Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra Terorisme & Dir. CIIA
(Arrahmah.com) – Di sebuah diskusi terbatas (FGD, 10 Sept 14), BNPT mengakui bahwa isu ISIS pertama kali mereka yang hembuskan. Tentu ada latarbelakang dan tujuan BNPT kenapa melakukan strategi tersebut. Akhirnya isu ISIS bergulir layaknya bola salju, menarik perhatian publik secara luas berlanjut larangan ISIS di Indonesia. Banyak element pemerintah dan non pemerintah dilibatkan untuk implementasi larangan tersebut. Mulai dari masyarakat dan tokohnya, institusi Depag, Kemenkominfo, Mabes Polri plus Densus-88, BNPT, TNI, Kejaksaan Agung, serta aparatur intelijen.
Sudah banyak orang ditangkap dengan alasan anggota ISIS, bahkan Presiden SBY dalam rapat kabinet terbatas secara spesifik kembali menyikapi isu ISIS paska tertangkapnya 4 WNA di wilayah Parigi-Sulteng. Pemetaan kantong-kantong potensial pendukung ISIS dilakukan oleh pihak BNPT, Densus88 dan aparatur intelijen lainya. Melalui ruang pusat kontrol imigrasi monitoring pergerakan WNI yang diduga Suriah menjadi destinasi (tujuan) juga dilakukan. Dengan cover identity, operasi intelijen juga dilakukan di dalam negeri maupun luar negeri untuk mempertajam pengindraan mereka. ISIS diruang publik Indonesia seolah menjadi “cammon enemy”, begitu juga konstalasi politik global Amerika bersama 40 negara lebih berijma’ untuk memerangi ISIS.
Paska larangan ISIS di Indonesia, BNPT yang paling dominan berkepentingan melihat larangan tersebut butuh legitimasi payung hukum yang kuat. Publik kemudian mengerti kenapa BNPT mengusulkan perlunya UU BNPT agar eksistensi dan perannya makin tajam untuk proyek kontra terorisme. Begitu pula wacana yang terus digalang tentang urgensitas amandemen UU Terorisme (UU Nomer 15 Tahun 2003), agar bisa diperluas spektrum jangkauannya. Strategi yang paling tajam untuk mereduksi eksistensi ISIS di Indonesia yaitu dengan menggunakan piranti Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Karena itu diberbagai kesempatan rapat dan diskusi para pakar terkait isu ISIS rekomendasinya adalah terorisasi ISIS atau kriminalisasi ISIS bahkan kalau perlu status kewarganegaraannya di cabut. Penalaran dan logika hukum terus dikonstruksi, agar bisa memberikan legitimasi hal tersebut. Asumsinya, regulasi yang jelas membuat law enforcement oleh pihak Polri (Densus-88) atau BNPT dengan Satgasnya (BKO) tidak akan menghadapi kritik dan kendala dilapangan.
Isu dan opini tentang “Indonesia darurat ISIS” di gulirkan sedemikian rupa secara sistemik. Yang selama ini Poso dalam isu terorisme ditempatkan sebagai episentrum akhirnya di sebut juga oleh pihak Polri dan BNPT sebagai wilayah yang banyak pengikut ISIS. Para “teroris” jaringan Santoso cs (MIT-Mujahidin Indonesia Timur) terekspos sudah berbaiat kepada Islamic State (IS)-ISIS di Iraq-Suriah. Dengan pengolahan dan komunikasi yang “ciamik” dari pihak Polri dan BNPT, semakin kokoh image Poso menjadi basis ISIS di Indonesia paska tertangkapnya 4 WNA di Parigi Sulteng (6 Sept 2014). Karena isu ke publik melalui Polri bahwa 4 WNA diduga terkait jaringan Santoso, dan ada hubungannya dengan ISIS. Ditambah komentar beberapa pengamat teroris (baca; agent influence) bahwa warga Poso paling banyak berbaiat kepada IS-ISIS, maka makin establis image “Poso sarang teroris dan ISIS”. Padahal bagi sebagian tokoh masyarakat Poso komentar diatas sangat berlebihan dan tendensius, ini terungkap saat diskusi dihelat oleh FAAI (Forum Alumsi Afghanistan Indonesia) di Hotel Sofyan Cikini-Jakarta bulan Agustus untuk mensikapi isu ISIS.
