(Arrahmah.com) – Syaikh Abu Mariyah Al-Qahthani menyampaikan bukti nyata akan bodohnya orang-orang yang ghuluw. Sebelumnya, pada bagian pertama, beliau telah menjelaskan keadaan di mana langkanya para ulama yang berkecimpung dalam dunia jihad, sementara perang terus mengikis jumlah para ulama dan penuntut ilmu.
Pada bagian kedua ini, beliau memaparkan beberapa perkataan para ulama yang berkenaan dengan orang yang berperang di bawah panji kekafiran untuk membela orang-orang kafir, di mana perkataan-perkataan tersebut menjadi bukti akan bathilnya vonis kafir terhadap orang yang berperang di bawah panji sunnah atau panji Islam yang terdapat kekurangan di dalamnya.
Bukti ini juga membantah mereka yang mengkafirkan para pejuang, yang berperang di bawah panji-panji Islam, hanya karena sesuatu yang tidak jelas dan prasangka yang tidak bisa dibuktikan dengan hukum syariat.
Berikut terjemahan lanjutan penjelasan Syaikh Al-Qahthani tersebut, yang dipublikasikan oleh Muqawamah Media pada Rabu (21/1/2015).
BUKTI NYATA AKAN BODOHNYA ORANG-ORANG YANG GHULUW
(Bagian Kedua)
Oleh : Syaikh Abu Mariyah Al-Qahthani
بسم الله الرحمن الرحيم
Setelah pendahuluan di atas, kami akan menyebutkan beberapa perkataan para ulama berkenaan dengan orang yang berperang di bawah panji kekafiran untuk membela orang-orang kafir, perkataan-perkataan tersebut menjadi bukti akan bathilnya vonis kafir terhadap orang yang berperang di bawah panji sunnah atau panji islam yang terdapat kekurangan di dalamnya. Mereka mengkafirkan para pejuang yang berperang di bawah panji-panji ini (sunnah atau Islam) hanya karena sesuatu yang tidak jelas dan prasangka yang tidak bisa dibuktikan dengan hukum syariat meskipun sedikit, apalagi banyak. Seperti vonis kafir berdasarkan informasi dari orang-orang kafir dan fasiq, vonis kafir berdasarkan informasi dari media massa orang-orang kafir, bahkan vonis kafir terhadap bangsa tertentu berdasarkan pernyataan dari seorang penanggung jawab umat kristen yang mengatakan bahwa bangsa tersebut telah bekerjasama dengan mereka. Maka benarlah firman Allah:
وَفِيكُمۡ سَمَّٰعُونَ لَهُمۡۗ
“..sedang di antara kamu ada orang-orang yang Amat suka mendengarkan Perkataan mereka..” [At Taubah: 47]
Saya berharap bahwa alasan-alasan yang tidak terbukti itu adalah tindakan pokok yang menyebabkan kekufuran, namun itu ternyata alasan-alasan tersebut hanya berdasarkan kabar yang tidak jelas dan hal-hal yang mengandung banyak penafsiran;
Apakah duduk bersama orang-orang kafir dianggap sebagai salah satu pembatal keislaman?
Apakah berkomunikasi dengan orang-orang kafir dianggap sebagai salah satu pembatal keislaman?
Sungguh ini adalah suatu hal yang aneh!
Lalu katakanlah ada seorang kafir yang mampu kemudian ia memberikan pelayanannya kepada seorang muslim, apakah si muslim tadi dianggap sebagai orang yang menyimpang dan rusak aqidahnya?
Apakah setiap orang yang menerima senjata dari orang-orang kafir dianggap sebagai orang kafir pula?
Lalu bagaimana pendapat orang-orang sok tahu itu ketika Muth’im bin Adiy (seorang musyrik) memberikan perlindungan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau sedang shalat di Ka’bah? Sehingga beliau dapat melaksanakan shalat sedangkan Muthim menjaga beliau? Apakah peristiwa ini termasuk yang dimaafkan secara syariat?
Bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri pernah menyebutkan keutamaan orang ini, jika saja beliau meminta kepadanya agar membebaskan para tawanan yang disiksa oleh kaum Quraisy tentu ia akan memenuhinya, bahkan beliau pernah bersabda (ketika fathu Makkah):
لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ
“Seandainya Muth’im bin ‘Adiy masih hidup lalu dia berbicara kepadaku untuk pembebasan orang-orang busuk ini pasti aku lepaskan mereka tanpa tebusan.” [HR. Bukhari No.3720].
Lihatlah jiwa dari sosok yang suci itu, lihatlah keluwesan yang agung dari seorang manusia terbaik itu, beliau tidak lupa dengan kebaikan si kafir tersebut, dan beliau berniat untuk membalas budinya. Lalu apa yang bisa dikatakan oleh orang-orang sok tahu itu!?!
Dengan mengatasnamakan penentangan terhadap penguasa – yang menurut beberapa ijma’ hukumnya adalah kufur – mereka mengkafirkan siapa saja yang mendukung penentangan itu, berurusan dengannya dalam bentuk apapun, dan membolehkannya, semua tindakan tersebut di mata mereka adalah penentangan dan itu adalah tindakan kekufuran, dalilnya:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ
“..Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka..” [Al Maidah: 51]
Dan mereka menggunakan perkataan para ulama mengenai orang yang menentang orang-orang kafir untuk membenarkan pandangan mereka!
Segala apa yang dilakukan oleh Jamaah Daulah disebabkan oleh kurangnya pemahaman yang mengakibatkan timbulnya salah kaprah yang besar dan tergelincirnya langkah, dan ini adalah sunnatullah bagi siapa saja yang mencampakkan ahli ilmu dan mengikuti anak-anak muda di kalangan mereka yang tidak berilmu serta tidak memiliki pemahaman dan tindakan serta pandangan yang benar. Coba lihat fatwa-fatwa para ulama rabbani tentang berjuang di bawah panji kekufuran untuk memerangi orang-orang kafir – tentunya terdapat syarat-syaratnya – apabila tindakan tersebut bisa mewujudkan salah satu tujuan yang telah disyariatkan.
Berikut ini adalah fatwa Syaikh Al-U’lwan dan perkataan-perkataan para ulama yang berkaitan dengan pembahasan ini, maka apakah ada yang mau mempelajarinya?
Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Sulaiman bin Nashir Al U’lwan – semoga Allah segera membebaskan beliau – berkata:
“Namun di sana ada satu isu lain yang lebih penting, yang ini perlu kita bahas mengingat kita sedang berada di era modern dan pada zaman dimana pemerintahan dikuasai oleh orang-orang yang bukan ahlinya, serta di tengah gencarnya serangan salibis yang brutal terhadap negeri-negeri kaum muslimin. Isu tersebut adalah mengenai hukum berperang di bawah panji penguasa kafir. penjelasannya adalah sebagai berikut; apabila tidak ditemukan panji syar’i yang mampu untuk memerangi musuh, maka dibolehkan untuk berperang di bawah panji penguasa kafir itu, apalagi jika tindakan tersebut dapat mewujudkan kemaslahatan bagi umat dan dapat menghilangkan ancaman nyata yang ada. Tindakan ini sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh dalil-dalil syariat secara lahiriyah dan kaedah-kaedah ushul serta pendapat-pendapat fiqh.
Dan secara syar’i kita tidak boleh melarang tindakan itu dengan berdalil kepada hadits,
‘Barangsiapa yang berperang di bawah panji kesukuan…’ [HR. Muslim No. 1848, diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu].
Karena panji kesukuan yang dimaksud di atas adalah panji yang tidak jelas tujuannya, apakah ia benar atau salah, atau panji yang memperjuangkan fanatisme jahiliyyah, faktor-faktor yang tidak benar, ikatan warna kulit atau tanah air, dan hal-hal lain yang tidak jelas. Karena betapa banyak peperangan brutal, pertikaian gila-gilaan dan kekacauan yang disulut oleh panji yang rusak tersebut, maka kita tidak boleh bergabung dan berperang di bawah panji ini, karena ia adalah panji yang tidak mematuhi agama dan tidak menegakkan satupun hukum-hukumnya, agaknya makna dari hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut ini sudah jelas, beliau bersabda:
وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
‘Dan barangsiapa berperang di bawah bendera kefanatikan, dia marah karena fanatik kesukuan atau karena ingin menolong kebangsaan kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.’ [HR. Muslim No.3436].
Di dalam Syarh Shahih Muslim karangan An-Nawawi Rahimahullah di sebutkan bahwa arti dari (العمية) adalah hal-hal buta yang tujuannya tidak jelas. Perkataan ini sama seperti pendapatnya Ahmad bin Hanbal dan Jumhur ulama. Jadi barangsiapa berperang di bawah panji penguasa, sedangkan tujuannya berperang adalah untuk membela dan melanggengkan kekuasaannya serta memperbanyak kekayaannya, maka perang tersebut diharamkan dan ia adalah perbuatan jahiliyyah yang dibenci.
Adapun orang-orang yang memerangi orang kafir – yang tujuannya adalah membela agama dan negeri mereka – di bawah panji pemerintahan kafir, namun mereka tidak masuk ke dalamnya, dan tujuan-tujuan yang menjadi tugas mereka dapat diwujudkan di dalam kondisi ini, sedangkan ahli ilmu tidak memberikan syarat untuk melaksanakan jihad defensif dan juga tidak harus ada panji yang syar’i. Maka jihad defensif tetap dilaksanakan sesuai dengan kemampuan, barangsiapa mampu untuk berperang di bawah panji yang syari, mampu menyerang musuh, dan tidak menimbulkan ancaman yang nyata, maka secara syar’i hukumnya wajib. Namun bagi orang-orang yang tidak mampu untuk melakukan itu dan tidak memiliki kekuatan untuk memberikan perlawanan yang riil kepada musuh kecuali jika mereka mendaftar ke pusat-pusat pelatihan militer milik pemerintah dan berperang di bawah panjinya, maka hal itu sah-sah saja, karena mereka berperang demi meraih beberapa tujuan dan kemaslahatan, di antaranya yang paling penting adalah:
- Membela kaum muslimin dan negeri mereka.
- Membalas serangan kaum salibis atau mengurangi jumlah kekuatan mereka serta melemahkan mereka.
- Menghilangkan kerusakan yang umum, para fuqaha dan para ulama ushuliyyun tidak berbeda pendapat mengenai keabsahan kaidah ushul berikut: kerusakan yang khusus ditangguhkan untuk menolak kerusakan yang umum.”
Syaikh Al-U’lwan juga berkata:
“Bahkan saya berpendapat lebih dari ini; bahwa tidak ada salahnya membela negara dan bangsa kafir untuk melawan negara kafir lainnya, apabila tindakan tersebut dapat membawa kemaslahatan bagi islam dan kaum muslimin.”
Saya (Penulis) katakan: Maha Suci Allah, lihatlah pemahaman sang ulama rabbani yang mengerti akan tujuan syariat dan menggabungkan antara fiqh dengan hadits, mereka lah yang dinamakan dengan ulamanya kaum muslimin, lalu bandingkanlah dengan sempitnya persepsi orang-orang yang melampaui batas dan sedikitnya ilmu para pelajar itu.
Syaikh Al-U’lwan juga berkata:
“Kisah mengenai Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu Anhu merupakan dalil terbaik atas permasalahan ini, beliau Radhiyallahu Anhu pernah bertaruh dengan kaum musyrikin bahwa Romawi akan mengalahkan Persia. Kisah ini disebutkan oleh Tirmidzi di dalam Jami’nya dengan nomor 3193, hadits ini diriwayatkan dari jalan Abu Ishaq Al-Fazari, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Habib bin Abi ‘Amrah, dari Said bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas ketika beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala:
الٓمٓ ١ غُلِبَتِ ٱلرُّومُ ٢ فِيٓ أَدۡنَى ٱلۡأَرۡضِ
‘Alif laam Miim [1] telah dikalahkan bangsa Rumawi, [2] di negeri yang terdekat.’ [Ar Ruum: 1-3]
Ia berkata: ‘(Romawi) dikalahkan dan mengalahkan, ia berkata: Kaum musyrik senang terhadap kemenangan Persia atas Romawi karena kaum musyrikin dan orang-orang Persia adalah para penyembah berhala, sedangkan kaum muslimin senang atas kemenangan Romawi terhadap Persia karena mereka ahli kitab. Mereka (kaum musyrik) sampaikan hal ini kepada Abu Bakar lalu Abu Bakar memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:
‘Ingat, sesungguhnya mereka (Persia) akan kalah.’
