JAKARTA (Arrahmah.com) – Sang pengejek Islam Ulil Abshar Abdalla dicekal oleh pemerintah Malaysia. Menteri Dalam Negeri Datuk Seri Dr. Ahmad Zahid Hamidi menegaskan bahwa pemerintah Malaysia melarang Ulil Abshar Abdalla masuk ke Malaysia sebab dikhawatirkan akan menyesatkan aqidah Muslim Malaysia.
“…dia akan menyesatkan umat Islam di negara ini jika diperbolehkan untuk menyebarkan pemikiran liberalisme di sini,” ujarnya selepas menghadiri Majlis Penutup Seminar Keselamatan dan Ketenteraman Awam (Sekam) pada Sabtu (11/10/2014), mengutip laporan Utusan Online.
Di Indonesia, jauh sebelum itu para Ulama yang tergabung pada Forum Ulama Umat Islam (FUUI) telah memfatwakan mati alias halal darahnya Ulil sang penghina Islam pada tahun 2003.
” Jujur sebagai seorang Muslim itu membuat darah saya mendidih, seperti pernyataan yang memalukan terhadap sesuatu yang mulia dan luhur. Itu sebabnya kami mengeluarkan peringatan bahwa menurut hukum Islam siapa saja yang memfitnah Islam dapat dihukum mati,” tegas Ketua FUUI KH. Athian Ali M. Dai, dikutip dari CNN.com, 22 Januari 2003.
Pernyataan tegas KH. Athian Ali ini menyikapi ucapan dan tulisan Ulil yang telah meresahkan dan menyinggung perasaan umat Islam karena dinilai merendahkan martabat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam, Agama Islam dan Ulama.
Ulil menulis artikel yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” sangat meresahkan umat Islam itu, antara lain Ulil telah menghasut orang lain, agar tidak mengikuti suatu keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hukum yang universal, dengan menafsirkan bahwa hukum itu bersifat lokal, partikular dan cermin kebudayaan Arab.
Gembong Jaringan Islam Liberal (JIL) ini dalam tulisan di salah satu koran terbitan Jakarta 18 November 2002 dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum, berupa permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap agama Islam serta telah menyiarkan tulisan yang isinya mengandung pernyataan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap kelompok masyarakat di Indonesia.
KH Athian Ali dengan tegas menyatakan, Ulil Abshar sungguh berani menyinggung kehormatan dan berlebihan dengan mengungkapkan, “Rasul Muhammad itu adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis sehingga tidak hanya menjadi tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dihargai saja, tanpa memandang aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya,” katanya, dikutip dari Harian Pelita Desember 2002.
Dikatakan Athian, Umat Islam, memandang Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam, bukan semata tokoh historis, melainkan seluruh perbuatan, perkataan dan ketetapannya menjadi aturan bagi pengikutnya dulu, kini dan akan datang. “Umat Islam, meyakini bahwa Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam itu ma’shum, yakni terjaga dari kesalahan,” tegas Athian.
Syekh Umar Bakri Muhammad dalam sebuah artikel di Majalah Shariah berjudul The Secularist’s Attack on Islam and Muslim mengungkapkan bahwa terdapat orang-orang Islam tetapi mempropagandakan ide-ide bukan Islam. Sifat dan perbuatan jahat orang-orang tersebut sudah tidak terhitung lagi banyaknya, bahkan mereka adalah ancaman paling berbahaya bagi keberadaan kaum Muslimin dan kemunculan kembali khilafah, karena mereka adalah “ancaman” yang tidak terlihat (munafik).
Mari kita tinjau pandangan Abdurrahman Al Maliki dalam Nidzomul Uqubat fil Islam, yang memasukkan aktivitas penyebaran ideologi kufur ke dalam sanksi jenis ta’zir, yaitu sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiat yang di dalamnya tidak ada had dan kifarat .
“Setiap orang yang melakukan aktivitas penyebaran ideologi kufur, atau pemikiran kufur, maka akan dikenakan sanksi penjara mulai 2 tahun hingga 10 tahun. Hal ini jika orang tersebut bukan muslim. Jika pelakunya seorang muslim, maka kepadanya ditetapkan hukum murtad, yakni dibunuh. Dan setiap orang yang melakukan penyebaran agama kufur di tengah-tengah kaum muslimin, maka ia akan dikenakan sanksi serupa.”
“Setiap tulisan atau seruan yang mengandung celaan terhadap salah satu dari akidah kaum Muslim, maka pelakunya akan dikenakan sanksi penjara mulai dari 5 tahun sampai 15 tahun, jika pelakunya bukan muslim atau celaannya tidak sampai mengkafirkan pengucapnya. Namun jika pelakunya seorang muslim dan jika celaan tersebut dapat mengkafirkan pengucapnya, maka ia akan dikenakan sanksi murtad (hukuman mati).” Wallahu’alam bis showab! (azmuttaqin/dbs/arrahmah.com)