AMMAN (Arrahmah.com) – Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini adalah seorang ulama asal Yordan kelahiran Palestina yang kiprahnya telah hadir sejak era jihad Afghanistan melawan Uni Soviet dan jihad Aljazair tahun 1995-an. Keteguhannya yang kokoh dalam mendakwahkan tauhid dan jihad pernah menghantarkan beliau ke dalam penjara.
Seiring dengan konflik internal di kalangan Mujahidin Syam, beliau pernah memberikan nasehat untuk membangun kesatuan di antara mujahidin dan menyampaikan peringatan kepada Islamic State (IS) atau yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS untuk tidak bersikap ghuluw dalam takfir. Hal itu beliau sampaikan sekitar bulan Januari-Februari 2014 lalu pada saat konflik semakin memanas dengan tertumpahnya darah di kalangan Kaum Muslimin, di mana pada saat yang sama ulama-ulama lainnya juga memberikan nasehat dan peringatan kepada ISIS.
Belakangan ini, ramai orang menuduh bahwa pandangan Syaikh Abu Qatadah mengenai Jihad telah berubah. Dalam sebuah wawancara eksklusif, beliau mengungkapkan kepada Arab Daily News bahwa dirinya menolak menisbatkan diri sebagai Salafi ataupun Jihadi.
Beliau memposisikan dirinya sebagai seorang ulama dan bukan anggota dari kelompok politik ataupun kelompok agama. Selain itu, beliau juga menyatakan bahwa Jihad bukanlah tentang membunuh warga sipil yang tak berdosa. Berikut terjemahan hasil wawancara dengan Syaikh Abu Qatadah yang dilakukan oleh Ali Younes, editor Arab Daily News, dan dirilis pada Senin (3/11/2014) tersebut.
***
Dia dijuluki sebagai duta Al-Qaeda di Eropa, seorang pengkhotbah radikal, seorang Salafi, Jihadi [garis] keras, seorang dalang teroris dan Bin Ladin-nya Eropa. Tapi Omar Othman, yang lebih dikenal sebagai Abu Qatadah ini bersikeras bahwa dia bukanlah semua itu. Saya berbicara dengan dia panjang lebar di rumahnya di Amman, Yordania pada beberapa kesempatan tentang tahap-tahap yang dia alami dalam hidupnya.
Kami membahas fatwa teror Aljazair kontroversialnya, tuduhan teror yang dituduhkan padanya di Yordania, transformasi intelektualnya selama bertahun-tahun, dan membahas doktrin yang dikembangkannya mengenai Jihad yang berdiri sebagai sesuatu yang berlawanan total dengan “militeristik” atau Jihad [garis] keras yang mendominasi kelompok-kelompok Jihadi pada masa sekarang ini. Dia juga berbicara tentang pandangannya tentang paham Salafi yang sekarang dia tinggalkan dan mengatakan bahwa dia bukan lagi bagian dari itu dan tentang penolakannya terhadap penggunaan teror untuk memberdayakan umat Islam.
Dia juga berbicara tentang pengalaman [di] Inggrisnya yang membuat dia memikirkan kembali strateginya dan kasus hukumnya di Inggris dan di Yordania. Dia juga berbicara tentang rasa hormat yang mendalam untuk kaum wanita terutama istri dan ibunya yang menurutnya telah membuatnya menjadi seorang yang lebih baik, dan keyakinan kuatnya bahwa wanita Muslim harus diberdayakan dan dihormati sebagai manusia yang sama [derajatnya]. Dia juga berbicara tentang dedikasi untuk Palestina dan bagaimana ISIS, berdasarkan penalaran teologinya, akhirnya akan menggerogoti dan menghancurkan dirinya sendiri dari dalam. Dia juga berbicara tentang tiga anak perempuan dan dua anak laki-lakinya serta pilihan mereka dalam kehidupan dan pendidikan.
