(Arrahmah.com) – Bilal Abdul Kareem, seorang jurnalis berpengalaman, asal Amerika, memproduksi sebuah mockumentary yang mengupas alasan para pejuang Suriah (baca: Mujahidin) bersatu melawan Islamic State Iraq and Syam (ISIS).
Kisah “dokumenter menyentil” ini dimulai dengan pandangan Abdul Kareem atas adegan bersejarah pada awal tahun 2013. Saat itu kelompok perlawanan Islam Suriah yang dipimpin oleh Jabhah Nushrah dan Ahrar Syam berhasil menekan rezim Suriah dalam posisi terpojok.
Kota besar dan kota-kota kecil berhasil direbut dalam hitungan minggu dan tampaknya tidak satu pun masyarakat yang memposisikan diri untuk melawan arus perlawanan anti rezim tersebut.. Beberapa pertempuran berjalan dengan baik dan pada saat itu Abdul yakin dinasti Assad akan segera tumbang.
Tua, muda, pria, wanita menyampaikan pujian kepada para Mujahidin, baik yang asing maupun lokal, mengapresiasi upaya heroik dan pengorbanan mereka. Itulah suasana yang tidak dapat kita bayangkan jika kita tidak berada disana, dan Abdul berada disana. Harapan tersirat dari adegan-adegan itu, tampak seolah-olah masyarakat bukan bertanya apakah rezim akan jatuh atau tidak, melainkan kapan dia menyaksikan kejatuhannya.
Terasa semangat para pejuang yang bergegas meminta komandan mereka untuk membawa mereka kepada serangan berikutnya. “Kapan ribath selanjutnya?” barangkali menjadi kalimat tanya yang pantas menggambarkan wajah para Mujahidin sang pencinta syahid dan kebebasan. Abdul merekam betul bahwa sepertinya air mata akan mereka tumpahkan jika harapan jihadnya itu ditolak.
Namun tiba-tiba tangis bahagia di atas sirna seketika bak tisue dibakar tukang sulap jalanan. Ia berubah menjadi air mata kegeraman yang amat sangat. Abdul yang berlatar belakang Amerika Serikat sangat tidak terbiasa melihat orang dewasa menangis, apalagi mereka lelaki macho bertubuh “Rambo”. Ia tidak dapat mempercayainya. Namun, kesedihan bercampur marah dan kecewa itu benar-benar terjadi di hadapannya.
Semua terjadi gegara perjuangan mereka yang tengah membawa semua harapan itu runtuh. Seorang pria pendatang bernama Abu Bakar Al-Baghdady menjerat banyak pasukan anti-rezim untuk berpisah dengan Jabhah Nusrah dan membentuk barisan baru bernama ISIS. Tak cukup sampai di situ, ulat pemakan benih perjuangan kemerdekaan Bumi Syam itu kini bermetamorfosis menjadi ngengat berlabel ‘Daulah Islam-should be‘, yang dampak merusaknya ditargetkan menghancurkan bangunan Islam sedunia.
ISIS
Abdul menghabiskan banyak waktu untuk tugas jurnalistiknya di Suriah dan ia tahu anggota ISIS yang sekarang bagian dari Daulah Islam merupakan peregangan antara Suriah dan Iraq. Abdul seorang wartawan namun ia juga manusia. Kenyataan bahwa ia adalah seorang Muslim dan pada usia 43 tahun, menggambarkannya sebagai pria yang cukup tua untuk “di-bapak-kan” oleh para pejuang di Suriah sana, sebuah panggilan penghormatan yang tidak banyak di miliki oleh wartawan asing di wilayah konflik sejenisnya.
Abdul melihat banyak taktik yang janggal tengah digunakan ISIS dan karenanya ia selalu memberitahukan orang-orang bahwa ia tidak mau bergabung dengan mereka. Sebagian dari mereka mendengarkan, dan sebagian lainnya tidak. Namun, ia selalu dipertanyakan, mengapa? Tak sedikit orang mengirimi ia pesan di Facebook menanyakan mengapa ia tidak bersuka cita akan lahirnya sebuah “Daulah Islam” untuk didukung Muslim sedunia. Sebenarnya ia sudah enggan menjawab. Namun ia ingin membuka pikiran khalayak dunia dengan beberapa pertanyaan.
“Apa alasan yang mendasari pertempuran antar kelompok [pejuang]? Sudahkah ada upaya nyata yang di lakukan untuk membawa pihak-pihak yang bertikai agar bersama-sama duduk menyelesaikan sengketa?” Pada karyanya yang disarikan dalam artikel ini, Abdul akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut, sebaik yang ia bisa lakukan.