Kemudian Abu Bakar memberitahukannya kepada mereka. Mereka berkata:
‘Tentukan suatu waktu, bila kami menang kami mendapatkan ini dan itu dan bila kalian menang kalian mendapatkan ini dan itu.’
Abu Bakar menentukan batas waktu lima tahun tapi mereka (Romawi) tidak juga menang lalu mereka memberitahukan hal itu kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:
‘Apa kau tidak memprediksikan (waktu) nya dibawahnya (sepuluh tahun)?’
Abu Bakar berkata:
‘Menurutku sepuluh (tahun).’
Said berkata:
‘Bidh’u adalah bilangan kurang dari sepuluh.’
Said berkata:
‘Kemudian Romawi menang setelah itu, itulah yang dimaksud oleh firman Allah Ta’ala: ‘Alif laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi’ hingga firman-Nya: ‘Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendakiNya.’ [Ar Ruum: 1-5]’
Sufyan berkata:
‘Aku mendengar bahwa mereka (Romawi) mengalahkan Persia pada saat terjadinya perang Badar.’
Abu Isa berkata:
‘Hadits ini hasan shahih gharib, karena kami hanya mengetahuinya dari penuturan Sufyan Ats Tsauri, dari Habib bin Abi ‘Amrah’.’
Kisah di atas menjadi dalil atas dibolehkannya membela orang kafir untuk melawan orang kafir lain, sama saja apakah bentuk pembelaannya itu berupa kegembiraan dan dukungan seperti yang terjadi di dalam kisah ini, ataupun berupa dukungan finansial atau jiwa, selama di dalamnya terdapat kemaslahatan nyata bagi islam dan kaum muslimin. Akan tetapi kemaslahatan tersebut harus dinilai terlebih dahulu oleh para ulama yang faham syariat serta orang-orang yang wara’ dan bertaqwa. Namun pembahasan ini tidak boleh disalah gunakan oleh orang yang menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, serta mengeluarkan fatwa sesuai order, kepentingan pribadi dan keuntungan politik.
Abu Hanifah Rahimahullah telah berkata:
‘Mereka boleh dimintai tolong dan diajak bekerjasama bilamana hukum islam berkuasa dan memegang kendali atas mereka, sedangkan apabila hukum syirik yang berkuasa, maka tindakan tersebut dibenci (makruh), namun ada sebagian yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak dibenci (makruh), dan tidak mengapa berperang bersama mereka, di bawah naungan panji mereka, apabila terdapat kemaslahatan yang nyata dan tujuan perang itu adalah untuk melawan orang-orang kafir serta memporak-porandakan barisan mereka. Maka tindakan tersebut akan mendapatkan pahala, dan apabila pelakunya gugur, maka ia mendapatkan kesyahidan.’
Imam Syafi’i berkata di dalam Al-Umm juz 4, hal. 242:
“Apabila sekelompok kaum muslimin ditawan, kemudian kaum musyrik (yang menawan mereka) meminta bantuan kepada mereka untuk memerangi orang-orang musyrik yang semisal (kaum musyrik tersebut), maka ada pendapat yang membolehkan mereka memerangi orang-orang musyrik itu, disebutkan juga (bahwa dalilnya adalah) Zubair bersama para sahabatnya pernah berperang melawan orang-orang musyrik, bersama kaum musyrik di negeri Habasyah.
Orang yang memegang pendapat ini mengatakan:
‘Berperang bersama mereka tidak diharamkan, karena darah dan harta milik musuh yang diperangi boleh dirampas karena kesyirikan mereka.’
Seandainya ada yang mengatakan:
‘Peperangan mereka itu adalah haram.’ Maka ada beberapa maksud dari pernyataan itu:
Apabila ada orang-orang islam yang memenangkan peperangan melawan orang-orang musyrik kemudian mereka mendapatkan ghanimah, maka mereka wajib untuk memberikan seperlima darinya kepada orang yang berhak mendapatkan seperlima, walaupun mereka terpencar-pencar di berbagai negeri. Maka ini akan menjadi mustahil untuk dibagikan kepada mereka semua, oleh karena itu ghanimah terseut diserahkan pada Imam (pemimpin) untuk dia bagikan.
Dan apabila mereka memerangi ahli kitab kemudian para ahli kitab itu memberikan jizyah, ada pendapat bahwa maka mereka wajib menjaga darah para ahli kitab itu. Dan jika ahli kitab ini tidak ikut berperang dalam barisan musuh maka lebih dianjurkan untuk tidak memerangi mereka.
Kami tidak tahu apakah kisah mengenai Az-Zubair itu bisa memperkuat, karena ternyata Najasyi sudah terbukti sebagai seorang muslim yang beriman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bershalawat (mendoakan) ke atasnya (Najasyi).”
Di dalam kitab Masail Al Imam Ahmad karangan Abu Dawud, halaman 248-249 disebutkan:
‘Saya (Abu Dawud) berkata kepada Ahmad:
(Bagaimana) jika musuh menyerang penduduk Kostantinopel kemudian raja (Kostantinopel) berkata kepada para tawanan (pasukan kaum muslimin yang tertawan oleh mereka): ‘keluar dan berperanglah kalian, maka saya akan memberikan ini dan itu kepada kalian.’?’
Ia berkata:
‘Apabila sang raja berkata; ‘Saya akan melepaskan kalian (jika kalian berperang)’, maka tidak ada masalah karena diharapkan mereka bisa selamat.’
Ia (Abu Dawud) berkata:
‘Saya berkata: apabila ia (sang raja) berkata: ‘Saya akan memberikan imbalan dan bersikap baik kepada kalian.’ Apakah mereka tetap dibolehkan berperang bersamanya?’
Ia berkata:
‘Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa berperang demi menjadikan kalimat Allah itu menjulang tinggi.’ Saya tidak tahu.’
Perkataannya (Ahmad) Rahimahullah: ‘Saya tidak tahu’, itu karena ada pertentangan kemaslahatan dan kemafsadatan, sedangkan kaedah mengenai pembahasan ini sudah jelas dan terang, yang menjadi masalah tinggal bagaimana meraih kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan.
Permasalahannya adalah dalam penerapan hal yang perlu diperhatikan adalah proses pembandingan, pemilahan dan pembelajaran, agar dapat menentukan mana (kemaslahatan) yang lebih kuat dan mana yang lebih lemah, mana yang tujuannya untuk mendatangkan kemaslahatan, dan mana yang tujuannya untuk menghindari kemafsadatan, serta agar dapat di antara dua kemaslahatan, mana yang paling utama dan mana yang paling besar.