Bertentangan dengan gambaran media Barat yang membelok-belokkan dirinya seakan sebagai dalang teroris berbahaya dan seorang pembunuh yang haus darah, Abu Qatadah tampaknya merupakan seorang pria yang sepenuhnya selaras dengan dirinya sendiri dan dengan keyakinan agama yang jelas yang dia katakan untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk Muslim dan Islam sebagaimana dia melihatnya. “Saya bukan teroris,” katanya. Dia mengatakan bahwa dia mengubah dirinya baik secara teologis maupun politis dalam kaitannya dengan perubahan realitas di Dunia Arab terutama setelah munculnya banyak kelompok Jihadi yang menggunakan kekerasan ekstrim terhadap pembunuhan warga sipil tak berdosa atas nama Jihad dan Islam. “Jihad bukanlah, bukan seharusnya tentang pembunuhan.” “Saya bukan lagi seorang Salafi,” tambahnya. Istilah bersejarah “Salafi” berarti kembali ke metode dan kehidupan keagamaan ulama Islam terdahulu.
Tapi bagi Abu Qatadah, istilah ini telah disalahgunakan dan telah menjadi “slogan yang tak berarti.” Dan bahwa “setiap kelompok yang menyebut dirinya salafi, pada kenyataannya tidak lebih dari sebuah front untuk agenda politik yang mungkin menggunakan Islam dan agama untuk politik dan keuntungan moneter.” Menurut penalaran ini, oleh karena itu, label ini tidak lagi berlaku baginya.
Pandangannya tentang doktrin Jihad juga menjadi lebih dicanggihkan dan dikembangkan lebih lanjut, yang mencerminkan pemikiran baru mengenai strategi terbaik untuk memberdayakan umat atau bangsa Muslim. Ajarannya tentang Jihad saat dia menjelaskannya kepada saya, bukanlah tentang pembunuhan terhadap warga sipil tak berdosa, wartawan atau pekerja bantuan atau hanya kekejaman pembunuhan sembarangan seperti yang ISIS lakukan. Dalam hal ini, Abu Qatadah mengatakan “Saya bukan seorang Jihadi.” Baginya, Jihad harus dilakukan untuk kebangkitan Muslim di mana seluruh “Ummat” harus bangkit menjadi bangsa yang kuat dan maju setara dengan negara-negara kuat maju lainnya di dunia.
Dia menyatakan bahwa “Jihad antara lain harus, tentang politik, budaya, pemberdayaan ilmiah kaum Muslimin.” Masalah dengan kelompok-kelompok “Jihadi” saat ini adalah bahwa mereka menggunakan “Jihad” dengan cara yang membuat seluruh agama Islam [seakan] terserap oleh “Jihad”, bukan sebaliknya. Ini adalah sebuah titik penting dalam pengembangan Abu Qatadah mengenai ajarannya tentang Jihad.
“Masalah dengan kelompok-kelompok seperti ISIS adalah bahwa mereka menggunakan Jihad sebagai hal yang paling penting dari pada segala sesuatu yang lain dalam Islam, dan ini salah dan merusak.”
Berbicara tentang ISIS, Abu Qatadah mengatakan bahwa kelompok ini adalah “sebuah organisasi yang merusak, takfiri, yang banyak menumpajkan darah dan kejam yang tidak akan bertahan terlalu lama.” Dia beralasan bahwa kelompok pembunuh tersebut pada hakikatnya “menghancurkan diri mereka sendiri”. Hal ini karena nilai-nilai inti mereka didasarkan pada menemukan elemen-elemen dalam hukum Islam untuk meniadakan [kelompok] lain dan kemudian membunuh mereka dengan nama Jihad. Dengan demikian, ISIS akan berakhir dengan menghancurkan dirinya sendiri dengan mengorbankan anggotanya dan membunuh dengan cara mereka sendiri secara sadis. Abu Qatadah, sementara itu yakin bahwa ISIS akhirnya akan menghancurkan diri mereka sendiri berdasarkan pemahamannya tentang cara menggunakan agama dan hukum Islam untuk membenarkan tindakan dan pemahaman sempit mereka tentang Jihad. Dikatakan, bagaimanapun, dia berpendapat bahwa koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan ISIS pada dasarnya [justru] meniupkan kehidupan di dalamnya.
