JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengajuan Uji Materil (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menimbulkan polemik ditengah-tengah masyarakat; Apabila dikaji berdasarkan sejarah pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya hukum dibentuk berdasarkan pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).
Indonesia yang notabene sangat heterogen dan multikultural dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara lain yang cenderung lebih homogen. Tentu ada penggalian yang mendalam berdasarkan aspek historis dan filosofis oleh para pendiri bangsa ini agar terwujud keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia. Pun demikian halnya dengan pembentukan undang-undang perkawinan yang beberapa pasalnya saat ini mengalami uji materil, yakni Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
Dalam rilisnya kepada redaksi, Ryan Muthiara Wasti, Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusi (PAHAM) Jakarta mengatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini merupakan wujud kompromi sekaligus penghormatan terhadap nilai-nilai agama-agama yang diakui di Indonesia. Negara dalam pasal ini berlaku arif dengan tidak melakukan intervensi dan menyerahkannya pada hukum agama masing-masing individu yang bersangkutan. Maka, tidak dapat dikatakan bahwa UU Perkawinan hanya mengakomodir kepentingan masyarakat mayoritas yaitu umat Islam, tetapi sudah melihat secara keseluruhan dari agama dan keyakinan yang ada di Indonesia pada masa itu.
Staf Pengajar di salah satu Fakultas Hukum ini juga menegaskan keberadaan agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa karena merupakan sebuah keniscayaan dari berdirinya sebuah negara yang berlandaskan pada sebuah ideologi yaitu Pancasila dimana Sila pertama menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya pada pendiri negara meyakini bahwa Indonesia tidak akan terlepas dari sebuah pemahaman dasar atas religiusitas.
“Oleh karena itu, legalisasi nikah beda agama adalah suatu hal yang tidak sesuai dan bertentangan dengan nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat Indonesia. Legalisasi Pernikahan beda Agama adalah sesat pikir yang dapat mengaburkan makna dari pada nilai-nilai yang termaktub di dalam Pancasila sebagai Dasar Negara,” kata Ryan.
Telah ramai diberitakan sejak beberapa hari lalu, 5 warga negara mengajukan judicial review UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan beda agama tidak sah. Mereka merasa hak konstitusional mereka berpotensi dirugikan atas UU itu.
Mereka adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata dan Anbar Jayadi serta Luthfi Sahputra. Di hadapan tiga hakim konstitusi, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat dan Muhammad Alim, mereka menilai Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berpotensi merugikan hak konstitusional mereka. Hal ini karena para pemuda itu ingin perkawinannya kelak sah walau ada kemungkinan pasangan mereka berbeda agama.
Pasal itu mereka nilai menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia. Hal ini karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun institusional.
Menurut para pemuda itu, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan itu bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28I dan Pasal 29 UUD 1945. Mereka meminta MK membatalkan pasal yang mengatur keabsahan pernikahan berdasarkan agama itu. (azm/arrahmah.com)