Oleh Ustadz Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – Basuki Tjahaja Purnama alias Zhong Wan Xie, atau terkenal dengan panggilan Ahok. Lahir dari keluarga keturunan Cina-Indonesia, beragama Kristen, pada 29 Juni 1966, di Manggar, Belitung Timur. Ia berasal daei satu daerah dengan tokoh komunis Indonesia, DN Aidit.
Mengawali karir politiknya di Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang didirikan alm. Syahrir. Melalui parpol PPIB inilah Ahok bisa menjabat anggota DPRD Belitung Timur untuk masa bakti 2004-2009. Belum berakhir masa jabatan sebagai legislator, Ahok mencalonkan diri menjadi Bupati Belitung dan terpilih kurun 2005-2010.
Di awal kepemimpinannya, pemerintah Belitung Timur membebaskan biaya pendidikan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas negeri. Belasan siswa berprestasi dikirim melanjutkan belajar gratis ke Universitas Trisakti, Jakarta, dan Universitas Bangka-Belitung. Setiap siswa itu disubsidi Rp 1 juta per bulan untuk yang di Jakarta, dan separuhnya untuk Bangka.
Kabarnya, Ahok juga memotong biaya perjalanan dinasnya, dari Rp 1 miliar per tahun menjadi seperlimanya. Pos yang sama untuk kepala dinas dikorting. Untuk perjalanan ke Jakarta, hanya dapat uang tiket kapal, bukan pesawat.
Selama memimpin Belitung Timur, Ahok dikenal keras dan cenderung kasar. Menurut para pegawai di wilayah itu, apabila mereka ketahuan kongkow pada jam kerja langsung mendapat sanksi, ditahan kenaikan pangkatnya. Di sisi lain, Bupati memberi honor untuk para ketua RT Rp 300 ribu, Ketua Dusun Rp 640 ribu, dan Kepala Desa Rp 2 juta per bulan.
Belum selesai menjabat sebagai bupati Belitung Timur, Ahok berambisi menjadi gubernur Babel. Karena gagal dalam pencalonan pilgub Babel pada tahun 2007, Ahok meninggalkan PPIB, kemudian bergabung dengan Partai Golkar. Pada Pileg 2009 Ahok melaju ke DPR RI untuk masa jabatan 2009-2014.
Kurang puas sebagai legislator, Ahok nekad mencalonkan diri sebagai cagub di Jakarta, tapi kandas karena tidak punya basis pendukung yang kuat di Partai Golkar. Sebagai politisi lokal, masyarakat lebih mengenal film anak-anak Laskar Pelangi daripada Ahok. Kesal dengan itu, Ahok keluar dari Golkar dan memilih menjadi anggota Partai Gerindra.
Bersanding dengan Jokowi sebagai cawagub pada Pilkada DKI Jakarta, 2012, Ahok menanggalkan jabatannya sebagai anggota DPR RI, begitupun statusnya sebagai anggota Fraksi Partai Golkar. Di pentas Pilkada DKI Jakarta, Ahok memainkan peran penting dalam memobilisasi kelompok etnik Tionghoa dan Nasrani. Melalui pendekatan etnik Tionghoa dan sentimen keagamaan, Ahok lihai membungkus rekam jejaknya agar mendapat dukungan.
Hoki atau nasib baik Ahok, ternyata tak seindah cerita. Menurut mantan Ketua DPRD Propinsi Babel dari PPP, Emron Pangkapi, Ahok termasuk Bupati Belitung Timur yang gagal. Selain mengumbar janji, saat menjabat Bupati Belitung Timur, tidak ada prestasi prestius yang pernah ditorehkannya. Begitupun ketika Ahok menjabat anggota DPRD selama 1,5 tahun, kinerjanya sebagai legislator juga tidak hebat. Tidak satupun Perda yang diusulkan saat menjabat sebagai Bupati Belitung Timur selama 13 bulan. Ia bahkan meninggalkan hutang Pemda Belitung Timur dan kasus pembebasan lahan pelabuhan Manggar, sehingga sempat dipanggil pihak Kejaksaan.
Dari rekam jejak sebagai ‘bajing loncat’, lompat pagar dari partai satu ke partai lain, tidak pernah menyelesaikan amanah rakyat, menamatkan masa jabatan hingga akhir periode, Ahok dinilai egois dan tidak punya moral politik. Apalagi, ia selalu menganggap keberhasilan yang diperolehknya sekadarhoki. Tidak mau mengakui jasa partai yang mengorbitkan namanya.