Saya yakin semua masyarakat Poso merindukan ketenangan, kedamaian bahkan kesejahteraan dalam kehidupan mereka. Bahkan di hari Senen (22 Sept 2014) dibuatkan perhelatan diskusi terbuka, menghadirkan sekitar 70 orang lebih para tokoh dan representasi masyarakat Poso dari berbagai element. Mengangkat sebuah tajuk “Saatnya Orang Poso Bicara.Menyelesaikan Poso Secara Komprehensif”, dari pukul 09.30-16.00 Wita di Hotel Kartika Poso. Namun perhelatan ini seolah ditantang secara langsung atas peristiwa aktual penangkapan 4 WNA dan 3 WNI yang diduga terkait jaringan Santoso (MIT), bagaimana resolusi keamanan bagi masyarakat Poso bisa dibuat sevisibel mungkin?. Bahkan yang lebih heboh lagi, agenda yang di inisiasi oleh Komnas HAM Pusat ini seolah diberi PR (pekerjaan rumah) tambahan terkait peristiwa pembunuhan seorang warga Poso bernama Fadli (18 Sept 2014) yang akhirnya diklaim dilakukan oleh MIT (Mujahidin Indonesia Timur) melalui rilisnya ke beberapa media online (20 Sept 2014).
Poso dalam baluran darah dan misteri instabilitas keamanan tidak hanya saat ini saja, tapi sudah menahun sejak konflik tahun 2000-an. Dalam konteks sekarang, Poso menyimpan potensi ketidak-amanan dan ketidak-nyamanan bagi warganya tidak bisa dipungkiri. Meski kondisi ini bertolak belakang dengan alam bawah sadar komunal masyarakat Poso yang mengimpikan kadamaian. Bagi BNPT dan Polri (Densus-88) kelompok sipil bersenjata yang dilabeli teroris oleh mereka sebagai faktor utama isntablitas keamanan di Poso. Bahkan narasi yang lebih drasmatis lagi, Poso menjadi kawah condrodimuko para “teroris” yang akan menebar “hantu” ketakutan diberbagai pelosok negeri Indonesia.Terlepas disadari atau tidak, bahwa treatment selama ini yang mereka desain juga berkontribusi melahirkan banyak blunder di Poso. Kekerasan demi kekerasan menggeliat tanpa kendali, penyelesaian holistik komprehensif jauh panggang dari api. Aroma proyek kepentingan opurtunis dengan menjadikan Poso sebagai panggung perhelatan juga “anyir” tercium. Egoisme Polri dan BNPT juga terkesan tampak dalam penanganan Poso. Lengkap lagi keterpurukan Poso adalah berada dititik nadzir rendahnya kepedulian tokoh-tokoh Ormas Islam Indonesia.
Sekarang Poso disandra dengan opini “ISIS dan terorisme“, di sisi lain kelompok sipil bersenjata (Santoso cs) tersandra dengan label teroris dan buronan kelas kakap. Ibarat posisi, di sebuah ujung jalan buntu bagi Santoso cs tidak ada yang bisa dilakukan kecuali melawan atau mati. Variabel yang mejadi “ruh”perlawanan bagi mereka makin berderet; dari dendam, pengkhianatan, qishas, rasa ketidak adilan dari resolusi konflik masa lalu Poso, sampai ideologi baru perlawanan mereka dapatkan paska deklarasi IS (Islamic State) oleh ISIS.
Dari perspektif inilah, kasus terbaru pembunuhan terhadap Fadli seorang petani Kakao diklaim dilakukan oleh MIT (Mujahidin Indonesia Timur) bisa di eja.
Mengeja kasus terbaru di Poso
Fadli tewas mengenaskan di malam Jumat (18 Setp 2014), berdasarkan kesaksian istrinya dilakukan 5 orang yang ia tidak mengenalnya. Kemudian jarak sehari ada klaim dari MIT melalui rilis ke media (http://m.arrahmah.com/news/2014/09/19/mit-bertanggungjawab-atas-penggorokan-warga-poso.html, 20 Sept 2014) bahwa benar mereka yang melakukan sebagai bentuk hukuman kepada Fadli. Pertanyaan mengelitik, benarkah rilis tersebut original dari kelompok MIT? Mengingat banyak orang yang juga bisa membuat rilis semacam itu.
