(Arrahmah.com) – Mengutip dokumentasi Yousef Bin Tashfin dalam membongkar kronologis berdirinya khilafah Al-Baghdadi secara detil dan personil, berikut ulasan lanjutan yang dipublikasikan pada Wikialbaghdady sejak tahun 2012 hingga kini. Semoga Allah menjadikan risalah ini sebagai kabar yang menghimpun kembali ikhwah yang tercerai berai, dengan cahaya ilmu yang diungkapkan seiring berjalannya waktu. Ta’awudz wa basmallah.
***
Siapakah Abu Ayman, apakah dia anggota ISIS? Apa tanggung jawab Othamn (Al-Rayes) dari Arab Saudi? Apakah Al-Baghdadi mempertimbangkan akan kembali ke Irak dan mengapa? Semuanya merupakan tanda tanya besar yang dapat memungkaskan terbongkarnya beberapa konspirasi di balik berdirinya “Khilafah Al-Baghdadi” pada ulasan berikutnya.
Upaya membungkam kebenaran
Untuk membungkam kebenaran yang beredar di kalangan Masayikh, Al-Qahtani didelegasikan Al-Baghdadi. Sementara guna memberangus Mujahidin yang tertangkap ISIS, Al-Baghdadi memberitahu Al-Atsir bahwa ia harus mengeksekusi semua orang di penjara di Aleppo dan tidak boleh ada satu orang pun yang dibiarkan hidup.
Maka, ditunjuklah Amr Al-Absi dari Suriah, yang dengan pikiran dan mentalitasnya yang keji, dia mengendalikan penjara ISIS dan bertanggung jawab untuk membunuh dan menyiksa para tahanan. Beberapa bulan sebelumnya, Al-Qahtani terbujuk untuk menikahi beberapa wanita Suriah yang memiliki hubungandengan Al-Absi dengan dalih untuk mempererat loyalitas keduanya terhadap Al-Baghdadi. Al-Qahtani juga benar-benar mendukung cara Al-Absi memperlakukan dan menyiksa para Mujahidin yang tertahan.
Dengan menyatunya dua orang potensial (Al-Qahtani dan Al-Absi) di tubuh ISIS, Al-Baghdadi berpikir ulang untuk kembali ke Irak karena ia khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Namun, tiga orang dekatnya mencoba meyakinkan dia untuk tidak melakukannya. Mereka adalah Haji Bakar, Abu Ali Al-Anbari, dan Abu Ayman yang adalah seorang pemimpin senior di ISIS.
Haji Bakar, yang tewas baru-baru ini, sempat memperingatkan Al-Baghdadi memberitahukan bahwa kembali ke Irak bisa lebih berbahaya dan itu akan menyebabkan lebih banyak perpecahan di tubuh ISIS. Sementara itu, Al-Anbari meminta Othman Nazih untuk berbicara kepada para prajurit dan menginformasikan mereka tentang pentingnya berjuang untuk ISIS dan mati untuk itu.
Al-Anbari juga memberi suntikan semangat dengan cara memberi mereka tanggung jawab. Dengan demikian, perasaan “dipercayai pimpinan” dapat tumbuh dan memotivasi mereka. Dia sengaja mengajak anggotanya berdialog secara “one to one”, setiap kali sesuatu yang serius sedang terjadi. Dengan demikian, secara alami dia pun terus menghujamkan pesan tentang betapa pentingnya berjanji setia kepada ISIS, dan para anggota dengan mudah menerimanya tanpa penolakan berarti.
Strategi memulihkan kekuatan ISIS sebelum “deklarasi”
Sayangnya, ternyata hidup para pemimpin Daulah ISIS tak pernah betul-betul tenang. Maka Al-Baghdadi bersama kaki tangnnya merencanakan pemulihan kekuatan ISIS. Terlebih, ada kekhawatiran bahwa di antara mereka bahwa Al-Anbari telah menyewa mata-mata di dalam ISIS. Itu merupakan salah satu rumor berbahaya yang dianggap mengancam keutuhan ISIS, sekaligus dapat membocorkan operasi penting sebelum deklarasi dilakukan. Menurut beberapa informan, Amr El-Eissa, anggota ISIS, memberi Al-Anbari daftar orang yang harus dieksekusi pada FSA dan Jabhah Islamiyyah.
Bagaimana perencanaan operasi pembunuhan pemimpin FSA? Apakah Al-Baghdadi mempertimbangkan lokasi deklarasi “Khilafahnya”, di Suriah atau dimanakah? Apa hubungan Al-Baghdadi dengan pemimpin kelompok Irak Daiish Abu Awad? Semua pertanyaan ini mengerucut pada akhir terbongkarnya konspirsi di balik berdirinya “Khilafah Al-Baghdadi”.