Sementara banyak spekulasi di dunia Arab, bukan secara konspirasi, bahwa ISIS adalah “sebuah rekaan CIA”, Abu Qatadah menyatakan bahwa hal ini tidak benar. “ISIS bukanlah rekaan CIA; mereka, bagaimanapun, merupakan pilihan musuh bangsa kita untuk menggunakan mereka melawan kita. “Dengan kata lain dia berpikir bahwa Barat telah melompat ke atas kereta musik ISIS, dengan memperkuat ukuran dan bahaya mereka, untuk menggunakan mereka untuk keuntungan menimbulkan kerusakan di Dunia Arab.
Dia bagaimanapun tidak mempertimbangkan Amerika Serikat atau Barat sebagai musuh bawaan Muslim. “Tindakan mereka menentang kami dan dukungan mereka terhadap tindakan ‘Israel’ menentang warga Palestina membuat mereka menjadi musuh-musuh kami.” Menggunakan aktor Amerika Silvestre Stallone pada karakter Rocky Balboa dalam film “Rocky” untuk menggambarkan hal itu lebih lanjut, dia berpendapat bahwa “Muslim tidak pergi ke Amerika Serikat untuk melawannya, cara Rocky Balboa pergi ke Moskow untuk melawan petinju Rusia, sama, AS melalui dukungan tanpa syaratnya kepada ‘Israel’ untuk menduduki tanah kami di Palestina, membuat diri mereka menjadi musuh kami.”
Abu Qatadah, di samping itu, juga dituduh sebagai seorang “pria Al-Qaeda di Eropa” dan bahwa dia memegang kesetiaan kepada Bin Ladin dan bahwa dia memberikan fatwa kontroversial untuk Jihadi di Aljazair untuk membunuh kaum wanita dan anak-anak selama perang sipil di negara itu. Dia membantah tuduhan-tuduhan itu. Dia mengatakan bahwa dia benar-benar tidak pernah berjanji setia kepada Bin Ladin. Abu Qatadah, selain itu, tidak melihat dirinya sebagai seorang anggota kelompok agama mana pun, jihadi ataupun bukan. “Saya seorang ulama, bukan anggota dari setiap kelompok politik atau agama. Urusan saya adalah meneliti hukum agama Islam dan teologi,” katanya
Dia juga mengatakan bahwa Fatwa Aljazair terkenalnya adalah tentang yang mengizinkan Jihadi Aljazair, di tanah agama [Islam], untuk menyerang pangkalan militer tentara Aljazair bukan populasi atau warga sipil. Dia mengatakan bagaimanapun, bahwa militer Aljazair telah membawa wanita dan anak-anak -keluarga para tentara mereka- di pangkalan militer tempat mereka, oleh karena itu, justru militer Aljazair lah yang membahayakan nyawa warga sipil tak berdosa dengan menempatkan mereka dalam target militer yang sah. Dia juga mengatakan bahwa ulama Saudi bahkan melangkah lebih jauh dari dia dan terlalu ekstrim tentang masalah ini.
Abu Qatadah adalah orang yang bebas saat ini, berkat kemenangan hukumnya di Pengadilan HAM Eropa melawan pemerintah Inggris terutama Menteri Dalam Negeri Theresa May. Pemerintah Inggris telah mencoba selama bertahun-tahun untuk mendeportasi dia ke Yordan dari mana dia berasal, di mana dia dihukum tanpa kehadirannya atas tuduhan teror.
Abu Qatadah dituduh mendalangi plot untuk melaksanakan beberapa teror bom di Amman yang dikenal sebagai bom Millennium. Para pengacaranya bagaimanapun berpendapat bahwa pengakuan oleh para saksi terhadap Abu Qatadah diperoleh melalui penyiksaan di Yordania. Beberapa hakim Inggris mengakui bahwa bukti melawan Abu Qatadah diekstraksi melalui penyiksaan dan itu adalah “bukti yang sangat lemah.”