Pengirim rilis dengan alamat email “abu nuh” [email protected], dari riset yang dilakukan diduga kuat pengirim rilis tersebut bukan di atau dari Poso, Sulteng tapi justru berada di Jakarta. Dari forensik IT ketahuan pemilik akun menggunakan IBM data dan servernya di sebuah gedung tinggi di bilangan Kuningan-Jakarta. Bisa jadi pelaku adalah pendukung MIT, ring inti, anggota, atau level bawahnya lagi adalah simpatisan. Tapi bisa dipastikan pengirim rilis ada komunikasi dengan orang dilapangan (Poso) karena konten dari rilis mengisaratkan dia tau dinamika dan alasan utama kenapa Fadli di bunuh.Terlebih lagi “abu nuh” sudah beberapa kali kirim rilis ke media dengan alamat email yang sama. Dan foto korban (Fadli) diunggah melalui FB (Facebook) dengan nama akun “abu qiya al-qutb”. Apakah forensik cyber crime Densus-88 bisa menjejak ini? hubungan antara peristiwa dilapangan dengan bagian propaganda seperti kasus diatas sering menyisakan kabut dan kebenaran dibaliknya tidak pernah terungkap ke publik.
Benarkah nyawa Fadli sebagai ganti (qishas) dari Handzalah alias Hendro dan Fani yang mati ditangan Densus-88? Bisa jadi demikian. Sekelumit fakta penting publik perlu tahu, dari riset kita dapatkan gambaran sebenarnya; Fadli, Handzalah(Hendro) dan Fani plus Evan (Ipar dari Fadli) adalah satu grup. Pada awalnya mereka dalam lingkaran MIT, dan Fani seorang tukang kayu yang tinggalnya di lorong jati tewas bersama Hendro (Handzalah) saat kontak penggrebekan yang dilakukan oleh Densus 88 di Taunca Poso beberapa bulan lalu. Peran fani adalah kurir, berbeda dengan Handzalah yang berperan ganda sebagai kurir dan menangangi urusan propaganda (IT). Berbeda nasibnya dengan Fadli, Evan sampai kini lenyap tanpa jejak disinyalir ada yang mengamankan. Tapi tidak untuk Fadli, ia sempat ditangkap oleh Densus-88 kemudian dilepas disinyalir dijadikan sebagai “panah” pihak Densus-88 dengan sejumlah kompensasi (uang). Dari hasil penggalangan terhadap Fadli inilah pihak Densus-88 bisa menjejak posisi Hendro dan Fani saat di Taucan Poso. Inilah alasan utama kenapa Fadli jadi target kelompok MIT dibawah komandan Santoso dan supervisernya Daeng Koro (disertir Kostrad). Fadli dicap sebagai pengkhianat dan bekerja untuk aparat Densus-88.
Dari rilis MIT terindikasi ada benarnya bahwa mereka yang melakukan, ada beberapa indikasi dan barang bukti yang menjadi jejak langkah mereka.
Dari investigasi dan sumber CIIA didapatkan jejak, paska 5 OTK (orang tidak dikenal) mengkeksekusi Fadli mereka lari mengambil rute ke arah Desa Taunca menuju ke arah Sumber air Panas di Patanggolemba. Kemudian bergerak melintasi Gereja di Tongko Situru Membangun, dilanjutkan menyusuri sungai Masani tembus ke Tamanjeka. Di duga kuat pemimpinnya adalah Sabar Subagio alias Daeng Koro (disertir Kostrad). Saat aparat TNI melakukan penyisiran (Jumat, 19 Sept 2014) dikawasan Dusun Ratalemba Desa Masani, Poso Pesisir di kawasan kaki Gunung Biru dijumpai pondokan salah seorang warga dikebun menjadi salah satu tempat suplai logistik kelompok MIT yang lari kearah di Gunung Biru paska kontak senjata dengan aparat TNI. Ada beberapa barang bukti yang didapatkan di TKP; beberapa bom rakitan, Munisi Rangsel, 1 SIM atas nama “MP” asal Purbalingga Jateng. Dan juga didapatkan 1 KTP atas nama “MP” juga, 1 KTP atas nama “BS”, dan 1 buah kartu ATM BRI.
