JAKARTA (Arrahmah.com) – Forum Ulama Muda Jakarta dalam petisinya di change.org memandang, bahwa Ahok tidak patut diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta, karena tidak memenuhi persyaratan sebagai diatur dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, Nomor: 07/Kpts/KPU-Prov-010/2011.
“Jika Ahok memimpin DKI Jakarta dan tetap dalam kekeliruan dan keangkuhannya, maka ia akan merusak agama, khususnya agama Islam,” terang KH. FahmiSalim, Lc. MA. Koordinator Forum Ulama Muda Jakarta
Parahnya, menurut Kiai, Ahok pun – dengan sadar atau tidak — telah memainkan perannya untuk menjalankan politik adu-domba dan memecah belah ulama dan masyarakat DKI Jakarta, dengan gagasan-gagasan dan perilakunya.
Kata KH. Fahmi, hal itu menunjukkan Ahok tidak memenuhi syarat setia kepada NKRI dan memahami kondisi sosial-budaya masyarakat DKI Jakarta.
“Jika dibiarkan berlarut-larut, maka dikhawatirkan akan memicu kekecewaan dan keresahan masyarakat Jakarta, dan umat Islam pada khususnya, sehingga dapat memicu terjadinya konflik bernuansa SARA yang sangat tidak kita kehendaki,” paparnya.
Menurut KH Fahmi ini adalah demi kebaikan kehidupan berbangsa dan bernegara dan menjaga keharmonisan hubungan antar-masyarakat di wilayah DKI Jakarta khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Rekaman peilaku Ahok
Berikut ini beberapa contoh, pernyataan dan kebijakan Ahok yang menunjukkan bahwa dia tidak layak dan tidak patut memimpin DKI Jakarta yang dikutip dari petisi berjudul Pandangan & tausiyah kepada sesama Muslim tentang pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta
1. Mengajukan gagasan perlunya lokalisasi pelacuran. Ide ini sangat berbahaya dan sangat aneh jika keluar dari seorang pemimpin wilayah. Tampaknya Ahok tidak memahami masalah dengan baik, dan tidak mengkajinya dengan mendalam, dari aspek keagamaan, sosial, budaya, dan kesehatan. Sementara selama ini sudah terbukti dampak buruk lokalisasi pelacuran terhadap masyarakat, sehingga Gubernur DKI Sutiyoso menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak dan Walikota Surabaya Ibu Risma menutup lokalisasi Dolly. Sikap dan perilaku Ahok yang ceroboh dalam masalah yang sangat mendasar seperti ini sangat berbahaya jika dia memimpin DKI Jakarta. Itu menunjukkan, Ahok tidak memenuhi syarat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena mendukung lokalisasi pelacuran hanya dilihat dari kacamata ekonomi yang dibungkus seolah untuk mengontrol penyebaran virus HIV. Hal inijelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam yang dianut mayoritas warga DKI, dan Kristen yang dianut Ahok, karena hal itu sama saja dengan melegalkan kemaksiatan.
2. Dalam menyampaikan gagasannya, Ahok juga menggunakan kata-kata yang tidak santun, menuduh orang lain munafik dan sebagainya. Sikap dan perilaku yang kasar, terkesan angkuh, sombong dan menimbulkan kontroversi. Hal ini jika dibiarkan akan mengganggu ketentraman masyarakat beragama, khususnya umat Islam. Pada akhirnya akan berimbas mengganggu ketahanan nasional karena DKI Jakarta adalah barometer nasional Indonesia. Ucapan dan perilaku Ahok tersebut juga menunjukkan bahwa dia tidak memahami kondisi sosial dan budaya masyarakat DKI Jakarta yang religius dan memiliki sensitivitas terhadap hal-hal keagamaan semacam ini.
3. Ahok juga telah menjadikan agama sebagai bahan olok-olok. Itu disampaikan Ahok saat memberikan sambutan dalam Pembukaan Rakerda I MUI DKI Jakarta 2014, di Balai Agung, Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2014): “Bapak Ibu jangan merasa saya musuh Islam. Dari kecil saya sejak lahir, 93% di sekeliling saya ada adalah muslim. Keluarga saya banyak yang muslim. Kalau persoalan saya enggak dapat hidayah, ya tanya sama Allah.”
