JAKARTA (Arrahmah.com) – KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), dalam siaran persnya Sabtu (18/10/2014) mengecam sikap Joko Widodo, Presiden terpilih 2014-2019, yang menunjuk Brigadir Jendral Andika Perkasa sebagai Komandan Paspampres (Pasukan Pengaman Presiden).
Menurut Haris Azhar Koordinator Kontras, Andika Perkasa adalah menantu AM Hendropriyono yang merupakan Tim Sukses dan Penasehat Rumah Transisi Joko Widodo. Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan publik bahwa Hendropriyono merupakan Kepala BIN [Badan Intelijen Nasional] ketika Munir dibunuh didalam pesawat Garuda Indonesia saat perjalanan study ke luar negeri. Selain itu, pada saat menjabat Komandan KOREM 043/Garuda Hitam, Hendropriyono melakukan penyerangan terhadap warga sipil di Dusun Talangsari, Lampung, tahun 1989.
Haris menjelaskan kecaman Kontras atas penunjukkan Andika Perkasa sebagai Paspampres dilatarbelakangi beberapa faktor;
Pertama pemesanan Andika Perkasa sebagai Pasmpampres adalah tindakan transaksional politik. Joko Widodo, belum dilantik akan tetapi sudah “memesan” nama Andika Perkasa untuk mengisi jabatan struktural dalam TNI. Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan “saya selaku Panglima TNI pasti konsultasi dengan Presiden Terpilih. Saya tanya pada beliau, ‘Bapak Jokowi bagaimana dengan Komandan Paspampres apakah bapak punya calon yang telah disiapkan. Beliau menyampaikan Panglima saya sudah memilih Brigjen Andika sebagai Danpaspamres.”
Dalam siaran pers berjudul “Jokowi mulai Pamrih” ini, KontraS menyebut posisi tersebut jelas diintervensi oleh Presiden (yang belum dilantik). Secara hukum, penunjukan jabatan didalam institusi TNI seharusnya dilakukan Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan. Penunjukan oleh Presiden hanya bisa sampai pada Panglima TNI dan Kepala Staf angkatan, dan tidak dibawah posisi tersebut.
Kedua terkait trackrecord Andika Perkasa dalam beberapa kasus kejahatan dan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Dalam kasus Pembunuhan Theys Hiyo Eluay. Menurut penyidikan Jenderal I Made Mangku Pastika, yang juga memimpin penyidikan peristiwa Bom Bali 2002, ternyata pembunuhan ini dilakukan oleh oknum-oknum Komando Pasukan Khusus [Kopassus]. Laporan harian The Jakarta Post pada 27 Juli 2002 menyebut sebuah surat dari seorang purnawirawan bernama Agus Zihof kepada Kepala Staf TNI-AD Jenderal Ryamizard Ryacudu. Agus adalah ayah Kapten Rianaldo, salah seorang perwira terperiksa. Dalam suratnya, Agus menyatakan putranya telah ditekan menantu Kepala BIN saat itu [AM Hendropriyono], yaitu Mayor Andika Perkasa, agar mengakui pembunuhan terhadap Theys. Bahkan, The Jakarta Post menuliskan, Mayor Andika Perkasa mengiming-iming sebuah jabatan kelak kepada Rianaldo di jajaran BIN. Sayangnya, Komandan Puspom TNI Brigjen Hendardji Supandji saat itu menegaskan tidak akan menanyakan kebenaran laporan Agus Zihof itu kepada Andika Perkasa.
Nama Andika Perkasa juga mencuat ke publik dari pengakuan Muchyar Yara dalam kasus penangkapan Umar Faruq, pada 5 Juni 2002 di Masjid Jami’ Bogor. [Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal.69-87]. Didalam Laporan dari situs Open Society tahun 2013 melansir program penangkapan terduga teroris yang dikomandani CIA pada 2002. Untuk Indonesia, tulis laporan tersebut kembali menyebut keterlibatan Kepala BIN saat itu, AM Hendropriyono dalam program ini. Drama penangkapan Omar Faruq di Masjid Jami’ Bogor oleh pasukan Elit Sandi Yudha Kopassus dipimpin Mayor Andika Perkasa pada 5 Juni 2002 yang dilakukan atas perintah Hendropriyono tanpa melalui prosedur dan ketentuan yang berlaku, yaitu koordinasi dengan pihak POLRI, BAIS maupun Menko Polhukam. Omar Faruq kemudian di ekstradisi langsung dan diserahkan kepada CIA di Bandara Halim Perdana Kusuma tanggal 6 Juni 2002 untuk selanjutnya dibawa ke penjaraa Baghram Afghanistan.
Selain dua kasus di atas , nama Andika Perkasa juga banyak diekspos media massa terkait ramainya pemberitaan seputar Pilpres dan isu Babinsa. Panglima TNI Jenderal Moeldoko tampak berseberangan dengan rilis atas nama Brigjen Andika Perkasa dalam situs resmi TNI AD. Dalam situs tertanggal 8 Juni 2014 itu, Brigjen Andika menulis institusi TNI AD sudah melakukan pengusutan dan menetapkan Koptu Rusfandi dan Kapten Saliman dari Koramil Gambir telah melakukan pelanggaran disiplin. Padahal, ketentuan pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemilu merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu [Bappilu]. Bukan menjadi kewenangan TNI-AD. Akibatnya, rilis yang diunggah Brigjen Andika dan ditulis ulang sejumlah media massa itu bisa menimbulkan penafsiran, Babinsa memang bersalah serta tak netral. Namun, hanya berselang dua jam setelah rilis itu, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menggelar jumpa pers dan menyatakan Bappilu telah menegaskan TNI masih netral.
Peneliti Center For Democracy and Sosial Justice Studies [CeDSoS], Umar Abduh menuding Kadispen AD bermain dibelakang isu Babinsa mengarahkan pilihan warga. Ia juga menuduh ada mertua Andika, yakni mantan Kepala Badan Intelijen Negara [BIN] AM Hendropriyono di belakang aksinya. “Dia memiliki menantu bernama Andika Perkasa yang merupakan Kadispenad saat ini. Jadi dia bisa memerintahkan menantunya tersebut,” ujar Umar dalam jumpa pers di restoran Dapur Selera, Jakarta Selatan, Selasa, 10 September 2014.
“Atas hal tersebut ini, kami meminta agar Jokowi segera koreksi keputusannya, dan Panglima TNI segera menunjuk orang yang cakap dan tepat, bukan berdasarkan kapasitas keluargaan dengan seseorang yang berjasa pada Jokowi,” ucap Haris.
“Jokowi lupa pada janji ‘bekerja untuk rakyat’,” pungkasnya. (azm/arrahmah.com)