BANDUNG (Arrahmah.com) – Bagaikan air dengan api, Islam tak menerima demokrasi. Selain secara syari’at hal yang tersebut tidak menyunnah Rasul, kerugian yang ditimbulkannya pun teramat menyesakkan. Terlebih melihat gelagat Jokowi yang kian meragukan publik Indonesia, sebagaimana dilansir beragam media masa langsung sejak Ahad (26/10/2014) saat diumumkannya Kabinet Kerja itu. Apakah belum kurang muak masyarakat Indonesia dengan demokrasi ini?
Salah satu produk demokrasi yang pantas dihujat publik saat ini adalah Kabinet Kerja yang isinya dianggap tidak dapat diharapkan. Betapa tidak, melihat susunannya saja, masyarakat sudah bergidik muak, heran plus bertang-tanya mau dibawa kemana negeri ini jika menterinya seperti si a, b, c yang kontroversial itu.
Tim transisi yang dibuat selama 2 bulan untuk menggodok nama-nama menteri pada kenyataannya terbukti tidak bekerja sesuai harapan. Apalagi ditambah bonus keterlambatan pengumuman kabinet baru, kecewa sudahlah pendukung Jokowi, terlebih lagi rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Pun saat diumumkan, bertambah nyinyirlah mereka yang dikecewakan dan bertambah ragulah mereka yang tidak sejalan. Dapat kita lihat begitu mudah publik menelanjangi kabinet yang dinamai persis dengan kabinet Kerja besutan Soekarno dahulu. Beberapa sisi dapat masyarakat eksplorasi mandiri tanpa harus ada penyelidikan tingkat tinggi.
Mencari kesalahan memanglah mudah, namun mari kita jadikan ini sebuah pelajaran. Pertama, kita kutip saja sorotan mengenai Ibu Susi Pudjiastuti yang dikenal publik sebagai pengusaha penerbangan Indonesia yang fenomenal saat Tsunami melanda beberapa tahun silam. Sisi integritas moral dan pendidikannya begitu gencar menghantam kredibilitas Kabinet Kerja tanpa tedeng aling-aling.
Dari insiden rokok itu, jelas sebuah pelanggaran 4 aturan dalam PP No.19 tahun 2003 mengenai pengamanan rokok bagi kesehatan yang terabadikan media masa secara terang-terangan. Menteri Susi juga kedapatan melanggar Perda DKI Jakarta No 2 Tahun 2005, dimana Pasal 13 ayat 1 yang berbunyi,
Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan
dilarang merokok. Pelanggarnya diancam dengan sanksi pidana berupa denda maksimum Rp 50 juta, atau 6 bulan kurungan.
Kenyataannya, Perda ini seperti dianggap tidak ada oleh perokok seperti Menteri Susi, dan
pemerintah di bawah Jokowi pun tidak tegas dalam menjalankannya. Buktinya Bu Menteri yang dipelesetkan namanya di media sosial sebagai Ibu Suka Suka I [suka-suka ay], tidak diperingatkan oleh protokoler. Terbayangkah oleh Anda, apa yang akan terjadi pada penerapan peraturan lainnya di kementerian Kelautan dan Perikanan, jika menteri wanita bertatonya “selonong girl?”
Terlebih saat beredar BC pada media sosial yang berisi surat terbuka kepada Jokowi dengan uraian sebagai berikut, hancurlah citra demokrasi yang menyesatkan itu.
Bapak Presiden Joko Widodo Yth,
Kami memberi apresiasi atas prinsip kehati-hatian yang Bapak gunakan dalam pemilihan struktur kabinet 2014-2019. Atas dasar “kehati-hatian” kami bermaksud melakukan klarifikasi terhadap salah satu tokoh yang Bapak panggil ke Istana a/n Susi Pudjiastuti, sebagai berikut:
1) kami mendengar ybs tidak melunasi pinjaman “Mina Mandiri” ke Bank Indonesia sebesar Rp 34 miliar;
2) kami mendengar ybs tidak transparan dalam mengelola dana bantuan korban tsunami bagi masyarakat Pangandaran;
3) berdasarkan yang kami baca disejumlah media, bahwa ybs bersuamikan WNA asal Jerman. Tentu, hak setiap manusia menikah dgn siapapun pilihannya. Namun, berlaku lazim, seperti di Kemenlu seorang diplomat yg menikah dg WNA maka gugurlah posisinya sbg diplomat atas dasar prinsip kerahasiaan negara dan kehatian-hatian. Hal serupa kami mhn klarifikasi Bapak, bgm kerahasiaan negara kita dgn keberadaan menteri yang bersuamikan WNA?;
4) terakhir, sdhkah dicek bagaimana ybs membayar upah tenaga kerjanya?
Semoga surat yang sifatnya klarifikasi ini dapat digunakan untuk menghasilkan kabinet bekerja.
Salam, Riza Damanik
Dengan demikian, keberpihakan Menteri Susi semakin mengkhawatirkan. Sejarah pernikahannya dengan WNA mengancam dirinya dikenai sanksi atas melanggar pelarang menikah dengan WNA bagi diplomat dan PNS, apatah lagi bagi seorang menteri. Kesetiaannya kepada Ibu Pertiwi pun makin dipertanyakan, ditambah dengan pegawainya yang didominasi asing, memperbesar kewaspadaan kita akan campur tangan asing kelak di kemudian hari dalam kedaulatan maritim Indonesia.
Terlepas dari kabar bahwa Riza Damanik pernah menjadi rival kandidat Menteri Kelautan dan Perikanan, namun perkara integritas sungguh sangat krusial utuk dicermati.
Selain Menteri Susi, ada pula sederet kecurigaan publik yang dapat kita rangkum disini. Mulai dari Menteri Puan yang secara leterlek menemukan kendaraan khususnya sebagai puan untuk melancarkan misi politis “kewanitaanya”. Menhan RR disinyalir terjerat benang kusut ketidakadilannya terhadap Ummat Islam di Aceh. Mendikbud Anis Baswedan dinyatakan pemikirannya dihiasi tinta ide-ide liberal.
Dengan demokrasi Jokowi ada menjadi presiden Indonesia, atas nama demokrasi pula Jokowi mengklaim pilihannya diambil dari perwakilan rakyat Indonesia. Begitukah kenyataanya? Maka masih ragukah Anda bahwa demokrasi tidak mampu mewujudkan impian rakyat? Begitu berseraklah kecacatan demokrasi, masihkah Anda membelanya? Ridhokah kita sebagai Muslim dipimpin oleh sosok sedemikian bebas merusak dirinya dengan racun 9 sentimeter?
Jargon “butuh waktu dan berkorban dana yang besar untuk penyelenggaraan demokrasi” nampaknya kini tak mampu mengobati kekecewaan pelaku demokrasi. Kepada Allah kita bergantung, dengan Qur’an dan Sunnah sajalah negeri ini beroleh keberkahan. Mohon jangan gadaikan keimanan dengan mengabaikan tanda-tanda ini sebagai awal Pertiwi dilanda kerusakan. Wallahua’lam bishowab. (adibahasan/arrahmah.com)