Ia berkeliling di sekitar rumah sakit, senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Sikap kekanak-kanakannya terlihat dari gerak tangannya yang spontan. Ketika ia merasa lelah, ia beristirahat di tempat tidurnya, dekat kakaknya yang juga terluka dalam serangan udara yang sama. Ia akhirnya kembali ke kursi rodanya. Ibrahim Khattab (9) telah kehilangan kaki kirinya, lapor Al-Monitor.
Selama agresi 51 hari “Israel” di Jalur Gaza, yang berakhir pada Kamis (28/8/2014) lalu, Ibrahim dan kakaknya Wassim, yang tinggal di Deir Al-Balah di pusat Gaza, meninggalkan rumah mereka. Mereka kemudian terluka akibat serangan udara “Israel” yang menyebabkan hilangnya kaki kiri Ibrahim dan cedera kritis pada kaki Wassim.
Wassim (15), selalu bersemangat dengan sepak bola, sampai pesawat zionis “Israel” meluncurkan roket-roket biadab mereka dan menghancurkan mimpi-mimpinya dengan cacat permanen yang dia derita.
Meskipun mengalami luka parah, Wassim dengan mata penuh harapan mengatakan kepada Al-Monitor, “Aku berharap semuanya akan kembali seperti semula. Aku berharap aku bisa bermain dengan teman-temanku lagi, terutama [bermain] sepak bola karena aku begitu menyukainya. Aku tidak sabar untuk kembali ke sekolah dan melanjutkan belajar di kelas 10.”
Di Pusat Rehabilitasi Bulan Sabit Merah di Khan Yunis, Gaza selatan, Al-Monitor bertemu dengan saudara-saudara Khattab sebelum mereka berangkat ke Jerman untuk menyelesaikan pengobatan mereka. Ibrahim, anak yang termuda dalam keluarganya, yang kakinya telah diamputasi, berkeliling di sekitar rumah sakit di atas kursi rodanya dibantu oleh ayahnya.
Wassim tampaknya lebih optimis dari ayah dan adiknya. Namun, ia mengungkapkan ketakutannya akan masa depannya, terutama karena ia melihat rekan-rekannya bisa berjalan sementara ia tidak bisa.
Ibrahim dengan polos bertanya, “Bagaimana aku akan bisa hidup di kemudian hari? Kakiku, yang pernah aku gunakan untuk berjalan dan bermain, sekarang diamputasi. Satu-satunya kesalahanku adalah [saat itu] aku akan menuju ke rumah pamanku. Bagaimana aku akan berangkat ke sekolah sekarang? Bagaimana aku akan bermain dengan teman-temanku? “
Siang dan malam Ibrahim melontarkan pertanyaan yang tak pernah ia dapatkan jawabannya itu. Ia telah kehilangan banyak berat badan dan beratnya sekarang hanya 19 kilogram (42 pon).
Khaled Khattab, ayah Ibrahim, mencoba untuk membantu anak-anaknya beradaptasi dengan kehidupan baru mereka. Dia mengatakan, “Saya mencoba untuk berada di sana untuk mereka sehingga mereka dapat meninggalkan rumah sakit dengan sedikit mungkin luka. Saya membantu Ibrahim menggunakan kaki palsunya dan mencoba untuk menemukan pengobatan terbaik untuk Wassim. “
Kondisi ekonomi Khaled begitu sulit. Dia telah menganggur selama lebih dari delapan tahun, karena pengepungan penjajah “Israel” di Gaza, dan bebannya sekarang lebih berat dengan biaya harian perawatan anak-anaknya.
Penderitaan yang dialami saudara-saudara Khattab adalah endemik di Jalur Gaza.
Menurut statistik yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan di Gaza, jumlah korban tewas akibat agresi “Israel” di Gaza termasuk 540 kematian anak-anak, yang mewakili 25% dari seluruh korban tewas. Lebih dari 3.000 anak-anak terluka, beberapa di antaranya harus kehilangan anggota tubuh mereka dengan diamputasi atau berada dalam kondisi kritis.
Kepala Satuan Rehabilitasi Fisik di Departemen Kesehatan, Ayman Al-Halabi, mengatakan bahwa menderita cedera dapat menjadi pengalaman yang sulit bagi anak-anak karena mereka baru menjalani masa pertumbuhan. Sejumlah besar anak-anak tidak bisa mengerti apa yang telah terjadi kepada mereka dan membutuhkan waktu lama untuk mengatasi situasi mereka. Keluarga mereka juga mungkin terluka atau terbunuh dalam serangan brutal penjajah, situasi yang memperburuk efek psikologis yang mereka derita.
Halabi mengatakan kepada Al-Monitor, “Ketika cederanya parah, pasien membutuhkan perawatan medis dan sesi rehabilitasi panjang untuk menstabilkan kondisi mereka. Mereka juga membutuhkan perawatan psikiatris untuk mengatasi trauma, selain peningkatkan kebutuhan ekonomi mereka. “
“Misalnya, anak-anak yang anggota tubuhnya diamputasi pada tahap pertama pertumbuhan, yang berarti bahwa berat badan dan tinggi badan mereka terus berubah. Dengan demikian, mereka perlu mengubah kaki palsu setiap enam bulan atau sesuai dengan evaluasi kondisi mereka. Hal ini membuat baik anak maupun orang tua mereka berada di bawah banyak tekanan,” ujar Halabi.
Karena kurangnya rumah sakit Gaza yang memproduksi kaki palsu, situasinya pun lebih sulit, karena keluarga yang anak-anaknya telah diamputasi anggota tubuhnya harus menutupi biaya tambahan untuk membeli prostesis [bagian tubuh buatan] baru.
“Perang, penghancuran rumah dan blokade ‘Israel’ di Jalur Gaza sebagian besar telah mempengaruhi kehidupan penduduk Gaza secara ekonomi. Orang tua dari seorang anak tidak dapat mengubah prostesis anak mereka setiap enam bulan karena sangat mahal, belum lagi bahwa orang yang menjalani operasi semacam itu di luar Gaza akan perlu untuk meninjau kembali tempat di mana mereka mendapatkan perawatan. [Biaya] ini juga sangat mahal dan menjadi beban bagi keluarga yang kondisinya sudah sulit,” kata Halabi.
(banan/arrahmah.com)