(Arrahmah.com) – Mengutip publikasi Abu Ahmad Al-Muhajir Al-Misri yang diterjemahkan oleh Ibnu Nabih melalui akun Twitternya pada Kamis (21/8/2014), berikut kesaksian mantan Jaish Muhammad yang kini telah bergabung bersama Jabhah Nusrah terkait fitnah pemerkosaan para Muhajirat di Suriah yang digencarkan ISIS beberapa waktu lalu. Semoga risalah ini menjadi jalan ishlahul ummah dan pembersih segala hasad dan amarah di dalam jiwa kaum Muslimin yang terprovokasi akan berita fitnah itu sebelumnya. Ta’awudz wa basmallah.
Kebohongan lain dengan tuduhan penculikan dan pemerkosaan
Setelah fitnah yang terungkap Muhajirat yang dievakuasi ke A’zaaz, maka ada kebohongan lain dimunculkan ISIS tentang penculikan dan pemerkosaan seorang Muhajirat di Hreitan.
Merespon kabar tersebut, Abu Ahmad melakukan klarifikasi atas apa yang terjadi. Ia memberikan nama sang ukhti dan nama suaminya kepada ikhwan asal Libya yang merupakan Amir dari Hreitan. Alhamdulillah, mereka dapat bertemu dengan suami sang ukhti sehingga bisa menemukan kebenaran dari masalah ini, dan sang zauj menjawab dengan mengatakan “ini adalah fitnah besar”.
“Yang benar adalah bahwa anakku sedang mengemudi mobil mereka dengan cepat di daerah di mana Liwa At-Tauhid berkuasa,” ujarnya. Namun, saat itu sedang ada operasi preventif ledakan bom mobil gencaran Assad, maka mereka -para Mujahidin- mengantsipasi “terduga mobil berpeledak” dengan cara menembak bocor ban mobil tersebut agar berhenti melaju masuk ke dalam kota.
Hal itu dilakukan para Mujahidin Liwa At-Tauhid untuk mencegah peledakan mobil, juga dengan perhitungan meminimalisir korban jiwa pengendara dan penumpang mobil itu. Tetapi ketika mereka menyadari bahwa ada seorang wanita di dalamnya mereka meminta maaf dan membiarkan saudara dan ibunya meninggalkan daerah itu.
Lantas kejadian itu rupanya dimanfaatkan ISIS untuk menaikkan emosi dari anggota mereka. Kebohongan baru itu berhasil mempengaruhi banyak anggotanya, lalu menjadi modus operandi baru dalam perang mental memecah belah faksi jihad perlawanan rezim Assad.
Hal itu akhirnya terus berlangsung, berulang, bahkan semakin meningkat. Pada awalnya mereka mengatakan bahwa Mujahidin anti-rezim memerkosa perempuan dari Belanda dan sekarang orang-orang Jerman. Entah cerita karangan apalagi yang dihembuskan ISIS kepada anggotanya dan ke tubuh kelompok Mujahidin lainnya.
Jika demikian strateginya, maka sifat ta’asub (fanatisme buta) akhirnya menjadi modal menjaga loyalitas anggota daulah ISIS. Subhanallah. Sementara keberpihakan seorang Muslim harus dibangun dari kesatuan aqidah yang melahirkan ukhuwah yang dijalin dengan benang takaful, yakni saling menjamin dan keterkaitan hati berazas welas asih.
Sifat takaful kaum Anshar Tel Rif’at.
Tel Rif’at biasa disebut Daulah “Emirat Islam Tel R’ifat”. Di kota itu, kaum Anshar-nya merangkul Muslimin yang hijrah kesana dan menikahkan anak perempuan mereka sebagai bentuk takaful sesama Muslim. Disana kaum Anshar melaksanakan sunnah saling mengikat hati, serta menjamin keselamatan dan kesejahteraan Muhajirin sesuai contoh salafush shalih.
“Subhanallah, mereka menikahkan anak perempuan mereka kepada Anda dan mempercayai Anda dengan menyerahkan kehormatan mereka (mengambil mantu), maka apakah logis bahwa mereka kemudian akan merenggut kehormatan Anda (misalnya istri atau putri Mujahidin lain), wahai manusia dari Daulah (ISIS)?” tanya retoris Abu Ahmad.