Imam Ahmad Rahimahullah telah menfatwakan akan bolehnya berperang bersama orang-orang kafir dan di bawah naungan panji mereka, untuk membebaskan tawanan, karena bisa saja ia selamat dan bisa saja binasa, alasan dibolehkannya adalah demi mewujudkan kemaslahatan. Namun beliau Rahimahullah ber-tawaqquf dalam hal berperang bersama orang-orang kafir apabila tujuannya adalah untuk memperjuangkan hal-hal duniawi, atau meraih kedudukan. Ada sekelompok fuqaha yang memperbolehkan tindakan ini apabila diniatkan untuk menegakkan kalimat Allah, mendatangkan marabahaya bagi orang-orang kafir, menekan kekuatan mereka, dan menebarkan teror di dalam barisan mereka.
Muhammad bin Al Hasan Rahimahullah berkata sebagaimana yang tercantum di dalam Syarh As-Sair: 4/1515:
‘Seharusnya kaum muslimin tidak boleh memerangi kaum musyrik bersama orang-orang musyrik, karena kedua kelompok tersebut merupakan tentara setan, sedangkan tentara setan itu adalah orang-orang yang merugi. Seorang muslim tidak seyogyanya bergabung ke salah satu dari dua kelompok tersebut sehingga ia memperbanyak jumlah mereka dan berperang membela mereka; ini dikarenakan hukum syirik itu adalah zhahir, dan seorang muslim hanya berperang untuk membela kebenaran bukan mengibarkan hukum syirik.. – sampai perkataan beliau Rahimahullah –: apabila pasukan perang (kaum musyrik) berkata kepada para tawanan (muslim) yang tertangkap oleh mereka:
‘Berperanglah bersama kami untuk melawan musuh kami yang merupakan orang-orang musyrik.’
Namun mereka (para tawanan itu) tidak merasa khawatir terhadap diri mereka apabila mereka tidak mengerjakannya, maka mereka tidak harus berperang bersama kaum musyrik tersebut; karena di dalam peperangan tersebut terdapat upaya untuk menampakkan kesyirikan. Apabila sang pejuang mempertaruhkan dirinya (dengan menyertai kaum musyrik itu berperang) maka ia tidak mendapatkan keringanan, kecuali jika tujuannya adalah untuk membela agama atau mempertahankan dirinya. Apabila mereka lebih khawatir terhadap kaum musyrik yang lain (yang datang menyerang) yang akan membahayakan diri mereka, maka tidak ada masalah jika mereka memerangi orang-orang musyrik tersebut, berarti mereka mempertahankan diri dari kejinya pembunuhan terhadap diri mereka, karena mereka lebih aman berada di bawah tawanan kaum musyrik (yang diserang), dan mereka tidak akan aman apabila jatuh ke tangan orang-orang musyrik (yang datang menyerang). Jadi mereka boleh berperang untuk mempertahankan diri mereka.
Namun apabila kaum musyrik yang diserang itu berkata kepada mereka (para tawanan muslim):
‘Berperanglah bersama kami untuk melawan orang-orang musyrik yang merupakan musuh kami itu, jika tidak kami akan membunuh kalian.’
Maka mereka diperbolehkan untuk berperang demi mempertahankan kaum musyrik itu, karena artinya mereka juga tengah mempertahankan diri dari kejinya pembunuhan terhadap diri mereka, dan perang melawan orang-orang musyrik (yang menyerang) itu adalah halal dan tidak mengapa jika mereka mengerjakan perbuatan yang halal itu karena adanya hal darurat karena paksaan, bahkan mungkin saja hukumnya wajib sebagaimana dalam kasus memakan bangkai dan meminum minuman keras (dalam keadaan darurat).
Apabila orang-orang musyrik itu membatasi hanya dengan meminta para tawanan itu agar berperang bersama mereka namun orang-orang musyrik itu tidak akan memerangi kaum muslimin, maka mereka (para tawanan) bebas memilih, karena orang-orang musyrik itu tidak akan melakukan apapun terhadap kaum muslimin. Maka bukan merupakan permasalahan yang besar apabila kaum muslimin bergabung ke dalam pasukan mereka, karena banyaknya jumlah pasukan orang-orang musyrik di mata mereka – sedangkan posisinya dikhawatirkan akan berdampak bahaya pada harta kaum muslimin dengan resiko yang mengkhawatirkan.
Jikalau mereka mengatakan kepada para tawanan itu:
‘Berperanglah bersama kami untuk melawan tentara perang lain yang merupakan musuh kami, sebagai imbalannya kami akan membebaskan kalian apabila kami meraih kemenangan.’
Kemudian para tawanan itu yakin bahwa orang-orang musyrik itu jujur, maka tidak ada masalah jika para tawanan itu berperang bersama mereka, karena status mereka adalah mempertahankan diri di tengah penawanan musuh terhadap mereka.’
As-Sarkhasi Al-Hanafi Rahimahullah berkata di dalam Al Mabsuth juz 10, hal. 98:
“Apabila ada sekelompok kaum muslimin yang mencari perlindungan (suaka) di negeri musuh kemudian negeri tersebut diserang oleh bangsa dari negeri musuh lainnya, sekelompok kaum muslimin itu tidak boleh memerangi mereka (orang kafir yang datang menyerang), karena peperangan itu akan membahayakan jiwa dan perang tidak boleh dilakukan kecuali jika bertujuan untuk menegakkan kalimat Allah dan membela agama, dan tujuan tersebut tidak didapati di negeri tersebut; karena yang berkuasa adalah hukum orang musyrik, dan kaum muslimin tidak bisa menegakkan hukum dengan hukum orang islam. Apabila mereka tetap berperang, maka ia bertujuan untuk menegakkan kalimat kesyirikan dan itu tidak dibolehkan kecuali apabila mereka mengkhawatirkan keselamatan diri mereka dari orang-orang kafir yang menyerang itu. Maka ketika itulah mereka dibolehkan untuk memerangi orang-orang kafir tersebut dengan tujuan agar mereka dapat mempertahankan diri mereka, bukan menegakkan kalimat kesyirikan. Dalilnya adalah hadits Ja’farRadhiyallahu Anhu, ia pernah berperang bersama kaum Habasyah untuk melawan musuh yang datang untuk mengincar Raja Najasyi, yang mendorongnya untuk melakukan hal itu adalah karena sebelumnya dirinya bersama kaum muslimin pernah dilindungi dengan aman oleh Raja Najasyi, ia memgkhatarikan dirinya dan kaum muslimin dari ancaman pihak lain. Jadi yang kami ketahui adalah bahwasanya tindakan tersebut dibolehkan apabila sedang merasa takut.”