Kata-kata Ahok itu jelas-jelas telah menjadikan agama sebagai permainan, sebab ia melecehkan arti hidayah denganberbangga diri dalam keadaan tidak mendapatkan hidayah, lalu meminta orang lain menanyakan hal itu kepada Tuhan. Seakan-akan Allah telah salah karena tidak memberi petunjuk kepadanya. Initidak etisdisampaikan oleh orang yang mengaku beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
4. Mengusahakan penghapusan kolom agama di KTP. Pernyataan Ahok tentang perlunya penghapusan kolom agama di KTP juga dinyatakan dengan sangat tegas dan kasar, bahkan cenderung melecehkan agama, khususnya agama Islam. Berita di Situs Kristen (http://reformata.com/news/view/7797/ahok-tak-perlu-kolom-agama-di-ktp), 20 Juni 2014, yang berjudul, “Ahok: Tak Perlu Kolom Agama Di KTP”,ia mengatakan: “Kenapa mesti ada kolom agama di KTP? Untuk apa? Apa gunanya saya tahu agama kamu? tanya Ahok.” Selanjutnya, ditulis:
“Indonesia mencantumkan kolom agama di KTP, kata dia, hanya karena pengaruh budaya Timur Tengah, yang penuh dengan sejarah penaklukan agama, sehingga menyebabkan memunculkan agama mayoritas dan minoritas. Dalam konteks seperti ini identifikasi agama diperlukan. Sama sekali berbeda dengan kondisi beragama di Indonesia. Menurut Ahok, Indonesia adalah negara berasas Pancasila dan UUD 1945. Agama mayoritas, Islam pun masuk ke Indonesia bukan melalui penaklukan agama. Sehingga identifikasi agama, tidak dibutuhkan di sini. Karena itu, kata dia, pelaksanaan ritual beragama di Indonesia seharusnya tergantung kepada individu masing-masing dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain, apalagi negara. Karena itu dia sangat mendukung calon presiden yang ingin menghapus kolom agama di KTP.”
Pernyataan Ahok tentang penghapusan kolom agama di KTP ini bukan masalah sederhana dan hanya dilemparkan dalam pernyataan yang tanpa pertimbangan yang matang. Padahal bagi umat Islam, identitas keagamaan di KTP sangat diperlukan dalam pernikahan, pengobatan, dalam pengurusan jenazah, dalam sumpah jabatan, masalah warisan dan masih banyak lagi. Ahok nampaknya tidak memahami agama mayoritaswarganya yaitu Islam yang selalu melekatkan identitas agamanya, di mana saja dan untuk kepentingan apa saja. Sebab Islam bukan hanya agama privat saja, tetapi juga agama publik. Sesuai dengan pasal 29 UUD 1945, umat Islam berhak menjalankan ibadah baik secara privat maupun secara publik. Jika Ahok memaksa orang Islam agar beragama secara privat, maka dia sudah tidak toleran dengan penganut agama selain agamanya.
Untuk memperkuat pendapatnya, Ahokpun tak segan-segan melakukan kebohongan publik, dengan menyatakan, bahwa di Malaysia, kolom agama juga tidak disebutkan dalam KTP Malaysia. Padahal, pernyataan Ahok itu terbukti salah.
Masalah keagamaan ini sudah diatur dalam UUD 1945 dan UU No 1/PNPS/1965, sehingga sebagai pemimpin wilayah, harusnya Ahok memahami hal itu, dan tidak memunculkan kontroversi yang sangat menyakitkan bagi umat Islam. Apalagi, selama ini, secara umum, masyarakat Indonesia dan umat Islam juga tidak mengalami masalah dalam soal pencantuman kolom agama di KTP.
5. Melarang pemotongan hewan qurban di sekolah dan melakukan kebohongan publik. Kasus pelarangan pemotongan hewan kurban di sekolah oleh Ahok jelas tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta nomor 67 Tahun 2014 pada point 4.a.1: “melarang kegiatan pemotongan hewan kurban dilokasi pendidikan dasar”. Tetapi, Ahok membantah dan bahkan berbohong dengan mengatakan, yang menandatangani instruksi itu adalah Jokowi bukan dirinya. Padahal, di situs resmi Pemprov DKI Jakarta, Insgub itu jelas ditandatangai oleh Ahok selaku Plt Gubernur DKI Jakarta pada 17 Juli 2014.
6. Pikiran-pikiran Ahok yang mengecilkan masalah agama dalam kehidupan, menunjukkan bahwa dia tidak memahami kondisi sosial-budaya masyarakat DKI Jakarta. Pemimpin seperti ini sangat berpotensi untuk menanamkan benih-benih perpecahan dan permusuhan di tengah masyarakat. Ini berarti Ahok tidak mengenal masyarakat yang dipimpinnya dan dapat dikatakan bahwa dia tidak memenuhi syarat menjadi gubernur sesuai dengan keputusan KPU Nomor: 07/Kpts/KPU-Prov-010/2011, yaitu mengenal masyarakatnya.(azm/arrahmah.com)