DENPASAR (Arrahmah.com) – Alhamdulillah, syahadat Kapolda Bali Jenderal Bintang Dua Polri Albertus Julius Benny Mokalu merupakan kabar gembira bagi Ummat Islam Indonesia. Ini merupakan sesuatu yang istimewa untuk kita syukuri. Namun, ada lagi yang menarik selain hal tersebut. Keistimewaan itu dihadirkan saudara-saudara Muslimin di Bali, sebagaimana dilansir Suara Islam, Selasa (11/11/2014).
Suatu hari Ustadz Bachtiar Nasir bertanya bertanya kepada suatu jamaah, “Islam manakah yang paling baik?” Menurut Beliau Islam yang paling baik itu bukan Aceh, Sumatera Barat atau Yogyakarta, tetapi Islam terbaik di Indonesia itu adalah Bali.
Sontak mustami’ heran. Bagaimana mungkin? Setelah mendengarkan penjelasan Ustadz Bachtiar, ternyata hanya di Bali fenomena jumlah jama’ah Shalat Subuh lebih banyak dari pada jama’ah Shalat Jum’at terjadi. Di Masjid Baitul Makmur Denpasar misalnya, jama’ah Shalat Subuhnya bisa mencapai 700 orang, bahkan untuk hari Ahad lebih banyak lagi, sehingga tidak muat lagi di dalam masjid.
Bukan shalat-shalat jama’ah saja yang semarak, kegiatan-kegiatan seperti ta’lim dan kajian keislaman tak kalah disambut semangat. Muslimin Bali sangat antusias dalam mengkaji tafsir, hadis dan sebagainya, bahkan mendatangkan ustaz-ustaz dari luar. Demikian pula dalam berinfak, tak heran bila amal-amal sosial Muslim di Bali lebih terurus dengan baik dibandingkan dengan yang dikelola umat lain yang mayoritas sekalipun. Alhamdulillah.
Sebagaimana stigma umum, Bali selama ini dipersepsikan tak identik dengan Islam, bahkan mungkin memunculkan pandangan miring. Para pendatang dari luar di Bali kebanyakan memang beragama Islam, tetapi mungkin lebih diasumsikan mereka yang memilih bekerja di sana bukan Muslim yang taat. Barangkali diasumsikan pula Muslim yang taat cenderung tidak memilih bekerja di Bali. “Tetapi kenyataan yang terjadi, Islam di Bali justru tumbuh [begitu] menakjubkan,” lapor Muhammad Fauzi pada SI.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kita di luar Bali? Dalam kondisi sebagai mayoritas, kita lebih mengenal Islam, lingkungan dan tempat kita bekerja lebih kondusif untuk menjalankannya, lebih tersedia berbagai sarana di sekitar kita yang mempermudah untuk kita menjalankan ibadah. Namun ternyata kemalasan membuat amal kita tak sebanding dengan peluang yang semestinya bisa diraih.
SI menyentil masjid-masjid di luar Bali, mengapa banyak yang sepi, padahal hampir setiap RT ada masjidnya. Begitu sedikit orang yang mau mendatangi majelis-majelis ilmu. Nyaris tak ada lagi rumah-rumah di kota besar (misal, Jakarta) yang membiasakan membaca Al-Qur’an di dalamnya. Tak sebanding dengan semaraknya hal-hal yang bersifat hiburan duniawi dan hura-hura di sekitar kita. Astaghfirullah.
Padahal, beberapa dekade lalu, suasana di Bali masih seperti di negara-negara Barat, nyaris tanpa simbol-simbol Islam yang menonjol. Untuk mencari tempat shalat saja sulit. Tak dinyana jika di kemudian hari, syiar Islam di sana justru tampak bergairah. Sebaliknya di luar Bali, sepertinya malah seperti sudah jenuh dalam beragama. “Beragama bagi kita rasanya seperti hanya turun-temurun semata,” ungkap Muhammad Fauzi pada SI.
Antara kuantitas dan kualitas, kita yang secara jumlah mayoritas tampak seperti hanya minoritas, mungkin seperti buih di lautan. Sebaliknya, Muslimin Bali dalam kondisi sebagai minoritas, mampu melampauinya, dan benar-benar menampakkan syiar Islamnya.
Begitulah, dalam kondisi minoritas, penuh keterbatasan, tak menjadikannya penghalang, Muslimin Bali mampu melampaui keterbatasan tersebut. Sedang Muslimin di luar Bali, memiliki begitu banyak kesempatan yang terbuka, tetapi mengapa menyia-nyiakannya? Tidakkah kita malu dengan prestasi yang dicapai saudara-saudara kita di Bali?
“Seringkali dengan berbagai nikmat yang diberikan kepada kita, tak membuat kita lebih dekat kepada agama, malah kita lebih banyak lalai, kita seperti tidak butuh dengan Islam. Sementara, saudara-saudara kita yang sedang terkena berbagai musibah, cobaan yang berat, menjadi korban konflik dan peperangan, tetapi dalam kondisi demikian sulit justru membuat mereka mendekat dengan agama,” imbuh Muhammad Fauzi.
“Jika lebih banyak kesempatan kita sia-siakan, bagaimana jika nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita ini dicabut? Apakah kita menunggu mendapat cobaan-cobaan seperti itu, baru mau mendekat kepada-Nya?” Ighfirlana yaa Rabbana. (adibahasan/arrahmah.com)