Oleh: Ustadz Abi Syakir Al-Atsary Hafizhahullah
(Arrahmah.com) – Sampai sekarang masih banyak yang bingung membaca sikap politik kami. Kadang tampak pro Syariat; kadang tampak pro demokrasi; kadang mengkritik penguasa; kadang mendukung tokoh politik dan partai; dan lain-lain. Hal ini dianggap membingungkan.
Baiklah, disini perlu kami jelaskan agar tidak bingung dan salah paham. tapi yakinlah wahai saudaraku bahwa sikap ini berpijak pada konsep syariat.
Tanya: mengapa anda sering mengkritik penguasa?
Jawab: Ya kalau kita melihat sikap, pernyataan dan kebijakan penguasa yang bersifat zhalim dan merugikan ummat. Kalau kebijakan baik, maslahat, manfaat bagi ummat in sya’ Allah didukung dan tiada kritik. Ingat ya, bukan memberontak penguasa, tapi mengkritik, membenahi.
Tanya: tapi penguasa itu kan Ulil Amri, tidak boleh dikritik/dicela secara terbuka?
Jawab: Ya kami tidak meyakini setiap penguasa di atas hukum non syariat sebagai Ulil Amri. Karena dalam Islam, dibuktikan selama ribuan tahun (sejak 623 M s/d 1924 M), yang namanya Ulil Amri itu berdasar Syariat, bukan sekularisme.
Tanya: apakah harus selalu mencela penguasa?
Jawab: Ya lihat dulu kelakuannya. Kalau mungkar, zhalim, menindas kehidupan ummat, silakan dikritik. Kritik itu kan ada alasannya. Tiada asap tanpa adanya api, kita reaksi karena ada aksi.
Tanya: bagaimana kalau penguasa marah lalu bertindak kasar?
Jawab: Ya kita lihat situasi. Kalau aman silakan kritik; kalau berbahaya ya pakai cara lain. Selama ini tampak baik-baik, pendapat politik dihargai.
Tanya: apa anda tidak tertarik memuji-muji penguasa, mendoakan mereka, tidak mengkritik mereka; seperti orang-orang tertentu?
Jawab: Begini, Nabi bersabda “Ad-diinu nashihah…li aimmatil muslimin wa ‘ammatihim” (agama ini nasehat…bagi para pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya). Kalau ada baiknya pemimpin, boleh dipuji, dan kita doakan. Tapi kalau zhalim, menindas, memusuhi agama, ya jangan dibiarkan, kita do’akan tetapi tetap harus dinasehati, diluruskan, dicegah kemungkarannya dengan cara yang ma’ruf (baik secara tertutup maupun secara terbuka;tergantung maslahat), Jangan diam-diam saja melihat mungkar di depan mata dengan alasan “haram mengkritik pemimpin secara terbuka”, padahal riwayat-riwayat tentang dilarangnya mengkritik pemimpin secara terbuka itu dha’if menurut sebagian ‘Ulama, sebagaimana yang dijelaskan sejumlah ahli ‘ilmu diantaranya Ustadz Ja’far Umar Thalib, yang bisa anda baca di link berikut ini http://www.sameeh.net/2014/12/hukum-mencerca-penguasa-didepan-umum.html?m=1
Tanya: bagaimana sikap anda kepada politisi dan partai politik?
Jawab: Ya sejauh mereka berjuang, berperan, maslahat buat kehidupan ummat kami mendukung. Kalau tidak, ya kami kritik dan luruskan sesuai fakta-fakta yang ada, sedangkan kebenaran dan kesempurnaan datangnya dari Allah.
Tanya: Konsep bernegara yang anda inginkan seperti apa?
Jawab: Kita ini kan hidup diperintahkan untuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Maka dalam hidup bernegara juga ada ibadahnya. Agar ibadah bernegara kita diterima oleh Allah, maka syaratnya ikhlas dan sesuai syariat nabi. Intinya, konsep negara Islam itulah.
Tanya: Kenapa anda bawa-bawa negara Islam? Apa tidak takut diberantas oleh negara?
Jawab: Ya kami perjuangkan dengan cara-cara damai, ingat dengan cara-cara damai dan rahmat, misalnya dengan dakwah, dialog, pembinaan. Tidak pakai kekerasan dan tebar permusuhan. Kalau orang sekuler boleh bela negara sekuler masa kami tidak boleh bela Islam? Yang penting damai kan. Kita share ide, gagasan, wawasan, dan seterusnya.
Tanya: Tapi anda juga sering bela politisi atau partai, padahal mereka tidak pro negara Islam?
Jawab: Ya kami melihat aspek tahapan. Kalau belum bisa direalisasikan negara yang ikhlas dan sesuai sunnah; maka kami dukung mereka yang lebih dekat kepada kemaslahatan Ummat, sesuai kaedah memilih mudhorot yang lebih ringan. Siapa yang tulus cinta rakyat, cinta bangsa, cinta masyarakat, pasti kami dukung; karena ada kepentingan Ummat yang terikat di sana.
Tanya: Anda sendiri pro demokrasi ??
Jawab: Di mata kami, demokrasi bukan sistem Islam bahkan sistem sekuler, karena di sana orang sholeh disamakan dengan orang ahli maksiat. Padahal “hal yastawi al a’ma wal bashir” (apakah sama orang buta dengan orang melihat ?) tapi demokrasi itu realita saat ini. Kalau tidak dimanfaatkan, kita bisa kalah dua kalI. Pertama, kalah karena penerapan sistem demokrasi; Kedua, kalah karena kita tak dapat apa-apa dari kompetisi demokrasi tersebut. Jadi kita perlu manfaatkan sarana ini untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
Tanya: Bagaimana dengan orang yang mengkafirkan pelaku demokrasi?
Jawab: Ya itu terserah mereka. Allah Maha Tahu niat dan hati manusia. Kami sudah jelaskan semua ini. Terserah sikap mereka. Mungkin saja pendapat mereka benar. Kalau kami kan meyakini hal ini sebagai alat politik saja.
Tanya: Terus konsep apa yang melandasi pandangan seperti ini? Ini hanya bikinan anda sendiri?
Jawab: Konsepnya sederhana yaitu al-ushulul khamsah (prinsip yang lima). Bahwa Syariat Islam diturunkan untuk: menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga akal, menjaga keturunan kaum Muslimin. Itu saja, titik. Jadi politik Islami muaranya ke prinsip lima ini. Soal cara, metode, taktik bisa berubah-ubah; tapi intinya ke sana.
Tanya: Dengan siapa anda bersekutu dalam pandangan seperti ini ??
Jawab: Ya pandangan begini kan bukan sesuatu yang baru; bukan sekarang ini saja bukan kami saja. Pandangan ini kan hidup dalam kehidupan ummat selama ini. Cuma di sini kami satukan serpihan-serpihan yang tercecer. Kami bersekutu dengan ummat dalam rangka menjaga kehidupan dan hak-haknya.
Tanya: Kita cukupkan ya ustadz, terimakasih ustadz, assalamu’alaikum.
Jawab: Wa’alaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh.
(*/sameeh.net/arrahmah.com)