Al-Baghdadi bertemu beberapa kali dengan para pemimpin pasukannya dan ini dianggap sebagai waktu terburuk bagi mereka. Mereka telah kehilangan sejumlah besar pria pendukungnya. Saat Al-Baghdadi bertanya dua hari sebelum keberangkatannya tentang statistik pengikutnya, diketahuilah bahwa mereka hanya berjumlah 1.757 orang, sebagian besar dari Tunisia, Arab Saudi, Libya, dan Aljazair.
Dia pun menedapati bahwa sebagian besar pejuang yang meninggalkannya akan beralih keberpihakan kepada Jabhah Nusrah. Maka,spontan dia meminta orang-orang kepercayaannya untuk melakukan segala cara -apakah itu dengan optimalisasi media, metode pendekatan agama- guna menyerap lebih banyak pejuang untuk meningkatkan kekuatannya.
Dia juga meminta Al-Qahtani untuk mendokumentasikan setiap khutbah dari Syeikh yang akan menentang dia, agar kemudian dapat dilakukan kontra-opini. Seperti sebelumnya, Al-Qahtani adalah yang paling bersemangat untuk propaganda semacam ini. Dan, kebohongan besar pun dimulai dengan mengubah namanya menjadi Abu Bakar Al-Baghdadi.
Al-Qahtani mendelegasikn misi tersebut kepada Al-Faiiz dan memberitahunya bahwa ia harus meningkatkan kinerja media lagi dan melakukan semua yang dia bisa untuk menyelamatkan ISIS. Faiiz adalah anggota yang sangat setia kepadanya. Awalnya dia berjuang di Irak dan kemudian secara ilegal masuk Arab Saudi, kemudian dipenjarakan disana setelah dia ditembak di kakinya.
Faiiz memberitahu mereka bahwa dia akan melakukan semua yang dia bisa dan bersedia menyediakan mereka informasi penting, dengan syarat mereka harus percaya kepadanya. Dia juga menunjuk anggota lain sebagai timnya, yakni Abd El-Rahman Sultan, Rayan Abu Hamid, Adnan Al-Shaalan, dan Tamiim Al-Qaadi.
Di lain pihak, Al-Baghdadi juga menginstruksikan Al-Anbari untuk menghentikan pertempuran melawan pasukan Bashaar Al-Asad dan fokus pada memerangi mereka yang tidak mendukungnya, terutama dari Jabhah Nusrah dan Jabhah Islamiyyah. Dia juga membuat dua keputusan penting yang mendukung niatnya pada saat itu, yakni:
- Tidak ada cara lain yang mampu mengalahkan mereka kecuali dengan menggencarkan operasi “bom syahid”, dengan lawan jihadnya sebagai kambing hitam
- Operasi “bom syahid” harus terjadi di Turki sehingga dampak dari insiden yang dia rencanakan itu bisa mengurangi dukungan Turki dan Barat.
Dia sangat percaya bahwa tidak ada cara lain yang akan mampu mengalahkan pihak lawan tanpa dua keputusan penting ini. Maka dapat kita saksikan dengan bergulirnya waktu bahwa selain operasi bom syahid itu, banyak pula kekerasan dan kekejian yang sengaja dibuat ISIS untuk memfitnah faksi jihad lain. Mulai dari aksi vandalisme, fa’i, hingga perkosaan, semua mereka rekayasakan dan sebarkan di semua media.
Dampak kebijakan fatalistik ISIS
Hanya orang berakal sehat dapat membuka mata dari kebijakan fatalistik yang dicuatkan Al-Baghdadi. Maka tak heran, ada sekitar dua puluh tiga puluh pejuang yang memisahkan diri dari ISIS setiap harinya. Fakta berbicara, bahwa para pejuang dari Arab Saudi adalah yang paling banyak memisahkan diri, sedangkan ikhwan dari Tunisia hanya sedikit yang ikut hijrah.
Eksodus besar-besaran itu terjadi ketika Al-Baghdadi memerintahkan bahwa pelaku bom bunuh diri sebanyak mungkin haruslah ikhwan yang berasal dari Saudi. Sementara ikhwan Tunisia tidak boleh terlibat karena mereka yang paling setia. Tentu saja, ini kebijakan paling konyol yang diambil oleh seseorang yang mengaku sebagai seorang pemimpin.
