ILLINOIS (Arrahmah.com) – Mengutip ulasan Barbara Nimri Aziz, antropolog senior dan produser RadioTahrir.org pada counterpunch.org, Selasa (12/8/2014), maka moral dan prinsip-prinsip dari semua otoritas di Amerika Serikat perlu diperiksa secara berkala, layaknya seorang pesakitan. Namun alhamdulillah, aksi psikopatnya dalam pembungkaman para pejuang cendekia pro-Palestina kini mendorong semakin merajalelanya gerakan perlawan dari dunia pendidikan AS.
Terlebih atas berlakunya rezim zionis “Israel” di University of Illinois, kini menjatuhkan martabat sebuah perguruan tinggi menjadi jatuh sedalam-dalamnya, akibat pemecatan seorang profesor berdarah Palestina, Steven Salaita, secara sepihak baru-baru lalu. Hal tersebut mencerminkan kegagalan Univesitas Illinois dalam memegang prinsip kebebasan akademik dan menjadi bahan bakar motor perubahan dari kalangan pendidikan.
Padahal, Profesor Steven Salaita adalah seorang cendekiawan muda yang brilian dan berani dalam sastra komparatif mengenai Studi Indian Amerika yang berjasa atas pengabdiannya sebagai tenaga pendidik di Universitas Illinois (UI). Selain karyanya dalam studi perbandingan, Salaita adalah seorang ahli dalam fiksi Arab Amerika dan penulis The Uncultured Wars dan Israel’s Dead Soul, di antara banyak risalah analitis terbaiknya.
Keputusan UI untuk mehentikan kontrak mengajar Salaita ini dikatakan berdasarkan komentar kritisnya atas “Israel” selama krisis Gaza saat ini pada akun Twitternya. Salaita juga telah ditargetkan atas tuduhan penyebaran wawasan radikal, yakni kritiknya terhadap liberalisme Amerika, dan analisis kebijakan “Israel”. Alhamdulillah, ketidakadilan tersebut membidani sebuah kampanye pemboikotan UI yang diluncurkan atas nama Salaita menghasilkan perhatian serius semua kalangan yang masih berhati nurani.
Selain Salaita, tanpa sepengetahuan publik, pekan lalu juara kebebasan berbicara lainnya yang disoroti Universitas Illinois -di bawah rezim zionisnya- adalah pembawa acara “The Commentator“, Leroy Baylor. Program tersebut dinilai anti-semit oleh UI setelah menayangkan sebuah dialog dengan tajuk “Voice of Harlem” di City College, sebuah universitas terkenal karena progresivismenya yang “mencubit” pemerintah AS karena mengundang tamu kontroversial seperti pemimpin Muslim Amerika Louis Farrakhan.
Rupanya ini membuktikan bahwa Universitas di Amerika memiliki tradisi memalukan membersihkan sarjana berani dari barisan mereka karena mengatakan hal-hal yang tidak sesuai pesanan sekutu zionis Paman Sam. Mari kita ingat juga profesor Afrika Selatan dn mantan tahanan Robben Island, Fred Dube. Saat itu Dube diusir dari jabatannya di Stony Brook University of New York di pertengahan 80-an. Kampanye perlawanan atas nama Dube kemudian diluncurkan setelah ia mengangkat beberapa pertanyaan pedih tentang Zionisme di kelasnya. Dan ya, sejarah berulang atas Profesor Salaita.
Rekam jejak perlawanan cendekia Amerika Serikat
Kita juga dapat menengok kasus terkenal dari Sami Al-Arian, yang juga seorang profesor Amerika Palestina yang tidak hanya telah dihapus dari Universitas Florida pada tahun 2002 akibat dari laporan yang ia buat dalam sebuah wawancara TV. Ia kemudian didakwa, dipenjara, dan dipaksa tunduk pada tahun pelecehan hukum. Alhamdulillah, baru-baru ini ia dibersihkan dari semua tuduhan.
Warga Amerika asli, seperti Ward Churchill, profesor dengan spesifikasi studi perbandingan etnis di Universitas Colorado juga dipecat karena pernyataan yang dibuat setelah serangan 911. Churchill terkenal karena dukungannya terhadap hak-hak Palestina (yang secara defacto) mengakibatkan kritik meluas terhadap kebijakan AS-“Israel”.