Pengadilan HAM Eropa setuju dengan para pengacara Abu Qatadah dan menjadikan semua pengakuan dan bukti terhadap dirinya tidak dapat diterima di pengadilan. Putusan ini, oleh karena itu, melarang pemerintah Inggris mengekstradisi Abu Qatadah ke Yordania berdasarkan pernyataan saksi yang didiskreditkan yang merupakan kunci untuk penghukumannya di Yordania di tempat pertama.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan bagi pemerintah Inggris untuk menyingkirkan Abu Qatadah dan mendeportasinya dari Inggris adalah dengan meyakinkan Yordan berdasarkan perjanjian hukum antara kedua negara, untuk mencoba kembali Abu Qatadah berdasarkan bukti baru. Yordan setuju, dan Abu Qatadah telah dipindahkan ke Yordania di mana dia menghadapi sidang baru. Tapi karena jaksa Yordania tidak dapat menerima dengan bukti baru terhadapnya, Abu Qatadah dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari semua tuduhan terhadap dirinya. Surat kabar Yordania lokal melaporkan, bagaimanapun, bahwa pemerintah Yordania telah menyetujui tuntutan Inggris tidak menggunakan dugaan berdasarkan bukti penyiksaan yang hanya setelah mereka mendapat bayaran $ 150 juta dari Inggris.
Meskipun Abu Qatadah terkenal karena dugaan hubungannya dengan terorisme, Al-Qaeda, dan Jihad garis keras, pandangannya tentang wanita jarang dieksplorasi dan dia secara mengejutkan ternyata berpikiran terbuka dan modern. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia menganggap perempuan sebagai makhluk terbaik yang Tuhan telah ciptakan. “Saya memiliki rasa hormat terdalam dan terbaik kepada wanita.” Dia juga mengatakan bahwa dia tidak menganggap wajib bagi wanita untuk menutupi wajah mereka dengan niqab. “Meskipun baik melakukannya, tetapi wanita tidak harus melakukannya. Ini adalah masalah pilihan,” katanya.
Dia berbicara sambil tersenyum tentang ibunya Aisha yang saat dia dan ayahnya mengungsi dari desa mereka, Dier Al- Syaikh pada tahun 1948 setelah berdirinya “Israel”, mereka pergi untuk tinggal di kota Kristen Palestina dari Biet Sahour, dan bagaimana karena sang ibu, ayahnya membuat pilihan yang lebih baik untuk keluarganya.
Dia tertawa sambil bercerita tentang ibunya ketika sang ibu masih muda dulu minum “jus anggur” dari tetangga Kristennya yang dulu membuatnya dalam pot besar dan kemudian menjadi mabuk. Atau bahwa ketika sang ibu melahirkan putra sulungnya dan bahwa tetangga Kristennya yang menamainya “Maher” sementara ayahnya bersikeras menamainya Ali.
Nama Maher tetap menjadi nama sah saudarannya, sementara Ali menjadi panggilan tak resmi. Sama seperti ibunya, Abu Qatadah merasakan apresiasi terdalam dan menghormati istrinya. “Ia mengatur rumah ini, dan ia adalah wanitaku,” katanya. Dia juga menambahkan bahwa karena desakan istrinya, mereka membuat keputusan membeli sebidang tanah di mana mereka membangun rumah mereka sebelum membeli tanah dan membangun rumah di Amman menjadi terlalu mahal. Dia merasa sangat berterima kasih padanya karena itu.
Hal yang sama berlaku untuk anak-anaknya. Abu Qatadah mempunyai 3 anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Dia mengatakan kepada saya bahwa putri sulungnya yang berusia 24 tahun membuat pilihan sendiri untuk belajar Syariah Islam, dan sementara ia menutupi wajahnya [dengan niqab], itu semata-mata adalah pilihannya. Putri tengahnya sekarang belajar Biologi dan yang termuda, yang berusia 16 tahun, di sekolah menengah.
Anaknya, Qatadah, yang berusia 19 tahun, mengatakan kepada saya bahwa ketika dia berada di Inggris dia belajar teknik, tetapi ketika keluarga kembali ke Yordania, dia tidak bisa melanjutkan teknik di Universitas Yordan, dia mengubah jurusannya untuk mempelajari syariat Islam. Yang termuda berusia 13 tahun, Zied yang lahir ketika ayahnya berada di penjara Inggris. Abu Qatadah menegaskan dia tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk melakukan sesuatu. “Peran saya sebagai seorang ayah adalah mengajar anak-anak saya bagaimana membuat pilihan yang tepat dalam hidup mereka.”
(banan/arrahmah.com)