WASHINGTON (Arrahmah.com) – Mengapa Amerika Serikat sangat benci pemenggalan kepala tapi gemar membunuh? Mengutip ulasan mantan analis FBI, Coleen Rawley pada Huffington Post, Selasa (28/9/2014), jawabannya terletak pada psikologi manusia. Dan mungkin seperti pengamatan lama tentang sejarah, orang-orang yang menolak untuk memahami psikologi manusia ditakdirkan untuk menjadi korban manipulasi psikologis.
Bahkan, bagaimana mungkin anggota kelompok perdamaian kini datang untuk mendukung pengeboman yang diinisisasi AS? Seorang wanita akhirnya bertanya kepada Rawley, “Saya meminta kita membahas dan mengkaji mengapa video rekaman pemenggalan manusia dipahami sebagai sesuatu yang lebih mengerikan daripada misi meledakan manusia (yang hampir sama sekali tidak dipublikasikan untuk umum) oleh rudal atau bom yang ditembakkan dari sebuah pesawat tak berawak.”
Setidaknya ada empat alasan utama yang menjelaskan mengapa orang Amerika jauh lebih memedulikan pemenggalan dari dua orang Amerika dan satu warga Inggris (sejauh ini), daripada mereka peduli tentang ribuan korban asing pengeboman drone AS.
Berikut adalah kecenderungan alasan apa yang orang-orang percayai, dimana psikologisnya dimanipulasi untuk percaya bahwa pengeboman AS adalah jawaban untuk pembunuhan terrorisme. Padahal hampir semua ahli militer telah mengakui bahwa itu tidak akan berhasil dan “tidak [boleh] ada solusi militer”.
-
Mentalitas “kami versus mereka”, ini terkait dengan pemahaman ikatan kelompok yang dikenal sebagai tribalisme, nasionalisme, kelompok elitisme, dan lain-lain tampaknya menjadi bagian dari perilaku manusia yang akhirnya terprogram dalam akalnya (seperti hewan lainnya) untuk mempertahankan kelangsungan hidup kelompoknya. Yang terburuk, bentuk yang paling berlebihan dari ikatan kelompok juga dikenal sebagai rasisme.
Namun itu adalah bagian dari fitrah psikologis manusia untuk mengidentifikasi bahwa yang paling dekat dengan mereka yang berhak berbagi kelompok afinitas, sehingga Amerika selalu akan lebih peduli orang Amerika / Barat yang jauh bertentangan dengan orang yang dianggapnya “asing” (seperti ISIS dan Muslim);
-
Pemenggalan mengerikan dengan sengaja dan secara dramatis direkam “pihak tertentu” untuk memastikan bahwa media AS akan membawa adegan keji itu ke semua ruang keluarga di AS. Sedangkan pengeboman warga sipil Suriah atau negara-negara Muslim oleh drone dan rudal AS hampir tidak pernah difilmkan atau tertutup sama sekali oleh media AS. Jadi untuk mayoritas orang Amerika, pembunuhan pesawat tak berawak tampaknya steril, bersih dari dosa, meskipun pilot drone yang melihat hasil dari dekat tahu perbedaanya, hingga beberapa dari mereka bahkan akhirnya bunuh diri secara tragis.
-
Tampak jelas bahwa sejumlah besar komunitas “perdamaian” tidak memahami bahwa perang AS dan rezim-rezim boneka tirani yang didalangi AS telah menciptakan keberadaan ISIS dan apa yang kita sebut “terorisme” ssemacam Al-Qaeda. Parahnya, drone-drone AS (dan pengeboman lewat udara lainnya) dengan sengaja meningkatkan lebih banyak gerakan perlawanan yang pasti dilabeli “teroris” juga, bukan untuk menguranginya. Dua artikel ini dapat Anda baca untuk menggambarkan dinamika “kelicikan permainan perang AS” (klik “How the West Created the Islamic State” dan “How ISIS Is Using Us to Get What It Wants“). Sebagaimana lazimnya semua perang, pemimpin kedua belah pihak secara oportunis saling mengambil keuntungan dari medan pertempuran.
Video Robert Greenwald’s video berjudul “How Perpetual War Fuels Terrorism.” menggamblangkan bagaimana peperangan menjadi bahan bakar peperangan, pun sebaliknya. Hal ini sangat mudah dibaca oleh analis inetelijensia Barat dan para ahli kebijakan luar negeri, dan fenomena ini menjadi lahan subur program cuci otak warga AS dan Barat pada umumnya. Maka Borowitz tidak sedang bercanda saat ia mengulis sebuah laporan berjudul “Americans Who Have Not Read a Single Article About Syria Strongly Support Bombing It.” Maka keadaan ini sungguh membuat “geregetan” sebagian orang yang mengerti duduk perkaranya, ketika menyaksikan begitu banyak orang bahwa “mengebom perkampungan itu baik-baik saja jika demi perdamaian”.
Itulah sesat pikir yang dibahkan propaganda “perang melawan terorisme”, dimana sangat efektif meracuni pemikiran orang awam liberal yang rapuh dan mudah terpancing emosi -takut, benci, serakah, bangga yang salah dan loyalitas buta- dari pada kepada orang-orang pragmatis, serta orang realistis berkepala dingin. Akhirnya seperti dilaporkan, dalam US journalists who should know better bahwa banyak jurnalis AS dibuntuti teror oleh negaranya sendiri setelah memberitakan aksi pengecut biadabnya yang mengebom rakyat sipil Suriah.
4) Alasan keempat mengapa secara tak sadar warga AS dan dunia mendukung politisi-politisi “badutnya” serta berbahagia dengan adanya perang “buatan” ini bisa kita pelajari dari Perang Vietnam. Ketika itu, dengan proses “gunting-tempel”, pemerintah dan pihak yang diuntungkan dari perang itu dapat menghilangkan jejak kerugian atas biaya perang yang dimubazirkan dari uang pajak masyarakat. Mereka juga digombali dari kenyataan bahwa perang telah melilit negaranya dengan utang atas pembangunan fasilitas-fasilitas militer yang akhirnya menciptkan “sindrom Vietnam”, seperti yang dialami negara-negara jajahan AS sebelumnya. Sementara “cap negara miskin” atas tanah yang dijajahnya membuat AS bebas mengeruk kekayaan SDA yang tersembunyi di wilayah itu. Ini akhirnya meninabobokan warga AS dan dunia barat dengan murahnya bahan bakar minyak dan gas, sementara rakyat di daerah terjajahnya tercekik di dapur-dapur dan jalanan mereka.
Rowley tidak hendak membuat pembaca merasa tertekan dengan ulasannya. Namun, ia berharap setidaknya melalui tulisan ini akan semakin banyak masyarakat -termasuk rakyat Indonesia- yang tersadar akan manipulasi psikologis yang sedang dicanangkan Amerika Serikat. Wallahua’lam. (adibahasan/arrahmah.com)