Demo anti Ahok
Apabila kita belajar dari sejarah kepemimpinan di ibu kota, belum pernah ada gelombang demonstrasi yang demikian besarnya seperti yang menimpa Ahok. Tapi, setiapkali terjadi demonstrasi anti Ahok, dituding sebagai demo yang dimotivasi SARA,demo bayaran yang melawan kehendak rakyat.
“Mereka nolak saya jadi gubernur, ya nggak apa apa. Nanti kalau alasannya SARA bisa dipidanakan juga,” ujar dia.
Benarkah demonstrasi anti Ahok di Jakarta bernuansa SARA? Fakta bahwa DKI Jakarta bukan hanya sekali ini dipimpin Gubernur non-Islam.Pada periode 1964-1965, DKI Jakarta pernah dipimpin gubernur non-Muslim, Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau Henk Ngantung. Ia menjadi gubernur Jakarta ke-7, melanjutkan masa era Soemarno. Meski non Muslim, namun Henk Ngantung tidak pernah didemo seperti Ahok. Dan tak ada penolakan soal agama.
Jika alasan keras, ceplas-ceplos, dulu Gubernur Ali Sadikin juga dikenal keras, disiplin, ceplas – ceplos, tetapi tidak ada masalah. Demo yang seperti ditujukan kepada Ahok belum pernah terjadi.
Lalu, mengapa rakyat Muslim di Jakarta menolak Ahok? Ada banyak alasan, mulai isu KTP tanpa identitas agama, gaya kepemimpinan yang sok tahu, gaya bicara yang provokatif hanya menurut persepsinya sendiri, hingga kinerja dalam membenahi macet serta banjir Jakarta.
Pengamat LIPI, Dr. Siti Zuhro mengatakan, kemacetan Jakarta belum ada hal konkrit yang dikerjakan oleh Jokowi-Ahok. Sehingga problem macet masih menjadi wajah buruk ibu kota negara.
Juga dalam masalah banjir, waktu yang selama 2 tahun memimpin Jakarta, sejak dilantik 15 Oktober 2012, tidak ada langkah solutif yang efektif atas masalah banjir ini. Bahkan ada anekdot yang mengatakan bahwa: “jika dulu banjir setahun 5 kali, sekarang malah 2 kali seminggu”.
Dalam masalah buruh dan ketenagakerjaan, memang upah buruh di Jakarta naik menjadi Rp 2,2 juta dan ini yang membuat buruh gembira. Tapi semua itu hanya diatas kertas saja, eksekusinya nihil, hal ini dibuktikan banyaknya perusahaan yang mangkir dari kebijakan itu. Perusahaan tetap menggaji buruh Rp.1,5 juta. Hal ini di tegaskan oleh Ketua Umum SBSI, Sunarti.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir adanya temuan bermasalah dalam program Kartu Jakarta Pintar (KJP). Program tersebut juga tidak tepat sasaran. Selain itu, kasus bus Trans Jakarta yang rusak dan berkarat, menjadi aib politik kepemimpinan Jokowi-Ahok.
Lain lagi alasan FPI, yang demonya berakhir rusuh. Dengarlah penuturan Syarifah Fadlun binti Yahya, mujahidah Pembela Islam (MPI), istri Imam Besar FPI, Habib Rizieq Syihab, terkait demo anti Ahok itu.
“Begitu banyak Ahok berkoar bahkan menyinggung umat Islam, kami nggak tinggal diam. Undang-Undang itu buatan manusia. Kami ini berdasarkan dalil Alquran. Ahok bilang kita tidak perlu tunduk pada ayat-ayat kitab suci, melainkan kita hanya tunduk dengan Undang-Undang sama konstitusi,” katanya.
Berikut kesalahan dan komentar jahat Ahok versi MPI yang dibacakan saat berunjuk rasa di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat 10 Oktober 2014: Ahok menghancurkan masjid di Jatinegara dan masjid bersejarah di TIM, sampai saat ini nggak ada tanda-tanda renovasi. Dia memaksakan mengangkat pejabat kafir, di tengah-tengah mayoritas Muslim yang menolaknya, seperti Lurah Lenteng Agung Susan. Selain itu, Ahok mendukung legalisasi pelacuran dan menyebut pihak yang menolak itu munafik. Dan Ahok pernah menyatakan kebanggaannya kalau Jakarta jadi tuan rumah Miss World dan Konser Lady Gaga.