Namun, bukan Al-Bagdadi jika harus berhenti disana. Dia terus mencoba mendapatkan lebih banyak pejuang lagi tetapi tidak berhasil sama sekali. Dia menunjuk Abu Jaafar dari Tunisia sebagai senior dan memintanya untuk mencoba merangkul pejuang dari Tunisia, Libya, Turki, dan Mesir.
Syarat dari operasi penarikan pasukan tambahan itu adalah harus dilakukan tanpa sepengetahuan Daulah-Daulah yang menguasai wilayah-wilayah asal para pejuang tambahan. Abu Jaafar juga mencoba menunjuk pejuang dari kelompok yang berlawanan di Suriah dan bahkan menawarkan mereka $ 1500 untuk bergabung dengan mereka.
Namun, upaya itu tidak bekerja sama sekali tetapi mereka hanya berhasil merekrut Abu Musaab Al-Zarqawi dari Yordania. Saat direkrut, Al-Baghdadi segera mengubah namanya agar terdengar lebih penting dan agamis. Dia menyediakan banyak informasi penting kepada Al-Baghdadi.
Ketika itu, Al-Zarqawi masih marah kepada anggota lain dari ISIS karena mereka tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan perpecahan. Dia juga tertarik dalam menunjuk dua agen Saudi, yakni Abu Al-Zubair dan Adel Al-Murshadi dengan misi mendukung ISIS di mata publik.
Abu Zubair adalah pejuang yang sebelumnya pernah turut berjihad di beberapa Daulah dan tahu banyak pemimpin senior. Dengan pertimbangan itu, keberadaan Zubair dapat menjadi magnet bagi loyalitas rekan-rekan seperjuangan Zubair sebelumnya. Qodarullah, ia menolak untuk membuat pengumuman publik dan memutuskan untuk hanya membantu Al-Baghdadi dalam mencari pejuang saja.
Abu Zubair melobbi berbagai kelompok di Teluk, terutama dewan hijau yang dipimpin oleh Abu Nasser Al Shamri, dan memberitahu mereka bahwa mereka harus bergabung dengan Al-Baghdadi. Namun, mereka menolak dan memberitahu mereka bahwa mereka tidak akan bergabung dengannya kecuali Syeikh Al-Elwan dan Al-Tarifi memberitahu mereka untuk melakukannya.
Abu Zubair kemudian mencoba menghubungi kelompok Al-Ezz yang terdiri dari dominasi Saudi, tetapi ajakan tersebut juga ditolak mereka. Dengan penolakan-penolakan dari berbagai pihak, telak Al-Baghdadi tidak memiliki banyak pendukung lagi.
Al-Baghdadi kemudian mengangkat Al-Murshidi untuk berbicara dengan beberapa Syaikh untuk mendukung ISIS atau setidaknya membiarkannya beroperasi dan jangan membuat fatwa-fatwa melawan ISIS. Maka terdapat satu nama yang dimunculkan, yakni Aliwi Al-Shamri yang kemudian berbicara dengan Hammad Al-Rayes.
Al-Rayes menolak untuk mengumumkan dukungannya karena dia mengklaim bahwa dia takut hukuman pemerintah Arab Saudi dan bahwa ia hanya akan memberikan fatwa saja. Al-Rayes juga memberitahu mereka bahwa dukungannya berupa mengirim pemimpin untuk Al-Baghdadi.
Namun, ada berita mencapai Al-Baghdadi bahwa anak buahnya akan meninggalkannya. Lantas dia memanggil anak buahnya dan mengatakan akan meninggalkan Al-Baghdadi tanpa pemberitahuan apapun karena merasa tidak aman jika ditinggalkan di Suriah tanpa Al-Baghdadi. Ketika Al-Baghdadi berbicara kepada anak buahnya, dia mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan Suriah.
Maka dengan demikian, ditetapkanlah Raqqah sebagai tempat mendeklarasikan khilafah ISIS. Semenjak itu, secara global, berdirinya “Khilafah Al-Baghdadi” menyedot perhatian dunia. Dia berhasil menyudutkan Islam kembali sebagai teroris di mata dunia, sekaligus menjadi hawa sejuk fana bagi para perindu khilafah di seluruh dunia.
Sebagian praktisi jihad global memandang ini sebagai khilafah “prematur” yang tidak matang secara syar’i juga belum siap diterima ummat yang masih mentah akan kekhilafahan. Sebagian mengatakan ini permainan baru “barat” dalam melawan geliat persatuan jihad beragam daulah dan imarah di seluruh dunia. Adapun kabar dukungan atasnya masih terasa sebagai euphoria. Wallahu’alam bishowab.
(adibahasan/wikialbaghdady/arrahmah.com)