Dan sekarang, banyak gadis-gadis dari Tel Rif’at yang menikahi tentara dari Dawlah berada dalam kondisi “menggantung”, seolah ia tidak menikah juga bukan ia bercerai.
Apakah status pernikahan tanpa wali yang sah – karena menafikan keimanan orang tua sang ukhti yang juga Muslim- diperbolehkan dalam syari’at agama Islam? Dimana prinsip menghargai sekecil-kecilnya iman saudaramu? Para akhwat masih perlu ayah atau wali sesuai syar’i untuk menjalin mitsaqun ghalizha dengan para ikhwan Daulah. Mereka bukan wanita syi’ah yang mudah terjalin mut’ah.
Lagi-lagi Abu Ahmad kesal dan seakan menonjok para twips (baca: pengguna Twitter) ia bertanya, “apakah pernikahan di bawah tangan seperti itu memungkinkan Anda untuk mengobati luka-luka anak-anak bangsa [korban hasil pernikahan mut’ah yang tidak diketahui siapa ayahnya]? Apakah ada dari Anda menyetujui ini terjadi pada adikmu sendiri??”
Ungkapan jiwa sang Mujahid
Abu Ahmad menemui sang Mujahidin tersangka pelaku perkosaan terhadap Muhajirat. Jauh dari dugaan, ia begitu lembut namun penuh izzah sebagaimana seorang singa Alloh di medan jihad.
“Saya bertanggung jawab atas cedera mereka, maka saya memberi mereka perlindungan dan melindungi mereka dan mengangkut perempuan mereka,” ungkap sang Mujahidin. Ia juga menjadi “Tazkiyah” atau perujuk mereka yang ingin bergabung dengan Daulah “Emarat Islam Tel Rif’at” dan meminta (untuk konfirmasi ini) kepada Abu Sa’ad al-Deeb, yang merupakan Wali sementara A’zaaz dari ukhti Aisyah Abu.
Dahulu ia diminta Abu Al-Walid Al-Jazrawi yang merupakan Wali di A’zaaz setelah dia, agar sang Mujahid menjadi seorang Tazkiyah. “Semoga Allah mengampuni saya,” ucapnya saat memperkenalkan dirinya yang memiliki jabatan penting di Daulah, namun begitu rendah hati. Maasyaa Allah.
Sang Mujahid mengembalikan pertanyaan Abu Ahmad tentangnya dengan sebuah pernyataan agar mengembalikan penilaian tentangnya kepada masyarakat A’zaaz, agar terhindar dari self claim (mengaku-aku diri). “Tanyakan tentang saya, kepada semua orang yang terluka di A’zaaz dan di Shimareen dan rumah sakit di Turki, [mereka] akan memberitahu Anda siapa saya, wahai prajurit Daulah [ISIS], dan saya tidak mengatakan apa-apa kecuali apa yang saya alami langsung dan lihat,” demikian katanya tenang.
Setelah itu, Abu Ahmad melihat apa yang dilihat dan didengar tentang apa yang Mujahid dengar dari para anggota yang terluka dari Daulah Tel Rif’at mengenai apa yang terjadi. Maka Abu Ahmad seolah melihat kronologis pemboman Tel Rif’at dengan mortir dan rudal grad ISIS, sementara tentara dari Daulah masih di dalam kota [menyelamatkan warga].
ISIS dikuasai para pejagal
Jadi ketika kita berbicara tentang pejagal di dalam tunuh ISIS, kita akan tertuju pada Abu Abdul-Rahman At-Tunisi. Si Jagal keji berkata bahwa dia tidak ISIS harus menarik semua ikhwah (baca: Muslimin) jika ingin menghentikan pemboman terhadap Tel Rif’at.
“Kita menganggap mereka (ikhwah yang ada di dalam kota) sebagai martir dan kami tidak akan berhenti melakukan pengeboman atas kaum murtad (murtadin)”. Entah siapa yang mereka (ISIS) sebut murtadin, sebab di Tel Rif’at, orang non-Muslim hidup berdampingan dengan mengikuti peraturan Daulah Tel Rif’at.
Terdapat 70 ikhwan yang dijagal ISIS ketika itu, seolah mereka tidak layak dianggap keimanannya, dan tidak diakui keislamannya. “Sebagian besar dari mereka meninggal di sana karena tindakan Anda, wahai Abu Abdul-Rahman. HasbunAllah wa ni’mal Wakil,” kenang Abu Ahmad, saat mengetahui kebenaran dari masyarakat Tel Rif’at tentang kejadian itu. “Apakah semua orang di Tel Rif’at murtad sehingga dia dapat mengebom mereka dengan mortir dan rudal grad?”