Sebagian orang akan berfikir bahwa ia berprasangka, sebagian lainnya akan mengatainya kafir karena sudah membicarakan hal yang kontroversial tentang “Daulah ISlam-should be”, padahal ia anggap gagasannya adalah sebagai pengungkap kebenaran. Sementara, lainnya akan mengabaikan apa-apa yang harus ia katakan. Maka dalam film pendeknya, ia soroti beberapa perlakuan ISIS terhadap faksi jihad lain berikut tokoh-tokohnya yang dapat menyuarakan pendapat yang sama dengan apa yang ingin ia kemukakan. Mari biarkan fakta sejarah yang berbicara.
Namun sebagai muqadimah, Abdul memaparkan, bahwa kunci dalam memahami karya pembuka mata hati ini adalah dengan menegaskan terlebih dahulu dalam hati, bahwa karya ini bukanlah untuk mengetahui dimana perselisihan dimulai antara kelompok pejuang anti-rezim dengan ISIS. Kita melihat ini sebagai sebuah upaya yang baik untuk mengawali penguaraian benang yang kusut, sehingga Anda dapat mulai memahami suasana.
Dr. Hussein Suleman
Abdul akan memulai perjalanan singkatnya dengan bercerita tentang apa yang telah dialami Dr. Hussein Suleiman yang juga dikenal sebagai Abu Rayyan. Ia adalah seorang komandan Ahrar Syam, salah satu kelompok pejuang Suriah yang paling efektif memerangi pasukan Assad.
Pada tahun lalu ada sejumlah perselisihan yang meningkat antara ISIS dan Ahrar Syam, khususnya di wilayah desa Maskana. Abu Rayyan dikirim kepada ISIS untuk menyelesaikan sengketa. Namun, apa yang terjadi berikutnya adalah sesuatu yang ia rasa akan memilukan hati kaum Muslimin.
Pada Januari tahun 2013, Abu Rayyan ditahan oleh ISIS ketika ia pergi ke markas mereka sebagai juru runding dalam sengketa yang tumbuh antara dua kelompok tersebut. Ketika ia tidak kembali ke markasnya, Ahrar Syam menghubungi ISIS guna menanyakan tentang keberadaannya. Awalnya, mereka mengatakan tidak tahu apa-apa tentangnya.
Namun, beberapa hari kemudian salah satu tahanan yang berada dalam penjara yang sama dengan Abu Rayyan dibebaskan, dan memberitahu pemimpin Ahrar Syam Hassan Aboud bahwa komandannya telah ditahan oleh mereka. Setelah itu, mereka mengakui bahwa ia merupakan tawanan mereka dan sekarang telah didakwa dengan tuduhan melakukan tindakan kriminal “berat”.
Hassan Aboud mengatakan kepada mereka bahwa tuduhan itu dibuat SETELAH Abu Rayyan pergi menghadapi mereka, bukan sebaliknya. Alangkah adilnya jika ia disidangkan di Mahkamah Syar’iah independen dan ia akan mematuhi keputusan mereka.
Setelah melewati banyak diskusi kepada siapa dan di mana kasus ini akan di selesaikan, namun akhirnya diskusi tidak jua menuai hasil. Setelah 20 hari di tahan, akhirnya tubuh Ar- Rayan dikembalikan kepada keluarganya dalam kondisi mengenaskan, sebagai berikut.
- Telinga kanannya putus (pemeriksaan forensik menunjukkan hal itu terjadi sebelum kematiannya)
- Gigitan parah pada kedua bibirnya bagian atas dan bawah (tanda-tanda menahan rasa sakit yang kuat)
- Patah kaki kiri
- Jari jemarinya rusak karena penculiknya mencoba memotong jarinya dengan pisau (juga dilakukan sebelum kematiannya)
- Pergelangan tangan kiri patah
- Total tembakan 20 kali: 10 di kepala – satu di lengan kiri (sekitar 12 jam sebelum kematian)
Mediasi
Syaikh Yusuf Al-Ahmad berusaha untuk menengahi perkara tersebut setelah ISIS menyatakan bahwa akan ada seorang hakim dari Ahrar Syam dan seorang hakim ISIS untuk memutuskan kasus ini. Syaikh Yusuf Al-Ahmad menyarankan bahwa modus ini dinilai tidak akan menghasilkan keputusan yang independen dan tidak akan mengarah pada akhir damai.
Oleh karena itu dalam surat yang ditujukan kepada Hassan Aboud dan Abu Bakar Al-Baghdadi, ia menyarankan bahwa sekelompok wakil-wakil dari kelompok-kelompok lain yang berperang di Suriah selain Ahrar Syam dan ISIS harus datang bersama-sama dan memilih ulama untuk memutuskan perkara ini.