Ibnu Hubairah berkata di dalam Al Ifshah juz 2, halaman 438:
‘Mereka berbeda pendapat apakah orang-orang musyrik boleh dimintai tolong dalam memerangi musuh yang kafir, atau dibantu untuk melawan musuh mereka. Malik dan Ahmad berpendapat bahwa mereka tidak boleh dimintai tolong dan tidak boleh dibantu sama sekali, namun Malik memberikan pengecualian; yaitu apabila mereka hanya menjadi pembantu bagi kaum muslimin, maka dibolehkan.
Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka boleh dimintai tolong dan dibantu secara mutlak selama yang berkuasa dan memegang kendali atas orang-orang musyrik itu adalah hukum islam, namun apabila yang berkuasa adalah hukum musyrik, maka tindakan tersebut adalah makruh. Asy-Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut dibolehkan dengan dua syarat: yang pertama adalah, jumlah kaum muslimin hanya sedikit dan kaum musyrik banyak. Yang kedua adalah, harus memastikan bahwa orang-orang musyrik tersebut memiliki pandangan yang baik terhadap islam dan cenderung kepadanya, sehingga apabila mereka dimintai tolong maka mereka akan langsung setuju tanpa membantah, namun mereka tidak boleh diberikan kontribusi.
Namun di dalam salah satu riwayatnya, Ahmad berpendapat bahwa mereka boleh diberikan kontribusi.
Al-Jashshash Al-Hanafi berkata di dalam Mukhtashar Ikhtilaf Fuqaha karangan Imam Ath-Thahawi, juz 3, hal. 454:
‘Para sahabat kami berpendapat mengenai orang islam yang mencari perlindungan (ke negeri kafir) kemudian ia berperang bersama orang-orang musyrik: tidak seharusnya mereka berperang bersama kaum musyrik, karena hukum syirik yang berkuasa, ini adalah pendapat Malik.
Adapun Ats-Tsauri berpendapat bahwa mereka boleh berperang bersama kkaum musyrik itu, Al-Auza’i berpendapat bahwa mereka tidak boleh berperang kecuali mereka memberikan syarat apabila kaum musyrik itu menang, maka mereka harus dikembalikan ke negeri islam. sedangkan Asy-Syafi’i memiliki dua pendapat.’
Di dalam Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyyah (2/25) karangan Ibnu Hajar Al-Haitami Rahimahullah disebutkan:
‘Ia ditanya – semoga Allah memberikan manfaat melalui dirinya dan melapangkan waktunya –:
‘adapun jika ada orang islam yang ikut serta dalam peperangan antara orang-orang kafir harbi, seperti kaum kafir Malibar, orang yang menyaksikan perang (Malibar) tersebut, orang-orang itu hanya menonton dari luar arena pertempuran dan menyaksikan kedua kubu tersebut saling membunuh dan baku hantam. Apakah si muslim tadi berdosa karena ia menyaksikan dan menghadiri peperangan yang itu menyebabkan jumlah orang-orang musyrik yang berperang itu semakin banyak, meskipun seharusnya hal itu tidak perlu ia lakukan, seperti menjelek-jelekkan satu kubu dan memuji-muji kubu lainnya serta memprovokasi salah satu kubu untuk menyerang kubu lawannya, mungkin ia dapat menerima ancaman bahaya karena terkena anak panah orang-orang musyrik tersebut, sehingga bisa saja ia terluka atau terbunuh, apakah itu tidak ada masalah baginya?
Apabila kaum muslimin membantu salah satu kubu kafir dalam peperangan mereka, kaum muslimin tersebut berperang bersama mereka untuk melawan kubu kafir yang menjadi musuh mereka tanpa ada alasan darurat dan kebutuhan hingga mereka membunuh atau terbunuh di dalam peperangan, apakah hal tersebut dibolehkan atau tidak? Apakah orang islam itu akan mendapatkan pahala karena telah membunuh orang kafir atau karena ia terbunuh olehnya? Apakah ia diperlakukan seperti orang yang gugur syahid, yang mana jenazahnya tidak dimandikan dan tidak dishalatkan? Karena mungkin saja si muslim tadi berangkat berperang karena ia diminta oleh sang penguasa negeri kafir tersebut untuk berangkat bergabung bersama pasukannya, bagaimana hukumnya? Dan apakah ada perbedaan antara pergi berangkat karena diminta oleh penguasa, dengan yang tidak?’
Maka beliau menjawab:
‘Keikutsertaan orang islam dalam peperangan antara orang-orang kafir harbi dengan tujuan mempelajari keberanian, mendalami cara berperang, menempa jiwa agar kuat ketika menghadapi pertempuran, atau agar dapat merasa senang karena ada orang-orang kafir harbi yang tewas, sehingga kalimat Allah dapat menjulang tinggi seiring dengan lemahnya kekuatan mereka dan berkurangnya jumlah mereka. Atau dengan tujuan-tujuan lain yang benar dan dibolehkan, sama saja baik medan pertempurannya jauh ataupun dekat, yang penting jangan sampai jumlah orang-orang kafir itu menjadi semakin banyak, karena jika semakin banyak maka itu menunjukkan adanya loyalitas dan dukungan. Adapun orang yang ikut serta namun ia berharap orang-orang kafir itu musnah di tangan lawan mereka, ia menanti datangnya bencana terhadap mereka dan ia tidak memperbanyak jumlah mereka, (maka sah-sah saja), bahkan ia termasuk orang yang memerangi orang-orang kafir itu, namun secara diam-diam.
Begitu juga tidak masalah untuk menghasut antara satu pihak musuh dengan musuh lainnya, karena wasilah untuk memerangi kafir harbiy hukumnya adalah jaiz (dibolehkan) bahkan mustahab apapun medianya, tentu harus dengan keyakinan akan keselamatan aksi itu.
