MOGADISU (Arrahmah.com) – Tak diragukan lagi bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan disambut sebagai pahlawan di Somalia. Sebagaimana dilaporkan Al-Jazeera pada Senin (26/1/2015) bahwa ia bersikeras melanjutkan kunjungannya ke Somalia, Kamis (22/1), padahal hotel yang direservasi untuknya di ibukota Mogadisu telah mengalami serangan bom, semalam jelang kehadirannya. Kemudian kantor kepresidenan Turki mengumumkan bahwa kunjungannya akan diundur beberapa hari karena Erdogan dikabarkan akan menghadiri pemakaman Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdulaziz.
Namun, Erdogan bersikeras melakukan kunjungannya ke negara-negara Semenanjung Afrika, segera pasca serangan bom sebelumnya mempopulerkan dirinya. Ia mendarat di bandara Mogadishu pada Ahad (25/1) pagi dan disambut hangat oleh Presiden Somalia Hassan Sheikh Mohamud.
Bagaimana Erdogan sebagai sosok yang begitu dikecam atas tuduhan korupsi, delusi kekuasaan, pemimpin diktator, dan polarisasi retorika oleh media Turki dan barat begitu dihormati di Somalia?
Kenyataannya adalah, Erdogan telah melakukan apa yang tidak dilakukan pemimpin dunia lainnya kepada Somalia selama berpuluh-puluh tahun.
Pada Agustus 2011, saat Erdogan masih menjadi perdana menteri, ia mengabaikan wacana bahwa Mogadisu sebagai zona terlarang untuk dikunjungi, tetapi ia hadir bersama keluarganya, anggota kabinet senior, dan perwakilan NGO-NGO serta sektor bisnis.
Kunjungannya merupakan kunjungan pertama dari pemimpin non-Afrika ke Somalia yang sedang terpuruk setelah dua dekade. Ketika itu kedatangannya pada bulan suci Ramadhan, sebagai pesan bahwa Ankara tidak akan meninggalkan “saudara dan saudari Muslimnya”.
Paradigma baru
Menentang tekanan masyarakat internasional, Erdogan menolak Nairobi sebagai medan magnet korupsi internasional.
Sejak 1991 hingga 2011, PBB dan institusi internasional afiliasinya – kebanyakan berbasis di sekitar tetangga Kenya – mengumpulkan dana sekitar 55 milyar dolar AS mengatasnamakan Somalia. Faktanya, negara yang telah digunakan namanya untuk menggalang dana itu tak sepeser pun mendapatkan bantuan infrastruktur dari proyek berkelanjutan tersebut.
Sementara, Tim Erdogan memiliki instruksi yang jelas: menghasilkan kerja nyata, berkelanjutan, dengan dana sebesar 500 juta dolar AS.
Dari sana, terciptalah banyak jalan raya, rumah sakit, masjid, dan sekolah. Bandara diperluas dan banyak kemitraan bisnis turut terbangun. Dalam waktu singkat, rencana Erdogan telah “menyelamatkan” Somalia dari kematian.
Tak ada yang dapat menggambarkan betapa banyaknya manfaat yang Turki berikan dari program bantuannya terhadap peningkatan rata-rata Internally Displaced Person (IDP) di Somalia.
Selain itu, Turki juga mendirikan pusat pembagian makanan yang menyediakan makanan yang menggugah selera, perumahan sederhana, dan klinik kesehatan. Model bantuan Turki telah meningkatkan standar IDP yang disertai penguatan kehidupan ekonomi.
Inilah yang menjadikan Erdogan lebih populer dari President Pemerintahan Federal Transisi Sharif Sheikh Ahmed dan presiden Somalia saat ini. Bahkah, nama Erdogan adalah nama bayi baru lahir terpopuler saat ini.
Tour Afrika
Di satu pihak, perjalanan Erdogan ke Somalia merupakan bagian dari Tour Afrika yang bertujuan untuk menguatkan hubungan ekonomi dan diplomasi Turki dengan lusinan negara Afrika yang menjadi mitranya.
Di lain pihak, hal itu bertujuan untuk menyegarkan kemitraan strategis antara Somalia dan Turki, juga guna mengokohkan komitmen masa depan untuk jangka panjang.
Tak dapat dipungkiri, Afrika telah menjadi pusat grafitasi dari geopolitik dan deoekonomi di abad 21. Atas alasan itulah, Turki secara strategis ingin membangun hubungan bersama Afrika. Dengan Somalia, Turki adalah bangsa kakak beradik di jantung Samudera Hindia; sebuah pertalian bangsa yang saling berbagi ikatan sejarah, dan pasar potensial yang sama.
Akibat minat yang sama antar-negara donor, target utama hubungan Turki-Somalia di masa depan sangatlah adil. Keduanya mengenyampingkan al-Shabab – yang dianggap teman manapun sebagai musuh dan mengklaim telah bertanggung jawab atas pengeboman Kamis (22/1) – dan menjadikannya kewaspadaan bersama yang memunculkan permusuhan di masyarakat internasional.
Alasan keduanya adalah, semakin suksesnya program bantuan Turki di Somalia, maka semakin terbongkarlah korupsi sistemik dan ketidakmampuan bantuan model ineternasional selama ini. Selain itu, dan barangkali yang terpenting adalah, semakin menonjollah model hubungan politik Turki, sebuah pemerintahan dengan etos kerja Islami yang modern.
Menghamparkan jalan pembuka
Beberapa tahun terakhir, yang disebut Semenanjung Arab telah menjadi jalan bagi pra Islamis untuk menguasai negara-negara Arab. Seperti partai AK di Turki, Islamis di Mesir dan Tunisia telah memenangkan pemilu dan meningkat ke posisi politis tertinggi.
Ini membuat para pemimpin Arab Teluk sangat gusar. Responnya, mereka membangun hubungan hubungan mesra dengan pemerintah Mesir pasca-kudeta dengan modus operandi mencakup berikut; mengubur Islamis dalam-dalam atau mematikannya secara perlahan di penjara-penjara tirani.
Ketidakmampuan mereka mengalahkan Islamis pada pemilu, bukanlah ketakutan satu-satunya “penguasa Arab liberal”. Terdapat beberapa negara barat yang meyakini bahwa kebangkitan pemimpin yang sadar akan Islam akan mempengaruhi geopolitik (menyatukan negara-negara Muslim) dan akan mengimbangi kekuatan (barat) di beberapa wilayah starategis yang beragam.
Atas latar belakang inilah Erdogan datang ke Mogadisu, untuk memotong pita multimilyar dolar, dengan simbol berupa pengesahan sebuah rumah sakit milik negara Somalia (sebagai bagian dari Semenanjung Afrika). Kemudian ia dijadwalkan akan melakukan pertemuan dengan para penguasa putera daerah Somalia.
Terdapat 3 topik yang akan menjadi agenda: proyek utama mendongkrak ekonomi Somalia; mengurai hubungan canggung antara presiden Somalia dan presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi; dan kesiapan Turki dalam menggunakan investasi senilai 3 miliar dolar AS di Etiopia sebagai pendongkrak politik (dan ekonomi) regional Semenanjung Afrika.
Selebihnya, Erdogan tetap hati-hati mendukung Somalia dan tetap tidak memihak dalam politik internal yang sangat dinamis dan bermotif-klan tersebut. (adibahasan/arrahmah.com)