Beberapa ulama yang dihormati di kalangan gerakan jihad Suriah mencoba untuk campur tangan guna menyelidiki permasalahan dan agar pelaku kejahatannya di bawa ke pengadilan. ISIS selalu menolak untuk menanggapi tuntutan mereka, karena posisi mereka telah menjadi “Daulah Islam” dan tidak membutuhkan pengadilan independen manapun. Hal ini dianggap sebagai tindakan utama pengkhianatan perang oleh Ahrar Syam dan faksi jihad lainnya, karena menolak hadir di sebuah Mahkamah Syari’ah. ISIS bahkan melawan mahkamah Bumi Suriah yang telah diperjuangan penegakkannya oleh para Mujahidin Suriah selama ini.
Kesalahan fatalnya adalah, Abu Rayyan dikirim kepada mereka sebagai utusan dimana orang yang seharusnya berada di bawah perlindungan ISIS sebagaimana lazimnya untuk utusan perdamaian dalam Islam, bukan sebagai musuh atau lawan. Oleh karena itu, Ahrar Syam merasa dikhianati dan disakiti, karena penyiksaan terhadap saudaranya itu tak jauh berbeda dengan elemen kunci rezim Suriah yang sedang mereka perangi.
Kejadian ini adalah salah satu katalis yang memicu percepatan terjadinya konflik internal antara kelompok yang bersekutu dengan FSA, Ahrar Syam dan Jabah Nushrah di satu sisi, dan di sisi yang lain yakni ISIS. Hingga saat ini, tak satu pun dari kelompok Islam lain yang mendukung dan bersekutu dengan ISIS.
ISIS v.s Mujahidin
Ahrar Syam mengangkat isu di atas untuk menuntut keadilan karena ISIS sama sekali tidak membawa ke Mahkamah Syari’ah atas dugaan kejahatan terhadap Abu Rayyan, melainkan ISIS langsung mengeksekusi Abu Rayyan bahkan menyiksa beliau terlebih dahulu.
FSA dan brigade lainnya kemudian juga bersatu, karena mereka memiliki masalah dan urusan untuk diselesaikan dengan ISIS yang merasa tidak mengakui hak-hak Muslim yang bersebrangan cara pandang dengan mereka dan ideologi mereka.
Sejak itu, ISIS menabuh genderang perang kepada siapa saja yang mereka tuduh hanya menginginkan demokrasi (baca: Mujahidin Suriah).
Abdul telah mendapatkan catatan dari tangan pertama penjara rahasia ISIS, yang di penuhi dengan warga Suriah yang lemah dan para Muhajir yang dituduh melakukan kejahatan, mereka dipenjara tanpa pengadilan. Masalah utama yang terjadi antara perseteruan oleh kelompok Mujahidin Suriah dengan ISIS adalah mereka (ISIS) menempatkan diri mereka di atas hukum Syari’ah yang mereka klaim bahwa mereka telah mendirikannya.
Sementara itu, para Ulama Jihad yang dihormati, seperti Abu Muhammad Al-Maqdisi dan Abu-Qatadah telah mengecam ISIS atas tindakan mereka dan penolakan terus menerus dari mereka untuk muncul di pengadilan Islam yang independen demi menyelesaikan perselisihan. ISIS merasa bahwa mereka adalah “Daulah Islam” dan masalah negara akan diselesaikan dalam negara mereka, dalam pengadilan mereka dan hukum haruslah diputuskan oleh hakim mereka.
Dengan demikian, adalah tugas Umat Islam sedunia yang tidak mau menerima status quo yang ada, untuk memutuskan apa yang akan menjadi identitas baru mereka (ISIS). Seharusnya kita berpikir, mengapa mereka yang mendukung atau berfikir untuk mendukung “Daulah Islam” tidak menangis tersedu-sedu ketika Benjamin Netanyahu menyembelih Muslim Palestina, sementara tidak mengecam Abu Bakar Al-Baghdadi untuk menanggapi tuduhan penjara, penyiksaan, dan pembunuhan atas Dr. Hussein Suleman (Abu Rayyan).
Tidak adanya rasa bertanggungjawab akan dosa dan kesalahan telah menjadi ciri khas ISIS sejauh ini. Setiap Ulama yang menuntut mereka untuk bertanggung jawab selalu mereka acuhkan, bahkan mereka ancam akan dibunuh. Inilah gambaram lingkaran kepemimpinan dalam tubuh ISIS hari ini. Abdul Kareem hanya menyampaikan apa yang dipotret waktu tentang ISIS apa adanya, perkara terbukanya hati, ia serahkan kepada Anda. Wallohu’alam bishowab.
(adibahasan/muqawamah/arrahmah.com)