RAKHINE (Arrahmah.com) – Sejumlah besar Muslim Rohingya telah meninggalkan Myanmar dengan menggunakan kapal menuju Thailand dan Malaysia menyusul kampanye penangkapan terhadap mereka, sebuah LSM terkemuka mengatakan pada Jum’at (24/10/2014).
“Dalam satu minggu kami telah menyaksikan 8.000 Rohingya meninggalkan negara bagian Rakhine utara. Angka tersebut merupakan jumlah orang yang meninggalkan wilayah tersebut sejak tahun 2013,” Chris Lewa, kepala Arakan Project, mengatakan kepada Anadolu Agency.
Eksodus Rohingnya pekan lalu diyakini merupakan eksodus terbesar yang pernah terjadi sejak kerusuhan meletus antara minoritas Rohingya dan Buddha di Myanmar Barat dua tahun lalu.
Jumlah Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar meningkat setiap tahun, kata Lewa.
Mengutip serangkaian penangkapan terbaru terhadap tokoh masyarakat dan agama oleh pejabat lokal, Lewa mengaku bahwa beberapa dari mereka telah meninggal karena disiksa.
Sejak 2012, 200 orang – sebagian besar Muslim Rohingya – telah tewas dan 140.000 kehilangan tempat tinggal. Puluhan ribu ummat Islam telah membayar uang dalam jumlah besar agar bisa melarikan diri dengan menggunakan perahu kecil dengan harapan bisa mencari pekerjaan di Thailand, Malaysia atau Australia.
Di bagian selatan Thailand, beberapa Rohingnya malah menjadi korban perdagangan manusia dan pemerasan dari pejabat lokal yang korup.
Sebuah video secara mengejutkan menunjukkan kebrutalan yang diderita para pengungsi Rohingya di kamp-kamp perdagangan manusia di Thailand.
Video itu, yang saat ini sedang diperiksa oleh polisi imigrasi Thailand, tampak memperlihatkan dua pria yang memperkosa seorang wanita Rohingya di sebuah kamp hutan di selatan negara itu.
“Jika video itu asli, ini bisa menjadi bukti nyata awal dari perlakuan brutal yang dialami para tawanan di kamp-kamp rahasia yang dikelola oleh pelaku perdagangan manusia di hutan Thailand selatan,” situs berita Phuketwan melaporkan pada Kamis (23/10).
Lewa, yang telah mewawancarai ratusan Rohingya di Thailand selatan mengatakan, ” kami tahu bahwa orang-orang yang tidak bisa membayar sejumlah uang yang diminta oleh para pedagang menjadi sasaran kekerasan.”
Sebelumnya, Rohingnya yang selamat dari kamp para pedagang manusi telah memberikan kesaksian bahwa kekerasan, pemerkosaan dan pembunuhan adalah taktik untuk bisa terus meminta uang tebusan dari keluarga korban.
Rohingnya mengalami penganiayaan di tanah airnya sendiri, dan mengalami penyiksaan di tempat pengungsiannya. Pemerintah Myanmar menolak untuk memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya, dan mengklaim bahwa mereka merupakan imigran “ilegal” dari Bangladesh.
Sebagai sebuah etnis, Rohingya sudah hidup di sana sejak abad 7 Masehi. Tapi sebagai Muslim dengan nama kerajaan Arakan, mereka sudah mulai ada sejak tahun 1430 sampai 1784 Masehi. Jadi sekitar 3,5 abad mereka berada dalam kekuasaan kerajaan Muslim hingga mereka diserang oleh Kerajaan Burma, dan dianeksasi oleh Inggris. Setelah itu mereka dibawa menjadi bagian dari British India yang bermarkas di india. Meski India saat itu masih belum merdeka.
Kemudian hal itu berjalan selama bertahun-tahun hingga tahun 1940-an. Ketika Burma merdeka tahun 1948, ada 137 etnis yang ada di Burma. Sejak itupun, Myanmar tidak mengakui keberadaan mereka sebagai etnis yang ada di tanah Burma. Padahal ketika merdeka, Burma memasukkan negara bagian Arakan sebagai bagian dari Burma, namun setelah itu orang Rohingya atau Muslim Arakan tidak diakui sebagai etnis yang eksis di sana. Padahal mereka sudah ada sebelum negara ada. Mereka dinilai minoritas dari segi warna kulit dan bahasa serta dianggap lebih dekat kepada orang Bangladesh. Walaupun mereka bukan orang Bangladesh.
(ameera/arrahmah.com)