Sebagai pelengkap rapor merah sejarah rezim zionis di universitas-universitas AS, kita tambahkan pula kasus kritikus “Israel” dan penulis pembela kebenaran Finkelstein. Ia diasingkan DePaul University pada tahun 2007 dan tidak diakui pengabdiannya yang telah ia rintis sejak bertaun-tahun lamanya. Sungguh ironis.
Demikian bukti bahwa pengetahuan yang lahir dari akal fitrah akan menjadi senjata yang ditakuti kaum kuffar. Gerakan-gerakan perlawanan itu juga muncul dari bangku-bangku kuliah. Itulah yang mendesak para Administrator Universitas untukmelakukan pembersihan tersebut selama oposisi hadir dalam tubuh komite fakultas-fakultasnya.
Inilah beragam contoh kasus yang berbunyi nyaring, di mana para cendekia berjuang kembali sesuai fitrahnya. Meski mereka hadir di dunia pendidikan hanya untuk kehilangan karir pada akhirnya, namjn merekalah pejuang ilmu terbaik yang dikenal dalam sejarah kelam rezim zionis AS.
Dalam kasus yang tak terhitung jumlahnya di tempat lain, profesor-yang tidak dipecat-menemukan diri mereka terpinggirkan, dihalangi promosi penjenjangan karirnya atau sebaliknya dikucilkan untuk berdiri dalam barisan mujahidin ilmiah yang membela Islam dan mendukung hak asasi Muslim dan Palestina.Merekalah para pahlawan tanpa tanda jasa sesungguhnya, dimana karir mereka tertutup sepenuhnya akibat pembelaannya terhadap diinul haq ini. Inilah kemuliaan sejati bagi pecinta ilmu Ilahi.
Yahudi zionis dalam institusi
Di banyak institusi, terutama universitas terkenal di Amerika, spertinya ada aturan tak tertulis tentang mengkritik “Israel”. Bahkan anggota fakultas yang berposisi sebagai dosen tamu ‘kontroversial’ pun dapat dijerat hukum tirani terselubung di bawah payung institusi pendidikan tinggi.
Tak heran saat salah seorang penulis Amerika sekaligus cendekiawan Arab New York mengundang Barbara hadir dalam diskusi yang dipimpinnya, sebuah “peringatan” dibisikkan kepadanya oleh seorang kandidat doktor di pusat pascasarjana terkenal, setelah ia menyampaikan gagasannya. Menyambut Barbara yang baru selesai berbicara, ia berbisik dalam intonasi penuh penekanan bahwa, “setiap kepala departemen di sini adalah Yahudi”.
Barbara sangat terkejut dan bertanya, “apa ini memiliki hubungannya dengan kinerja, atau dengan saya?” Ia hanya bisa menjawab, “hanya untuk kau simpan dalam pikiran.” Dalam retrospeksinya, Barbara bertanya-tanya apakah peringatan itu tentang apa pun kesalahan dari ucapannya, atau lebih kepada refleksi dari suasana dingin di mana ia dan sesama cendekiawan di acara tersebut masih memegang fungsi “ulama yang menyebarkan kebenaran”.
Hari ini, aktivis dan warga yang peduli akan kebebasan Palestina merasakan pasang surut “Israel” yang tidak bisa lagi mengontrol informasi dan menggagalkan kebebasan berbicara di kampus-kampus kami. Kini, kembali kepada realita yang menonjok zionis tepat di wajahnya, kampanye pemboikotan Universitas Illinois untuk membalikkan keputusan atas pengembalian jabatan Profesor Salaita dalam bentuk petisi, dengan cepat mengumpulkan 13.000 tanda tangan.
Dengan demikian, seluruh cendekiawan pro-Palestina pun akhirnya memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada para pengguna media sosial yang telah menyebarkan “demokrasi” di dunia maya yang tak mengenal batas teritori kebangsaan. Semoga gerakan-gerakan ini menandakan kebangkitan para pejuang pembela kebebasan Palestina di seluruh dunia segera mencapai puncaknya. Allahu Akbar! (adibahasan/ arrahmah.com)