Adapun apabila ia memperkirakan bahwa kehadirannya hanya akan menyebabkan dirinya terbunuh atau dampak-dampak setara lainnya yang itu tidak memberikan dampak merugikan yang berarti bagi orang-orang musyrik itu, maka kehadirannya sangatlah sia-sia, jadi ia harus menahan diri. Apabila ada seorang atau sekelompok muslim yang membantu salah satu kubu, kemudian ia terbunuh oleh salah satu kubu kafir harbi tersebut, maka ia mati syahid, jasadnya tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, dan ia mendapatkan ganjaran, yaitu ganjaran karena berperang untuk menjadikan kalimat Allah itu menjulang tinggi, sedangkan kondisi orang yang pergi berperang karena kemauannya sendiri, sama sekali tidak berbeda dengan orang yang berangkat karena diminta oleh raja mereka, selama tidak ada paksaan.’
Beliau juga ditanya (4/222):
‘Apakah kaum muslimin boleh mendatangi peperangan yang terjadi antar sesama orang kafir dengan niat hanya menyaksikannya saja, ataukah tidak boleh, karena mungkin itu bisa memperbanyak jumlah mereka, membantu mereka (kubu pertama) untuk melawan kezhaliman mereka (kubu kedua), memperbagus keadaan kelompok (pertama) dan memperburuk kondisi (kelompok) yang lainnya, dari karena adanya ancaman bahaya, karena mungkin anak panah mereka bisa menjangkau orang-orang yang menyaksikan. Para masyayikh kami di Malibar melarang kaum muslimin untuk ikut serta dalam peperangan mereka? Apakah boleh kaum muslimin berperang bersama salah satu di antara dua kubu orang-orang kafir hingga salah satu orang islam berhasil membunuh atau terbunuh, padahal niat awalnya tidak sampai seperti itu (membunuh atau terbunuh)? Apakah ia mendapatkan pahala karena ia membunuh orang kafir atau dibunuh oleh orang kafir, dan apakah ia diperlakukan layaknya orang yang gugur syahid?’
Maka beliau Rahimahullah menjawab:
‘Jika terjadi peperangan antara dua kelompok dari kalangan kafir harbi, maka tidak diharamkan untuk datang, karena kedua kelompok tersebut boleh dicelakai, dan pembunuhan di antara keduanya tetap akan terjadi tentunya dengan motifnya sendiri, jadi bukanlah suatu perbuatan maksiat apabila ada orang yang memutuskan untuk menyaksikan, namun apabila ia mengkhawatirkan dirinya terkena dampak berbahaya karena mendatangi perang itu, maka ia diharamkan untuk hadir disana.
Mungkin para masyayikh yang disebutkan di atas tadi melarang karena persoalan itu, jadi kaum muslimin boleh memerangi kedua kelompok tersebut apabila salah satunya diperangi, namun tujuannya bukanlah untuk membela kelompok lainnya, tujuannya harus menegakkan kalimat islam dan menyerang musuh Allah Ta’ala, barangsiapa mengerjakan hal ini dengan tujuan tersebut, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala seorang mujahid berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits Bukhari dan lainnya:
‘Barangsiapa berperang demi menjadikan kalimat Allah itu menjulang tinggi..’
Dan tidak diragukan lagi barangsiapa memerangi salah satu dari dua kelompok tersebut dengan tujuan itu, maka ia pun begitu (mendapatkan pahala seperti pahala seorang mujahid), bahkan jika ia terbunuh di dalam pertempuran itu, ia harus diperlakukan layaknya orang yang syahid, baik di dunia maupun di akhirat, jenazahnya tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Yang harus diketahui adalah; yang dituntut dari peperangan tersebut adalah perlawanan yang diberikan kepada mereka haruslah berarti, sedangkan apabila di dalam peperangan tersebut mereka hanya membunuh segelintir orang kafir tanpa adanya efek perlawanan yang signifikan, maka ketika itu mereka tidak boleh diperangi, karena itu sama saja dengan upaya bunuh diri yang tidak membawa faedah sama sekali, dan ia berdosa karena telah membinasakan dirinya sendiri, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih tahu.”
Dan masih banyak lagi perkataan dari para imam dan para fuqaha seputar pembahasan ini; di antara mereka ada yang membolehkannya, baik itu dengan tetap memberikan batasan, maupun membolehkannya secara mutlak. Namun ada juga yang melarangnya secara mutlak. Maka yang benar dari itu semua adalah: tindakan ini boleh dilakukan sesuai dengan kebutuhan, baik itu kebutuhan khusus seperti membebaskan tawanan, maupun kebutuhan umum untuk kemaslahatan kaum muslimin, dan alasan dibolehkannya tindakan yang tergolong permasalahan kontemporer ini adalah kebutuhan, namun keputusannya harus dikembalikan kepada para ahli ilmu dan siapa saja yang ahli dalam setiap permasalahan kontemporer.
Syariat telah datang untuk memberikan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta membasmi kemafsadatan dan menguranginya. Pembahasan ini harus diikuti dengan memilah mana yang terbaik dari dua kebaikan dan mana yang lebih buruk dari dua keburukan, mengedepankan kepentingan umum dari pada kepentingan khusus, memberantas kerusakan yang lebih dahsyat dengan memanfaatkan kerusakan yang lebih ringan, dan menangguhkan kerusakan yang khusus untuk menolak kerusakan yang umum.
Semua ucapan para imam yang dinukil di atas menunjukkan bahwa berperang bersama orang-orang kafir asli dan berada di bawah panji mereka adalah diperbolehkan, demi membebaskan tawanan dari kurungannya. Perkara ini tidak boleh lari dari tujuan asalnya, serta harus terkumpulnya maslahah dan kebutuhan disana. Dibolehkan berperang di bawah panji kesukuan ataupun panji sekuler demi melindungi agama, melindungi diri dan negeri kaum muslimin, serta menggentarkan panji salib, dan menghindari fitnah mereka. Perkara ini memiliki banyak sekali dalil. Adapun maslahah terbesar dari ikut berperang di bawah panji kuffar untuk memerangi kuffar lainnya adalah untuk dapat terbebas dari tawanan musuh dan lain-lain.
Sampai di sini perkataan Syaikh Sulaiman bin Nashir Al Ulwan, meskipun panjang, namun perkataan beliau ini bermanfaat dan penting.
Syaikh Ali bin Khudair Al-Khudair berkata:
“Sebagaimana jika ada satu negara menjajah negara yang penduduknya muslim namun penguasanya kafir, kemudian si penguasa tadi mengumumkan jihad melawan penjajah, maka tidak ada larangan untuk berjihad bersamanya untuk melawan penjajah, seperti sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam:
‘Sesungguhnya Allah akan membela agama ini melalui perantara lelaki yang fajir.’