Sebagai penguasa daerah, selain belum menunjukkan prestasi signifikan, Ahok tampil bak tirani minoritas, sehingga mudah memancing konfrontasi.Seperti dikatakan oleh Ketua MPI Syarifah Fadhlun:
“Dia bukan Muslim, tapi luar biasa menyinggung perasaan umat Islam”.
Misalnya, apa relevansinya dengan problem Jakarta yang carut marut, Ahok mengeluarkan instruksi melarang takbiran di malam Idul Fithri, menjual hewan kurban di tempat umum, atau menyembelih hewan kurban di masjid dan sekolah?
Ini membuktikan Ahok telah menzalimi keyakinan agama rakyat mayoritas, mempersulit pengamalan ajaran agama, yang sebelumnya tidak pernah dipersoalkan.
Dalam salah satu ceramahnya, Imam besar FPI, Habib Muhammad Rizieq Shihab mengingatkan. “Kalau kalian tidak suka FPI dalam berjuang memberantas maksiat dan kemungkaran, itu adalah hak anda. Kalau kalian tidak suka dengan bakti sosial dan misi kemanusiaan relawan FPI, itu hak anda. Kalau kalian tidak suka dengan cara dakwah habaib, kiyai, ustadz, aktivis FPI, itu hak anda.
Tapi satu hal yang harus kalian ingat, sudah berbuat apakah kalian untuk berjuang membela Syariat Islam? Sudah sejauh dan sehebat apa perjuangan kalian dalam membela syariat Allah yang dilecehkan oleh gerombolan munafiqin dan kafirin?
FPI hanyalah sekelompok ormas kecil yang memiliki cita-cita besar. Anggota dan pengurus FPI hanyalah manusia biasa dan bukanlah malaikat. Laskar FPI tidak berharap menjadi pahlawan ataupun mendapat imbalan, tapi hanya berharap negeri ini jauh dari maksiat dan kemungkaran.
Silahkan saja kalian membenci FPI, tapi janganlah kalian membenci apa yang di perjuangkan FPI.”
Apabila umat Islam menolak korupsi, dekadensi moral, mabuk-mabukan, narkoba, kekerasan RT, berdasarkan keyakinan agama, apakah termasuk SARA? Jika tidak, mengapa menolak atau menerima calon gubernur berdasarkan agama dianggap SARA? Sementara, ada pihak lain merasa berhak menolak ajaran Islam berdasarkan demokrasi dan hak asasi.
Dalam salah satu ceramahnya, Imam besar FPI, Habib Muhammad Rizieq Shihab mengingatkan. “Kalau kalian tidak suka FPI dalam berjuang memberantas maksiat dan kemungkaran, itu adalah hak anda. Kalau kalian tidak suka dengan bakti sosial dan misi kemanusiaan relawan FPI, itu hak anda. Kalau kalian tidak suka dengan cara dakwah habaib, kiyai, ustadz, aktivis FPI, itu hak anda.
Tapi satu hal yang harus kalian ingat, sudah berbuat apakah kalian untuk berjuang membela Syariat Islam? Sudah sejauh dan sehebat apa perjuangan kalian dalam membela syariat Allah yang dilecehkan oleh gerombolan munafiqin dan kafirin?
FPI hanyalah sekelompok ormas kecil yang memiliki cita-cita besar. Anggota dan pengurus FPI hanyalah manusia biasa dan bukanlah malaikat. Laskar FPI tidak berharap menjadi pahlawan ataupun mendapat imbalan, tapi hanya berharap negeri ini jauh dari maksiat dan kemungkaran.
Silahkan saja kalian membenci FPI, tapi janganlah kalian membenci apa yang di perjuangkan FPI.”
Apakah sikap kasar, angkuh, menista ajaran Islam, munafik -hanya ngomong tapi nol prestasi- seperti dipertontonkan Ahok selama ini, bagian dari misi Kristen dan budaya Tiongkok? Jika ya, maka demo melengserkan Ahok dapat dibenarkan. Kelas Ahok tidak kompeten memimpin ibu kota Negara. Tapi jika sikap demikian merupakan aib personal, seharusnya Ahok memperbaiki diri. Belajarlah kearifan memimpin pada Khalifah Abu Bakar Shidiq Ra. yang berkata:
“Sesungguhnya aku telah mengatur urusan kalian, tetapi aku bukanlah orang terbaik di kalangan kalian, maka berilah pertolongan kepadaku. Apabila aku bertindak lurus, maka ikutilah aku. Tetapi apabila aku menyeleweng maka betulkan aku.”
Jadi, Ahok jangan Sok hebat!
(arrahmah.com)