RAKHINE (Arrahmah.com) – Ribuan anak-anak Muslim Rohingya menghadapi masa depan yang suram setelah mereka terpaksa meninggalkan pendidikan dan hidup dalam kemiskinan yang ekstrim di usia dini mereka, sebagai bagian dari penderitaan yang dihadapi ummat Islam di negara Asia tenggara.
“Suatu hari saya akan berusaha dan menabung untuk bisa sekolah,” Ko San, (15), mengatakan kepada Anadolu Agency pada Sabtu, (9/8/2014).
“Sudah lama sekali saya tidak pergi ke sekolah,”
Sebagai seorang anak Muslim Rohingya, Ko San tidak dapat menyelesaikan pendidikannya karena ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah pada saat usianya yang baru menginjak enam tahun untuk bekerja agar bisa membantu keluarganya.
Meskipun ia telah bekerja selama empat tahun sebagai pekerja penuh waktu di sebuah, Ko san hanya mampu menghasilkan sekitar $10 per bulan.
“Saya juga memberinya sarapan, makan siang dan makan malam,” kata pemilik warung teh itu.
Remaja Rohingya itu, yang bekerja membersihkan dan menunggu meja sepanjang hari di warung teh dekat Teluk Benggala, tinggal di sebuah gubuk darurat di kamp Say Ta Ma Gyi yang disediakan bagi para pengungsi internal (IDP) di Sittwe, Rakhine.
Putus sekolah adalah salah satu dari beberapa masalah yang dihadapi Muslim Roghingya. Jumlah anak putus sekolah telah menjadi dua kali lipat setelah amukan massa Buddha pada tahun 2012.
Muslim Rohingya juga harus menghadapi krisis kesehatan yang parah setelah pengusiran beberapa kelompok bantuan kemanusiaan pada Februari lalu.
Selama dua bulan terakhir, anak-anak yang menderita kekurangan gizi buruk harus kehilangan nyawa mereka di kamp-kamp konsentrasi di negara bagian Rakhine.
Warga di kamp-kamp pengungsian sementara itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan nyawa bayi-bayi mereka yang menderita gizi buruk.
Setelah amukan massa Buddha pada 2012, sekolah-sekolah Islam dilarang di Sittwe. Di sana hanya ada satu sekolah pemerintah yang tentu saja tidak bisa menampung ribuan siswa dengan hanya beberapa guru.
“Kami tidak memiliki cukup ruangan, atau meja,” kata Zaw Zaw, seorang guru di sekolah itu.
“Ini sangat sulit bagi kami untuk mengajar.”
Menurut kelompok Arakan Project Advocacy, para pemuda dan anak-anak Rohingya di daerah terpencil di ujung utara Rakhine memiliki akses yang sangat terbatas untuk bisa mengenyam pendidikan setelah kekerasan yang terjadi pada 2012.
“Semua lembaga pendidikan agama Islam ditutup, bahkan maktab-maktab, di mana anak-anak belajar tentang prinsip-prinsip dasar Islam juga ditutup.” Arakan Project Advocacy melaporkan pada Juli.
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi orang tua mereka, seperti dipecat dari pekerjaan atau terpaksa terbaring di tempat tidur karena sakit, anak-anak Muslim Rohingya terpaksa mengambial alih peran sebagai pencari nafkah keluarga.
Dijelaskan oleh PBB sebagai salah satu minoritas yang paling tertindas di dunia, Muslim Rohingya menghadapi berbagai daftar panjang diskriminasi di tanah air mereka.
Rohingnya tidak bisa mendapatkan hak kewarganegaraan karena amandemen terhadap undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 dan mereka diperlakukan sebagai imigran gelap di rumah mereka sendiri.
Pemerintah Burma serta mayoritas Buddha menolak untuk mengakui istilah “Rohingya”, dan menyebut mereka sebagai “Bengali”.
Kelompok-kelompok HAM menuduh pasukan keamanan Burma membunuh, memperkosa dan menangkap warga Rohingya setelah kekerasan sektarian tahun lalu.
Ratusan ribu Muslim Rohingya terpaksa harus meninggalkan rumah mereka di Burma barat sejak Juni setelah serangan besar-besaran dari massa Buddha di daerah mereka.
Kekerasan itu telah menyebabkan hampir 29.000 orang mengungsi, dan lebih dari 97 persen di antaranya adalah Muslim Rohingya.
(ameera/arrahmah.com)