Ia berperang bersama kaum muslimin walaupun si penguasa adalah orang kafir, selama masih ada kemaslahatan kaum muslimin yang harus dilindungi.
Pada awal kedatangannya di Madinah, Rasulullah pernah bersekutu dengan kaum yahudi agar mereka turut serta dalam mempertahankan Kota Madinah, padahal yahudi adalah orang kafir. Ada juga Hilful Fudhul, yaitu sebelum beliau diangkat sebagai Rasul, beliau bekerjasama dengan orang-orang kafir untuk membela orang yang terzhalimi, saya akan membahas permasalahan ini secara lebih luas setelah paragraf ini – InsyaAllah –..” [Az Zanad Fi Syarh Lam’ah Al I’tiqad Li Ibni Qudamah: 64-65]
Maka saya katakan: apakah para ghulat itu dapat membedakan antara dukungan yang menyebabkan kekufuran dengan interaksi-interaksi lain yang mereka jadikan alasan untuk mengkafirkan kaum muslimin?
Setelah kami menyebutkan dua perkataan dari Syaikh Al-U’lwan dan Syaikh Al-Khudair, maka kami katakan kepada siapa saja yang mengkafirkan kelompok-kelompok islam berdasarkan alasan yang tidak jelas, dan mengkafirkan kaum muslimin dengan alasan bahwa mereka menerima senjata dari orang-orang kafir dan murtad untuk memerangi Nushairiyyah, namun senjata tersebut digunakan untuk memerangi mujahidin: Maha Suci Dzat yang telah menganugerahi pemahaman, dan Maha Suci Dzat yang telah melebihkan satu makhluk dari makhluk lainnya, mengangkat derajat para ulama rabbani dan menjadikan mereka sebagai cahaya yang digunakan sebagai pedoman bagi mereka di setiap waktu.
Apabila Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengabarkan bahwa salah satu penyebab sesatnya manusia adalah meninggalnya para ulama, seperti yang tercantum di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Amru, ia berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya langsung dari manusia, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, hingga ketika Dia tak meninggalkan seorang alim (di muka bumi) maka manusia menjadikan orang-orang jahil sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya, maka mereka memberikan fatwa tanpa ilmu, mereka sesat & menyesatkan.” [Muttafaq Alaihi]
Lalu bagaimana dengan orang yang menentang para ulama dan memandang bahwa kebenaran ada pada selain ahli ilmu dan pada orang-orang yang belum memenuhi standar untuk berijtihad, yang ilmu serta pemahamannya sedikit.
Syaikh Yusuf Al-U’yairi berkata di dalam kitab Al Mizan Li Harakah Thaliban, untuk membantah para ghulat yang masih seumur jagung itu, beliau Rahimahullah berkata:
“Dan ini sesuai dengan perkataan Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam buku beliau, Fatawa Al Kubraa juz 2, halaman 25, baca juga juz 4, halaman 222, ketika beliau menjawab pertanyaan seputar orang islam yang membantu orang-orang kafir untuk melawan orang-orang kafir dari kelompok lain, berikut pertanyaannya:
‘Apabila kaum muslimin membantu salah satu kubu kafir dalam peperangan mereka, kaum muslimin tersebut berperang bersama mereka untuk melawan kubu kafir yang menjadi musuh mereka tanpa ada alasan darurat dan kebutuhan hingga mereka membunuh atau terbunuh di dalam peperangan, apakah hal tersebut dibolehkan atau tidak? Apakah orang islam itu akan mendapatkan pahala karena telah membunuh orang kafir atau karena ia terbunuh olehnya? Apakah ia diperlakukan seperti orang yang gugur syahid, yang mana jenazahnya tidak dimandikan dan tidak dishalatkan?
Maka Ibnu Hajar Al-Haitami menjawab dengan menjelaskan bahwa pertama tidak ada yang salah dengan membela satu kubu orang kafir untuk melawan kubu kafir lainnya, karena menggunakan perantara dalam membunuh kafir harbi adalah dibolehkan, bahkan disunnahkan, apapun caranya.. kemudian beliau berkata:
‘Apabila seorang muslim atau lebih membantu salah satu dari dua kelompok (orang kafir yang bertikai), kemudian ia dibunuh oleh salah seorang kafir harbi, maka ia gugur syahid dan jenazahnya tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, dan ia dikebumikan dengan menggunakan pakaiannya! Apabila ia berperang demi menjadikan kalimat Allah itu menjulang tinggi…’
Di dalam kitab As-Sair Al-Kabir (4/1422) karangan Imam Muhammad bin Al-Hassan Asy-Syaibani, murid dari pada Abu Hanifah Rahimahumallah, ada sebuah pembahasan yang berjudul: “Bab Meminta Pertolongan Kepada Kaum Musyrik Serta Kaum Musyrik yang Meminta Pertolongan kepada Kaum Muslimin. Di dalamnya disebutkan kisah Zubair Radhiyallahu Anhu ketika sedang bertemu dengan Najasyi, (pada saat kaum muslimin hijrah ke Habasyah). Maka Zubair ikut berperang di barisan Najasyi dan mereka pada hari itu telah memberikan pukulan telak pada musuh. Maka Zubair mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Najasyi.
Berdasarkan zhahir hadits ini, maka kaum muslimin boleh berperang bersama orang-orang musyrik di bawah panji mereka, namun menurut kami masih ada dua penjelasan lagi:
Yang pertama; pada saat itu Najasyi sudah menjadi seorang muslim sebagaimana yang diriwayatkan, karena itulah Az-Zubair dibolehkan berperang bersamanya.
Yang kedua; (dan ini yang kami maksudkan sebagai penguat argumen kami). Beliau (Asy-Syaibani) berkata:
‘Yang kedua; pada saat itu sudah tidak ada lagi tempat bagi kaum muslimin untuk menyelamatkan diri kecuali di Habasyah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu Anha, ia berkata:
‘Saat kami merasa nyaman tinggal di negeri Habasyah, saat kami tinggal di negeri yang baik, bersama tetangga yang baik, dan saat kami menyembah Rabb kami, tiba-tiba ada musuh yang mendatangi Najasyi, kami tidak pernah mengalami hal yang sebesar itu, kami pun berkata: kami khawatir setelah sepeninggalan Najasyi nanti, akan ada seorang raja yang tidak mengetahui hak kami.’
