya dalam pertempuran. Mereka menatap curiga padanya dan terus mengawasinya. Kemudian mereka melihat bahwa dia menunjukkan kepahlawanan besar di medan perang, kehadirannya memberikan pukulan berat bagi musuh.
Ketika kaum Muslimin melihat ini mereka berpikir bahwa Umar bin Khattab mungkin mengirimkan pasukan bantuan, ada pula yang berpikir bahwa Allah telah menurunkan Malaikat-Nya. Dan di antara mereka paling kagum adalah Sa’ad bin Abu Waqqas sendiri. Dia melihat dari kejauhan dan tertarik dengan prajurit heroik itu. Gaya bertarungnya mirip dengan Abi Mihjan dan kudanya tampak seperti Balqaa. Tapi bagaimana ini bisa terjadi, pikirnya, karena Abu Mihjan terikat dan kudanya juga ditambat. Sa’ad merasa takjub dan tidak bisa memahaminya.
Akhirnya pertempuran berakhir dan kedua belah pihak mundur ke basis mereka. Abu Mihjan yang selamat, kembali ke tendanya dan mengikat dirinya lagi seperti yang dijanjikan. Ketika Sa’ad bin Abu Waqqas juga kembali dia melihat untuk melihat apakah kudanya itu masih ada. Dia melihat bahwa kudanya berkeringat dan terengah-engah.
Kemudian ia pergi ke tenda Abu Mihjan dan melihat bahwa dia berlumuran darah dan terluka parah. Sa’ad berkata kepadanya, “Apakah kau ikut bertempur?” Abu Mihjan mengatakan “Ya, aku bertempur dan aku berjanji bahwa aku tidak akan pernah minum lagi.” Dia bisa menahan kuatnya cambukan, tapi dia tidak bisa dijauhkan dari Jihad, ini hukuman yang terlalu besar! Sa’ad kemudian berkata “Dan aku berjanji bahwa aku tidak akan menghukum kamu seperti ini lagi.”
Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah ini bahwa seorang Muslim pendosa, dengan segala kekurangannya, dengan segala dosa-dosanya, juga berhak mengejar tujuan yang lebih tinggi (mati Syahid)!
Wahai Ikhwah yang banyak dosanya, kalian juga berhak memiliki ambisi yang tinggi, kalian juga bisa dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, meskipun banyaknya dosa-dosa kalian. Kalian juga bisa menjadi nilai yang berharga untuk umat ini dan untuk agama ini. Allah memilih Abu Mihjan sebagai salah satu sahabat Nabi, meskipun dia penuh kekurangan dan banyak berdosa. Dia berjuang di bawah khalifah yang benar, dia berjuang berdampingan dengan para sahabat mulia.
Jadi kalian juga dapat dipilih oleh Allah untuk posisi terhormat dan tinggi di dalam umat ini, meskipun banyaknya kelemahan dan dosa kalian. Kalian bisa berubah dan merangkak naik, kalian bisa menjadi nilai yang besar untuk umat ini dan untuk Agama ini, In syaa Allah. Jangan biarkan dosamu menjadi alasan.
Kita sering cenderung hanya fokus pada perbuatan buruk seseorang, sehingga tidak memperdulikan perbuatan baiknya. Tapi kita belajar dari biografi Abu Mihjan bahwa kita dapat memaafkan dosa seseorang ketika dia melakukan perbuatan baik yang sangat besar sehingga menutupi kesalahannya.
Seperti sabda Nabi (Shalallahu ‘alaihi wa Sallam) yang artinya: “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya (perbuatan baik) akan menghapusnya (perbuatan buruk). Dan berperilakulah terhadap sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, beliau menghasankannya).
(aliakram/arrahmah.com)