Sejurus itu, sebetulnya dikabarkan bahwa seharusnya yang ditugasi untuk melancarkan misi tersebut adalah ikhwan asal Saudi bernama Jazrawi. Ia sebelumnya telah turut berjihad di Irak, dan ia menikah dengan seorang wanita lokal dari Tel Rif’at. Namun, ketika ia diperintahkan untuk menyerang Tel Rif’at dengan mortir ia melarikan diri kepada Jabhah Nusrah, dan membawanya hijrah ke Turki sehingga ia tidak akan menumpahkan darah Muslim manapun, dan setelah itu ia pergi ke Raqqah.
Dan setelah itu, Abu Ahmad diberitahu kronologis tentang fenomena bom mobil mulai terjadi di Tel Rif’at. Orang yang memulai modus operandi itu adalah Abu Zubair Aat-Tunisi yang sebelumnya pernah berjihad bersama Jaysh Muhammad sebelum bergabung Daulah.
Dia tertipu oleh kebohongan pemerkosaan muhajirat tersebut. Setelah isu itu membutakan matanya, seperti yang terjadi pada Abu Ahmad sebelumnya (sebelum taubat), mereka memperlakukan para tahanan layaknya perilaku tawaghit. Begitu pula para petugas keamanan, “mereka bertindak -demi Allah- itu seperti tawaghit bertindak. Cara mereka menyiksa dan mempermalukan saudara adalah seperti apa tawaghit lakukan,” tambah Abu Ahmad.
Dan Abu Ahmad melihat orang-orang yang berasal dari orang-orang yang paling bodoh, menjadi pemimpin dan anggota terkemuka, terutama adalah Abu Abdul-Rahman Al-Irak yang mereka sebut “Syaikh Al-Dhabbah” (Syekh Penyembelih), dan dia bukanlah apa-apa kecuali maniak dan orang bermental gila. Dia jatuh ke dalam kemurtadan (riddah) dan menolak untuk menuruti keputusan sidang setelah Mahkamah Syari’ah menjatuhkan hukuman tentang (kejadian) di mana dia merampas senapan orang di dekatnya dan dia mulai mengancam bahwa dia akan menembak dan melakukan ini dan itu.
Abu Ahmad juga mengatakan bahwa Abu Abdul-Rahman mengancam akan mengambil haknya dengan menggunakan senjata dan tidak menerima keputusan Mahkamah Syar’iah. Dia tidak akan membiarkan syari’at Allah memutuskan masalah ini, bahwa dia telah jatuh ke dalam mengatakan hal-hal yang kufur.
Dia masih terus mengatakan apa yang dia katakan, padahal Abu Ahmad terus mengatakan bahwa dia harus mengambil haknya melalui syari’at Allah dan dengan pergi ke Mahkamah Syar’iah yang dijalankan oleh Daulah dan hakim mereka. Namun ia masih berkata “Saya akan mengambil hak saya melalui ini,” sambil mengangkat senjatanya.
Jadi Abu Ahmad berteriak kepadanya bahwa dengan demikian dia jatuh ke dalam kemurtadan. Herannya, dia mulai menangis dan berkata, “aku gila (majnun), aku maniak, pikiranku memiliki kekurangan dan aku bodoh dan sepatu Anda di atas kepala saya”.
Lantas dia meninggalkan kami setelah itu dan apa yang dia lakukan di Aleppo dan di Rahbah Al-Taslih terhadap masyarakat adalah cerita panjang.
Abu Ahmad tidak ingin berbicara tentang itu atau mengekspos dia lebih lanjut, meskipun jika ia ingin, ia bisa. Subhanallah, inilah sebagian bukti bahwa risalah ini ia ungkapkan bukan untuk embuka aib saudaranya yang tersesat, namun sebatas untuk mengishlahkan semua pihak yang bertikai akibat fitnah yang telah disemaikan.
Aneka perilaku pengikut Daulah
Saat melewati wilayah Abu Qatadah At-Tunisi yang merupakan Amir dari sebuah pos pemeriksaan di kota Al-Bab, Abu Ahmad melihat betapa besar penderitaan dan kesulitan Abu Qatadah yang telah diposisikan untuk menjadi hakim masyarakat Daulah (ISIS) disana.
