URUMQI (Arrahmah.com) – Bulan Ramadhan seharusnya menjadi waktu untuk berpuasa, mengerjakan banyak amalan dan sholat sunnah bagi Muslim yang tinggal di barat Cina. Namun di sana, bagi banyak warga kota dan desa di Xinjiang Selatan,
menjadi waktu yang penuh ketakutan, penindasan dan kekerasan.
Kampanye pemerintah komunis Cina melawan “separatisme” dan “terorisme” di wilayah barat yang menjadi rumah bagi komunitas Muslim Cina, telah menjadi perang habis-habisan terhadap Islam, ujar warga seperti dilansir Washington Post pada Jum’at
(19/9/2014).
Sepanjang Ramadhan, polisi mengitensifkan kampanye dari rumah ke rumah untuk melakukan penggeledahan, mencari buku-buku atau pakaian yang mereka anggap mengkhianati keyakinan beragama (menurut versi pemerintah komunis Cina-red). Wanita bercadar menjadi target, mereka ditangkap dan ditahan, banyak pemuda Muslim juga ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Mahasiswa dan pegawai negeri dipaksa untuk makan bukannya berpuasa dan bekerja atau menghadiri kelas bukannya menghadiri sholat Jum’at di hari Jum’at.
Penindasan agama telah menumbuhkan permusuhan dan proses mematikan. Laporan telah muncul bahwa polisi menembaki kerumunan massa yang marah di kota Elishku dan Alaqagha, sejak saat itu pihak otoritas Cina telah memberlakukan pemadaman lengkap mengenai pelaporan (berita) dari kedua lokasi itu, bahkan lebih intens dari yang sudah diberlakukan di tempat lain di Xinjiang selatan.
Tim dari Washington Post pernah mencoba mendatangi lokasi, mereka harus melalui beberapa pos pemeriksaan di sekitar Elishku saat truk militer bergemuruh melintas dan kemudian ditahan beberapa jam oleh pejabat polisi dan Partai Komunis, mereka tidak bisa membuat laporan mengenai apa yang terjadi di desa-desa dan di distrik sekitar Sache. Hari berikutnya, tim kembali ditahan di Alaqagha di Kuqa dan akhirnya dideportasi dari wilayah dari bandara terdekat.
Di seberang Shache, internet telah dipotong dan layanan pesan teks dinonaktifkan, sedangkan orang asing dilarang masuk. Namun dalam percakapan selintas secara pribadi di telepon dengan beberapa orang di wilayah itu, mereka cukup berani
menggambarkan pelecehan konstan di Xinjiang.
“Polisi di mana-mana,” ujar seorang Muslim Uighur. Yang lainnya mengatakan bahwa ia hidup seperti di penjara. Yang lainnya lagi mengatakan identitasnya telah diperiksa berkali-kali dan strip magnetik di kartu identitasnya kini tidak berfungsi lagi, ujar laporan Washington Post.
Pada 18 Juli, ratusan orang berkumpul di luar sebuah gedung pemerintah di kota Alaqagha, mereka marah setelah penangkapan belasan anak perempuan yang menolak untuk melepas jilbab mereka, menurut sebuah laporan oleh Radio Free Asia (RFA).
Para pengunjuk rasa melemparkan batu, botol dan batu bata ke arah gedung. Polisi melepaskan tembakan, menewaskan sedikitnya dua orang dan melukai beberapa lainnya.
Kemudian pada 28 Juli, hari terakhir Ramadhan, aksi protes di Elishku menemui respon lebih keras, masih menurut laporan RFA. Ratusan warga Uighur menyerang kantor polisi, mereka marah karena penindasan terhadap Muslim yang dilakukan oleh polisi Cina.
Kantor berita resmi Cina, Xinhua, mengklaim bahwa polisi menewaskan 50 “teroris” Uighur dalam insiden itu, meskipun laporan lain menunjukkan jumlah korban tewas bisa saja jauh lebih tinggi.
Menurut versi pemerintah komunis Cina, massa yang marah kemudian mengamuk di kota-kota dan desa-desa, menewaskan 37 warga sipil. Namun informasi ini tidak bisa diverifikasi secara independen karena adanya pembatasan ketat terhadap media
internasional. Sejak saat itu wilayah tersebut dikunci dengan penyebaran banyak polisi dan tim SWAT serta drone. Terjadi penangkapan besar-besaran di sana.
