Di jalan yang ramai di kota yang dekat dengan perbatasan Suriah, seorang anak kecil berdiri di antara anak-anak lainnya mencoba menjajakan biskuit cokelat dalam kotak.
“Apakah Anda ingin membelinya?” Dia terus bertanya kepada setiap orang yang melintas sambil menarik celana kotor longgar yang ia kenakan.
Atman Khalil, bocah berusia tujuh tahun, anggota termuda dalam keluarganya, telah melarikan diri dari kampung yang dilanda perang di Tariq al-Bab, Aleppo dan berlindung di Turki. Ayah Khalil jatuh sakit dan keluarganya sekarang bergantung pada anak-anak untuk menyediakan kebutuhan harian mereka.
Bersama saudarinya yang berusia 10 tahun, Aysha dan sepupunya Suad Khalef, setiap anak mendapatkan sekitar 10 USD jika mereka bisa menjual semua biskuit mereka dalam satu hari.
“Tiga ribu pound Suriah (20 USD) per minggu, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga di Suriah. Di sini, bahkan tidak cukup untuk biaya membeli roti,” ujar ibu Suad, Arifa Al Khalef.
Keluarga Khalil dan Khalef hanyalah dua keluarga dari pengungsi Suriah yang tak terhitung jumlahnya yang kini tinggal di Turki.
Manajemen Bencana dan Darurat Turki (AFAD), badan pemerintah yang bertanggung jawab untuk pengungsi Suriah di Turki, memperkirakan jumlah warga Suriah di Turki melebihi 900.000 orang per April 2014 sekitar 220.000 tinggl di kamp-kamp pengungsi, sementara yang lain tersebar di berbagai kota di seluruh negara.
Banyak pengungsi Suriah yang tidak bisa berbicara bahasa Turki, membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan. Mereka juga tidak memiliki status hukum untuk bekerja di Turki yang berarti bahwa banyak dari mereka berakhir di pasar tenaga kerja informal.
Dalam rentang dua minggu, Al Jazeera bertemu dengan hampir seratus keluarga Suriah di lima kota berbeda di Turki. Setiap keluarga memiliki setidaknya satu anak berusia antara tujuh sampai 18 tahun, bekerja atau semua anggota keluarga menganggur.
AFAD tidak menanggapi permintaan Al Jazeera untuk mengomentari kondisi anak-anak Suriah di Turki. Menurut penghitungan UNICEF, sedikitnya 50 persen dari pengungsi Suriah di Turki berusia di bawah 18 tahun.
“Terdapat lebih dari 80.000 anak di antara populasi pengungsi Suriah di Turki yang harus meninggalkan sekolah. Diluar alasan ekonomi, banyak anak akhirnya bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga,” ujar Ayman Abulaban, perwakilan UNICEF
di Turki.
Umran Khilal yang berusia 12 tahun dan Hassan al-Ghanim, 15 tahun, adalah salah satu pengungsi Suriah yang tinggal di luar kamp-kamp pengungsi resmi di Turki. Keluarga Khilal berasal dari pemukiman Al Muyassar di Aleppo, namun kini tinggal di
Kilis, di sebuah toko yang terletak di lantai dasar gedung.
Khilal dan Ghanim menjual rokok selundupan dari Suriah. Setiap hari, remaja ini pergi pagi dan kembali sekitar pukul 18.30 waktu setempat.
Remaja lainnya, Omar Khatib dari Hama, seharusnya berada di sekolah kelas delapan. Setelah melarikan diri dari banyak daerah di Suriah, keluarganya akhirnya berakhir di ibukota Turki, Ankara.
Mereka menetap di daerah transformasi, menempati rumah yang ditinggalkan dan sebagian dibongkar dengan sewa per bulan 125 USD.
Salah satu dari delapan bersaudara, Omar dan saudaranya yang lebih tua bertanggung jawab atas kehidupan keluarga. Kakaknya sesekali bekerja di lokasi konstruksi, sedangkan Omar telah mendapatkan uang selama enam bulan terakhir dengan
mengumpulkan dan menjual besi tua, kertas dan plastik.
Menurut laporan PBB, sekitar 70 persen anak Suriah di luar kamp tidak mengakses segala bentuk pendidikan di Turki. Tidak lagi bersekolah, Omar mendapatkan sekitar 150 sampai 200 USD per bulan dengan bekerja.
“Aku tidak punya teman di sini. Mereka jauh di depan saya (sekolah) dan saya tertinggal,” ujarnya.
Pengungsi Suriah yang bergabung dengan pasar tenaga kerja informal Turki telah membuat upah pekerja menjadi turun, meningkatkan kebencian di antara penduduk setempat, tulis Kemal Kirisci secara singkat untuk Brookings Institute.
“Hukum perburuhan Turki saat ini membuat sulit pengungsi Suriah untuk mendapatkan izin kerja dan mencari pekerjaan di sektor formal,” ia menuliskan.
Ertan Karabiyik, kepala Kerjasama Pembangunan Lokakarya, kelompok yang menjalankan proyek-proyek untuk meningkatkan kondisi kerja bagi pekerja pertanian musiman dan pekerja anak di sektor ini, mengatakan : “Terdapat puluhan ribu anak yang hidup sebagai pengembara, bepergian dari satu kota ke kota lain. Pengungsi Suriah juga telah bergabung dengan mereka. Mereka melakukan pekerjaan yang paling sulit di ladang.”
Puluhan anak hidup di kamp pekerja di Adana. Dengan wajah kotor dan rambut yang tidak dicuci, mereka tinggal di sebelah selokan terbuka. Satu-satunya sumber air bersih di kamp tersebut juga berada di dekatnya. Pekerja termuda di sana berusia tujuh tahun.
Ibrahim Cerah yang masih berusia belasan, bekerja di ladang. Meskipun keluarganya memiliki ladang sendiri di Hama, Suriah, namun ia belum pernah bekerja.
“Bekerja dengan kapak dan sekop sangatlah sulit. Bahu dan kakiku selalu sakit,” ujarnya.
Ibrahim mendapatkan 15 USD per hari untuk bekerja selama 11 jam. Dia tidak memiliki banyak teman di kamp dan mengatakan orang-orang di kamp tidak menyukai warga Suriah.
Di ruang bawah tanah di Istanbul, Muhammad Ahmad (14), terlihat sibuk saat ia menghabiskan masa 11 jam yang penuh dengan debu, di mana ia bekerja di pabrik tekstil ilegal.
Tugasnya adalah mengambil, mengatur dan membawa pakaian dan menghasilkan sekitar 250 USD setiap bulannya. Keluarganya dulu tinggal di Aleppo dan kini tinggal di distrik Afrin, wilayah yang dikontrol oleh suku Kurdi.
Ahmad datang ke Istanbul bersama dua pamannya. Ia berbagai kamar dengan laki-laki dewasa lainnya dengan tidak adanya kamar mandi dan dapur. Keluarganya memiliki hutang dan Ahmad harus bekerja untuk melunasinya.
“Kehidupan membawa kami ke Istanbul,” ungkapnya lirih. (haninmazaya/arrahmah.com)
*sumber : Al Jazeera