Dari Abu Qatadah, Abu Ahmad mengetahui bahwa ia mengalami kesulitan membekuk Abu Abdul-Rahman At-Tunisi yang merupakan Amir Seksi Utara (Al-Qita ‘al-Shamali) dan sebelumnya Amir petugas keamanan di Aleppo.
Belum lagi orang-orang dari Perancis (yang berada di Daulah ISIS) yang mengancam mereka bahwa akan memperbudak perempuan mereka jika mereka masuk A’zaaz. Yang menyedihkan adalah yang mengancam tersebut dulu pernah berjihad dengan Abu Qatadah di Jaysh Muhammad, dan salah satunya adalah seseorang teman berbagi rumah dan berbagi makanan yang sama dengannya. Dulu dia ia jadikan Abu Qatadah imam shalatnya dan diajarinya cara membaca Qur’an. Lalu dia pergi untuk bergabung Daulah dan kini mengatakan takfir kepada Abu Qtadah dan barisannya. Astaghfirullah.
Ditambah dengan polemik fatwa fa’i (Abu Ja’far) Al-Hattab asal Tunisia yang memperbolehkan mereka -anggota ISIS untuk mengambil kekayaan dari masyarakat umum. Akibat dari kebijakan itu, mereka juga mencuri rumah yang mereka dulu tinggali di di A’zaaz, semua di bawah argumen bahwa orang-orang yang murtad (murtadin) halal hartanya untuk dirampas.
Ada begitu banyak yang Abu Ahmad dengar dan lihat, tapi alhamdulillah Allah membuka matanya untuk melihat kebenaran tentang mereka. Ia bersyukur bahwa ia tidak berba’iat (bersumpah setia) kepada mereka(ISIS) atau bahwa ia bertindak seperti yang mereka lakukan, dimana mereka melanggar kekayaan masyarakat dan menghalalkan darahnya.
Sebenarnya, ada banyak hal yang tersisa untuk dikatakan Abu Ahmad, namun ia akan ungkapkan di lain waktu, pada saat yang tepat.
Orang-orang awam agama ini diggunakan ISIS untuk keuntungan mereka sendiri, meski unuk mencoreng kehormatan para ikhwah yang suci. Mereka menghasut anggotanya untuk membunuh orang-orang yang mereka lihat berpotensi melawan mereka.
Mungkin skenario kebohongan mereka telah berhasil dipropagandakan dari mulut ke mulut secara berulang, hingga terjadi pertempuran di Allepo utara karenanya. Mereka sengaja mengulanginya ahar ada alasan untuk menempatkan pedang pada leher kaum muslimin. “Namun, ketahuilah, jika (semoga Allah melarang) besok mereka memasuki wilayah Mare’, Anda akan melihat banyak darah ditumpahkan dan kami akan membuka mata mereka yang terbukakan dengan seterang-terangnya,” tegas Abu Ahmad dengan serius.
Ini adalah (hanya) sedikit dari banyak yang Abu Ahmad tahu. Yang dengannya oleh Allah, Tuhan dari Ka’bah, dijadikan jalan pembuka matahati. Para pendukung Daulah ISIS bertindak bodoh karena mereka tidak tahu.
Sebagai penutup pengakuannya, Abu Ahmad memanjatkan doanya dengan atmosfer ketaubatan yang dapat dirasakan pembaca, sebagai berikut, “ya Allah ampuni saya atas segala kerusakan yang telah saya lakukan terhadap umat Islam dengan kata atau tindakan, Ya Allah tunjukkan kebenaran sebagai kebenaran dan berilah aku petunjuk, dan tunjukkanlah kepalsuan sebagai dusta, dan selamatkanlah aku dari itu.”
Maka telah selesailah cerita busuk yang mereka gunakan untuk menipu anggota mereka, dan Abu Ahmad bersumpah demi Allah bahwa apa yang ia katakan sebagai kebenaran dan iapun bersaksi bahwa Allah adalah sebenar-benarnya Penolong kita atas apa yang mereka klaim dalam ketersesatan.
Sungguh di balik kebohongan, akan ada cerita jujur yang keluar dari hati untuk menghancurkan kebatilan. Laa hawala walaa quwwata illa billah. (adibahasan/arrahmah.com)