Perkataan beliau (Asy-Syaibani): ‘tidak ada tempat untuk menyelamatkan diri bagi kaum muslimin, kecuali di tempatnya (Najasyi),’ menunjukkan bahwa mereka melindungi tempat mereka menyelamatkan diri mereka itu dengan do’a dan kerjasama Ibnu Zubair, karena kedatangan musuhnya Najasyi akan menyebabkan mereka binasa, Wallahu a’lam.
Kemudian beliau berkata di dalam pembahasan 2972 yang itu juga merupakan penguat argumen kami:
‘Jika orang-orang kafir harbi berkata kepada para tawanan mereka (maksudnya orang islam yang mereka tawan): ‘berperanglah bersama kami untuk melawan kaum musyrik yang menjadi musuh kami,’ namun mereka (para tawanan itu) tidak merasa khawatir terhadap diri mereka apabila mereka tidak mengerjakannya, maka mereka tidak harus berperang bersama kaum musyrik tersebut; karena di dalam peperangan tersebut terdapat upaya untuk menampakkan kesyirikan. Apabila sang pejuang mempertaruhkan dirinya (dengan menyertai kaum musyrik itu berperang) maka ia tidak mendapatkan keringanan, kecuali jika tujuannya adalah untuk membela agama atau mempertahankan dirinya. Apabila mereka lebih khawatir terhadap kaum musyrik yang lain (yang datang menyerang) yang akan membahayakan diri mereka, maka tidak ada masalah jika mereka memerangi orang-orang musyrik tersebut, berarti mereka mempertahankan diri dari kejinya pembunuhan terhadap diri mereka, karena mereka lebih aman berada di bawah tawanan kaum musyrik (yang diserang), dan mereka tidak akan aman apabila jatuh ke tangan orang-orang musyrik (yang datang menyerang). Jadi mereka boleh berperang untuk mempertahankan diri mereka.’
lalu beliau berkata di dalam pembahasan 2973:
‘Apabila mereka berkata kepada kaum muslimin yang tertawan itu:
‘Berperanglah bersama kami untuk melawan orang-orang musyrik yang merupakan musuh kami itu, jika tidak kami akan membunuh kalian.’
Maka mereka diperbolehkan untuk berperang demi mempertahankan kaum musyrik itu, karena artinya mereka juga tengah mempertahankan diri dari kejinya pembunuhan terhadap diri mereka, dan perang melawan orang-orang musyrik (yang menyerang) itu adalah halal dan tidak mengapa jika mereka mengerjakan perbuatan yang halal itu karena adanya hal darurat karena paksaan, bahkan mungkin saja hukumnya wajib sebagaimana dalam kasus memakan bangkai dan meminum minuman keras.’
Kemudian beliau berkata di dalam pembahasan 2972:
‘Apabila mereka berkata kepada para tawanan itu:
‘Berperanglah bersama kami untuk melawan kaum muslimin, jika tidak maka kami akan memerangi kalian.’
Hal ini tetap tidak boleh, karena hal tersebut diharamkan bagi setiap jiwa kaum muslimin, kaum muslimin tidak boleh melakukannya karena ia diancam akan dibunuh, sebagaimana jika ada yang berkata kepada orang islam:
‘Bunuhlah orang muslim itu, kalau tidak aku akan membunuhmu.’
Kemudian beliau berkata di dalam pembahasan 2977, dan ini merupakan penguat argumen yang paling menarik:
‘Jikalau mereka mengatakan kepada para tawanan itu:
‘Berperanglah bersama kami untuk melawan tentara perang lain yang merupakan musuh kami, sebagai imbalannya kami akan membebaskan kalian apabila kami meraih kemenangan.’
Kemudian para tawanan itu yakin bahwa orang-orang musyrik itu jujur, maka tidak ada masalah jika para tawanan itu berperang bersama mereka, karena status mereka adalah mempertahankan diri di tengah penawanan musuh terhadap mereka, akan tetapi ini tidak berlaku jika mereka mengkhawatirkan diri mereka dari ancaman orang-orang musyrik itu.
Sebagaimana mereka diberikan kebebasan untuk mengambil tindakan tersebut, maka kami pun demikian, namun apabila ada yang menyanggah: bagaimana bisa mereka dibenarkan mengambil tindakan ini (berperang bersama panji kafir)? Padahal kelompok kafir ini memiliki kekuatan untuk memerangi muslimin juga, bisa saja kelompok kafir ini malah merebut sumber daya dan persenjataan (orang-orang islam yang berperang di barisan mereka) untuk kemudian balik menyerang kaum muslimin dengan itu!?
Kami menjawab: itu hanyalah imajinasi mereka (para ghulat). Fakta di lapangan (dari kerjasama antara mujahidin dengan FSA) adalah keberhasilan menawan banyak para musuh musyrik. Untuk memperjelas hal ini, bagaimana menurutmu jika musuh menuntut dari pemimpin kaum muslimin berupa sumber daya, persenjataan dan harta sebagai tebusan untuk membebaskan tawanan kaum muslimin yang berada dalam penjara mereka? Bukankah dibolehkan bagi pemimpin kaum muslimin untuk memenuhi tuntutan itu? Yang mana jika dipenuhi musuh malah akan semakin kuat dengan apa yang mereka dapat dari kaum muslimin!?
Kemudian beliau berkata di dalam pembahasan 2980:
‘Apabila tindakan tersebut berbahaya, membawa bencana, dan mereka khawatir diri mereka akan binasa, maka tidak mengapa para tawanan itu berperang bersama mereka untuk melawan orang-orang musyrik, apabila mereka telah berkata: ‘kami akan mengeluarkan kalian dari sana.’..’
Karena tujuan mereka berperang adalah benar, yaitu menolak bencana dan marabahaya yang akan menimpa mereka.’
Selesai menukil penguat argumen dari kitab Sair Al Kabir.”
Dinukil oleh Asy Syahid Al Mujahid Yusuf Al Uyairi untuk membantah orang yang mengkafirkan pemerintahan Thaliban yang semoga terus dimuliakan oleh Allah melalui pertolongan-Nya dan semoga Allah menghinakan siapa saja yang menghinanya (Thaliban) serta siapa saja yang mencela jihadnya. [Al Mizan Li Harakah Thaliban: 209-211]
(aliakram/arrahmah.com)