KENYA (Arrahmah.com) – Aksi penyerbuan polisi Kenya terhadap masjid-masjid telah memicu kemarahan komunitas Muslim di negara itu, menganggap otoritas telah melewati “garis merah” dengan dalih memerangi “terorisme” dan menuntut untuk segera menghentikan tindakan demikian, lapor OnIslam pada Kamis (20/11/2014).
“Jika polisi memiliki masalah dengan beberapa individu, seharusnya menangkap mereka sebagai individual bukannya melakukan penyerbuan dramatis terhadap masjid-masjid dan mengumumkan penutupan mereka [masjid],” Abdulahi Abdi, ketua National Muslim Leaders Forums, kepada OnIslam.net.
Dengan dalih memerangi “terorisme” tindakan itu dilakukan, namun hal itu malah membuat umat Islam Kenya menjadi benci terhadap pemerintah mereka.
“Umat Muslim tidak gembira sama sekali dan sekarang melihat pemerintah sebagai musuh mereka,” tambahnya.
Alih-alih untuk menghentikan “radikalisasi” dengan menangkapi ratusan pemuda Muslim dan menyerbu masji-masjid, tindakan ekstrem pemerintah Kenya justru memungkinkan memicu banyak kerusuhan dan kekerasan.
“Tempat ibadah Muslim sepantasnya mendapatkan penghormatan dan kesucian yang seharusnya tidak dinodai oleh polisi,” kata Abdi.
“Pemerintah memiliki mesin intelijen untuk mengidentifikasi para individu yang mungkin menimbulkan masalah tetapi menyerang masjid tidak bisa diterima.”
Pada Senin dan Rabu, ratusan polisi bersenjata menyerbu masjid Musa, Sakina, Swafaa, dan Minaa di kota pesisir Mombasa dan menangkap ratusan pemuda Muslim.
Seorang pelajar tingkat SMA terbunuh oleh polisi dalam salah satu penyerbuan itu.
Polisi mengklaim bahwa masjid-masjid itu dikontrol oleh para pemuda “tidak bertanggung jawab” yang menyebarkan dakwah “ekstrem” dan mengancam keamanan negara.
Polisi juga mengklaim bahwa penggerebekan mereka itu menghasilkan berbagai macam senjata di dalam masjid, namun klaim tersebut dibantah keras oleh komunitas Muslim karena memang tidak terbukti.
KENYA (Arrahmah.com) – Aksi penyerbuan polisi Kenya terhadap masjid-masjid telah memicu kemarahan komunitas Muslim di negara itu, menganggap otoritas telah melewati “garis merah” dengan dalih memerangi “terorisme” dan menuntut untuk segera menghentikan tindakan demikian, lapor OnIslam pada Kamis (20/11/2014).
“Jika polisi memiliki masalah dengan beberapa individu, seharusnya menangkap mereka sebagai individual bukannya melakukan penyerbuan dramatis terhadap masjid-masjid dan mengumumkan penutupan mereka [masjid],” Abdulahi Abdi, ketua National Muslim Leaders Forums, kepada OnIslam.net.
Dengan dalih memerangi “terorisme” tindakan itu dilakukan, namun hal itu malah membuat umat Islam Kenya menjadi benci terhadap pemerintah mereka.
“Umat Muslim tidak gembira sama sekali dan sekarang melihat pemerintah sebagai musuh mereka,” tambahnya.
Alih-alih untuk menghentikan “radikalisasi” dengan menangkapi ratusan pemuda Muslim dan menyerbu masji-masjid, tindakan ekstrem pemerintah Kenya justru memungkinkan memicu banyak kerusuhan dan kekerasan.
“Tempat ibadah Muslim sepantasnya mendapatkan penghormatan dan kesucian yang seharusnya tidak dinodai oleh polisi,” kata Abdi.
“Pemerintah memiliki mesin intelijen untuk mengidentifikasi para individu yang mungkin menimbulkan masalah tetapi menyerang masjid tidak bisa diterima.”
Pada Senin dan Rabu, ratusan polisi bersenjata menyerbu masjid Musa, Sakina, Swafaa, dan Minaa di kota pesisir Mombasa dan menangkap ratusan pemuda Muslim.
Seorang pelajar tingkat SMA terbunuh oleh polisi dalam salah satu penyerbuan itu.
Polisi mengklaim bahwa masjid-masjid itu dikontrol oleh para pemuda “tidak bertanggung jawab” yang menyebarkan dakwah “ekstrem” dan mengancam keamanan negara.
Polisi juga mengklaim bahwa penggerebekan mereka itu menghasilkan berbagai macam senjata di dalam masjid, namun klaim tersebut dibantah keras oleh komunitas Muslim karena memang tidak terbukti.