MINAHASA (Arrahmah.com) – Salah seorang penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dari Bandung, Rizki Lesus berkesempatan mengunjungi salah satu kampung tua di daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Yang menarik di sini, ialah mayoritas penduduk Kampung di Minahasa adalah Islam. Adalah hal yang ganjil melihat penduduk mayoritas Sulawesi Utara adalah kristen. Sepanjang mata memandang, gereja-gereja berjejer di jalan (khususya di Manado) seperti halnya mesjid di Jawa.
Ada yang menarik di sini, ketika kita telisik dari nama sebuah kampung ini, yaitu ‘Kampung Jawa’. Ya, Kampung Jawa Tondano di Minahasa. Menuju kampung ini, jalanan berbukit, udara segar, dan bukit hijau yang menghampar dalam kelokan-kelokan akan menemani kita. Kita akan melewati Danau Tondano, di puncak bukit, danau yang sangat besar, sejauh mata memandang. Jika sempat, silakan turun dan menikmati santapan ikan segar, dengan pemandangan danau yang sangat indah.
JIB bisa menikmati shalat Jumat di Masjid Agung Al Falah Kyai Mojo, Alhamdulillah. Ratusan orang berjejer masuk. Anak-anak sekolahan berduyun masuk. Memang, lama-lama kita mengerti mengapa dinamakan kampung jawa. Ternyata, dahulunya, tempat ini merupakan tempat pengasingan para pejuang Islam di Jawa yang melawan Belanda, khususnya pada Perang Diponegoro (para laskar Diponegoro)
Masjid Agung Al Falah, atau disebut juga Mesjid Kyai Mojo menjadi saksi bahwa dahulu kala, panglima perang muslim itu dibuang oleh Belanda di sini. Mesjid, adalah saksi bisu, bahwa setiap muslim merebahkan hatinya, mengecupkan keningnya ke Ilahi Rabbi. Mesjid ini berwarna putih bersih, persis gambaran sorban Kyai Mojo.
Namun dulu, masjid ini tak seperti sekarang. Masjid yang mirip masjid Demak ini, berdiri kokoh dengan empat soko (tiang) utamanya. Tiangnya kokoh tak bergeming seperti halnya dua abad silam menyangga atap limasnya. Ketika itu, 63 orang penduduk yang dibuang Belanda, bahu membahu membangun mesjid, setinggi 18 meter ini.
Menara putih setinggi 25 meter di depan Mesjid meneriakan suara syahdu, bahwa telah masuk waktu shalat. Dari atas puncak menara, syiar Islam menggema di bumi Minahasa. Memanggil setiap muslim, keluar dengan sarungnya dari desa yang teratur dan rapi itu.
Di Masjid Kyai Mojo saat masa silam, atap rumbia disusun satu persatu. Dindingya belum tembok seperti sekarang, hanya berlapiskan bilik. Suasana akrab, seperti halnya pembangunan Mesjid Nabawi terjadi. Dari masjid ini, semua bermula. Di sini pula, pernah singgah para pahlawan terasing seperti: Teuku Umar dari Aceh, Abdul Hakim dan Sigorak Panjang (Padang), dan Pangeran Syarif Perbatasari (Banjarmasin)
Berbilang abad, masjid itu kian ramai, sesak, hingga meluber ke luar. Namun, apa yang terjadi setelah para pejuang kita dibuang Belanda ke Sulawesi Utara? Ternyata, semangat dakwah semakin menyala. Mereka tinggal dalam kampung yang begitu bersih dan rapi, memilih pemimpin, hingga membentuk masyarakat islam.
Tercatat, nama kepala desa dari yang pertama hingga tahun 2012, mulai dari Kyai Pajang (1831-1859). Kyai Ghazali, dan seterusnya, orang-orang muslim ini menjadi kepala desa di Minahasa. Bisa dibayangkan, bagaimana para Kyai memimpin masyarakat di sana, hingga kini secara bertahap islamisasi dilakukan di sana. Tak jarang, kita akan melihat orang berjalan dengan sarung di sana, laiknya di pesantren-pesantren di Jawa.
Tak heran, kalau di sana disebut kampung Jawa. Islam dan Jawa tak bisa dipisahkan. Dari sana, tradisi keilmuan Islam diajarkan oleh para Kyai. Tak jauh di sana, ada makam Kyai Mojo dan KH Ahmad Rifai Kalisalak (Silakan Baca Tulisan Adif Sahab (penggiat JIB): Kyai Ahmad Rifai Kalisalak, Mujaddid dari Tanah Jawa). Islam begitu menjejak di sana. Jejaknya bisa dilihat hingga sekarang, juga akan terus di masa yang akan datang…Alhamdulillah, semoga. (azm/jejakislam.net/arrahmah.com)