Selain itu juga masih didapatkan dari TKP (Pondokan) yang digrebek aparat TNI; 1 buah magazen pistol berisi 3 butir munisi kal. 9mm, 1 buah cas HP, 1 buah parang yang diduga dipakai menggorok Fadli, ratusan munisi Kal.5,56mm, 1 buah magazen M16, 7 buah sleeping bag, 1 buah rompi bom, 1 buah rompi magazen, 1 buah senter kepala, 1 buah teropong, 3 kaleng obat multivitamin, 1 HP merk Nokia, 1 buah senter kecil, 1 buah cas HP satelit,1 buah kompos gas beserta tabung LPG, 2 buah pemicu bom, 6 pasang sepatu kebun dan 6 buah tempat tidur ikat dan pakaian. Dan semua BB (barang bukti) diserahkan ke pihak Polres.
Lantas bagaimana dengan 4 WNA yang di tangkap di Parigi- Sulteng, apakah benar mereka terkait ISIS yang mau gabung dengan MIT? Sejauh ini sumber resmi Polri mengungkap ada kendala bahasa untuk mengorek keterangan dari 4 WNA yang dikurung di Mako Brimob Kelapa Dua. Dari kajian CIIA didapatkan informasi, data pelintasan imigrasi mereka terekam masuk ke Indonesia melalui Malasyia-Bandung. Kemudian dilanjutkan ke Makkasar, di duga kuat datang secara bertahap ke Makassar kemudian singgah di sebuah tempat yang tuan rumah masih punya hubungan dengan orang-orang MIT di Poso. Tapi diluar dugaan mereka (WNA dan guide), aparat Intelijen mengehendus kehadiran mereka saat masuk Makkasar dan kemudian dilakukan tailing (penjejakan), hingga akhirnya ada rekomendasi untuk di adakan swepping didepan Polres Parigi Sulteng. Berbaliknya arah mobil ( yang berisi 4 WNA, 3 WNI) membuat aparat curiga sampai akhirnya terjadi pengejaran dan ditangkap 7 orang tersebut.
Kita bisa membuat analisa sementara, dengan kehadiran orang WNA mengindikasikan orang-orang MIT punya kemampuan kemunikasi keluar untuk mencari dukungan dan simpati. Tapi apakah orang WNA yang hadir adalah representasi dari jaringan jihad global seperti al Qaida atau utusan dari IS (Isalmic State)-ISIS tentu perlu pendalaman lagi terhadap 4 WNA yang ditangkap. Jangan sampai propaganda dari pihak-pihak opurtunis lebih banyak menentukan narasi ISIS eksis di Poso dibanding fakta yang sebenarnya. Dan peristiwa penggorokan Fadli yang diklaim oleh pihak MIT bisa jadi juga memberikan pesan bahwa agenda-agenda komunikasi mereka (MIT) dengan orang-orang asing tidak mau bocor karena “embernya” mulut warga. Mengingat 2 pekan sebelum tertangkapnya 4 WNA dilapangan sudah ada dinamika intimidasi dari kelompok MIT kepada masyarakat agar tutup mulut jika tidak maka nyawa taruhannya. Disamping itu ada konsistensi pesan mereka (MIT), bahwa mereka (MIT) masih eksis dan selalu mengibarkan bendera perang terhadap Densus-88. Namun seorang Fadli (sipil-petani) dan bukan Densus-88 nya yang menjadi korban. Sebuah ambiguitas perlawanan!.
Peristiwa ini adalah letupan dari magma persoalan yang lebih besar di Poso. Tapi yang pasti Poso masih menjadi negeri yang elok dengan deretan lembah bukit dan gunung-gunung hijaunya. Tapi dihadapkan pada anomali Poso menjadi “panggung” banyak kepentingan. (arrahmah.com)