Xinjiang adalah wilayah gurun dan pegunungan yang diapit oleh negeri-negeri Muslim Asia Tengah. Pemerintah komunis Cina mengklaim ide-ide keagamaan yang sering disebarkan melalui internet, telah merusak rakyat Xinjiang.
Presiden Cina, Xi Jinping telah bersumpah akan menangkap teroris dengan jaring yang menyebar dari bumi ke langit dan mengejar mereka seperti “tikus yang bergegas lari di jalan saat semua orang berteriak, ‘hantam mereka’.”
Namun sepertinya jaring tersebut menangkap banyak orang tak bersalah, keluh warga.
“Anda seharusnya menangkap orang-orang jahat,” ujar seorang profesional Uighur di Urumqi. “Bukan hanya orang yang terlihat mencurigakan,” tambahnya.
Sekitar 200.000 kader Partai Komunis telah dikirim ke pedesaan, seolah-olah untuk mendengarkan kekhawatiran masyarakat. Namun para pejabat tersebut yang sering berlindung di balik kamp yang dipenuhi alarm dan kawat berduri, lebih melakukan
pengawasan dan selalu mengganggu kehidupan warga Uigur, ujar penduduk setempat.
Di Sache, dokumen resmi menunjukkan bahwa otoritas menghabiskan lebih dari 2 juta USD untuk membangun jaringan informan dan kamera pengintai. Penggeledahan dari rumah ke rumah, menangkap siapa saja yang terlihat mencurigakan termasuk para
Muslimah yang menutup wajah mereka dengan cadar atau laki-laki yang memiliki jenggot panjang.
Di kota Kashgar, pemerintah menegakkan apa yang disebut dengan “Project Beauty”, dalam hal ini, wajah menjadi fokusnya. Sebuah billboard besar yang diletakkan di dekat Masjid utama membawa gambar seorang wanita yang mengenakan “kerudung” yang
menurut otoritas komunis Cina bisa diterima, kerudung tersebut tidak menutupi wajah atau bahkan leher wanita tersebut.
Siapa pun yang tertangkap melanggar aturan, akan menghadapi prospek menakutkan, pemeriksaan secara rutin dan teratur, “kuliah pendidikan” dan diadakannya pesta-pesta oleh kader komunis yang ditugaskan sebagai “teman” untuk mencegah kemunduran. Di kota Karamay, wanita mengenakan kerudung dan laki-laki berjenggot panjang telah dilarang menaiki bus umum.
Terorisme, dalam arti serangan terhadap sipil, telah menjadi fenomena baru di Xinjiang. Namun kerusuhan di sini memiliki sejarah lebih lama, dengan banyak orang Uighur menjadi objek penindasan sejak Cina diambil alih oleh Partai Komunis pada tahun 1949 dan kemudian mereka membanjiri wilayah tersebut dengan imigran dari mayoritas masyarakat Han Cina.
Apa yang telah berubah adalah meningkatnya Islam di sana dan Muslim Uighur bertekad untuk melawan kekuasaan Cina.
Sampai satu atau dua dekade lalu, Muslim Uighur hanya menjalani sebagian kecil dari kewajiban agama mereka. Tapi dalam dua dekade terakhir, keimanan mereka meningkat dan seluruh bentuk kewajiban agama memperoleh pijakan.
Sementara tempat ibadah banyak yang ditutup dan diawasi dengan ketat, jaringan masjid bawah tanah bermunculan. Kebangkitan Islam mulai terlihat di sana.
Namun Joanne Smith Finley dari Universitas Newcastle Inggris mengatakan agama telah menjadi bentuk simbolis perlawanan terhadap pemerintah Cina di daerah di mana perlawanan lain tidak mungkin.
“Orang-orang mulai kehilangan kepercayaan pada mimpi kemerdekaan,” klaimnya. “Dan mulai mencari Islam sebagai gantinya.”
Upaya keras pemerintah komunis Cina untuk menghilangkan “radikalisme” Islam hanya mendorong lebih banyak orang ke tangan kaum “fundamentalis”, menurut para ahli.
“Jika pemerintah terus membesar-besarkan ‘ekstrimisme’ dengan cara ini, dan mengambil langkah-langkah yang tidak pantas untuk memperbaikinya, itu hanya akan memaksa orang ke arah ‘ekstrimisme’,” ujar Ilham Tohti. (haninmazaya/arrahmah.com)