GAZA (Arrahmah.com) – Tutup mata Anda dan bayangkan seorang anak yang Anda kenal dan Anda cintai. Anak itu bisa jadi adalah anak Anda, keponakan Anda, cucu Anda, atau anak dari teman Anda. Selanjutnya, bayangkan anak-anak itu sedang bermain dengan polosnya di sebuah taman bermain. Sekarang coba bayangkan sebuah bom jatuh dekat anak itu, mencabik-cabik tubuh mungilnya, dan bagian-bagian tubuhnya terpental ke bebagai arah. Jika Anda merasa ngeri dengan latihan mental ini, berarti Anda masih memiliki perasaan manusia.
Masalahnya adalah: Bahwa latihan mental ini bukanlah sesuatu kayalan bagi rakyat Palestina di Gaza. Kejadian mengerikan – yang Anda bahkan tidak sanggup membayangkannya – adalah nyata dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Genosida yang didefinisikan dalam kamus sebagai “pembunuhan yang disengaja terhadap sekelompok besar orang, terutama orang-orang dari bangsa atau kelompok etnis tertentu.” Selama hampir satu bulan sekarang, “Israel” telah melakukan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza. Pada saat penulisan ini, 1.600 warga Palestina telah dibunuh oleh militer “Israel” dengan sebagian besar dari mereka merupakan warga sipil, menurut media global dan sumber hak asasi manusia internasional, meskipun jumlah itu terus berubah per jam. Juga pada saat tulisan ini dibuat, 360 warga sipil tersebut adalah anak-anak.
Pada tanggal 12 Juli 2014, “Israel” menembaki pusat rehabilitasi bagi penyandang cacat di Beit Lahia, menewaskan dua wanita cacat yang tidak bisa melarikan diri saat itu, bahkan jika mereka mencoba untuk melarikan diri. Serangan brutal “Israel” juga membunuh empat anak dari keluarga yang sama pada tanggal 16 Juli, yang sedang bermain sepak bola di pantai yang jauh dari infrastruktur apapun. Pada hari pertama liburan Idul Fitri, menandai akhir bulan suci Ramadhan, seharusnya itu adalah saat untuk pesta dan perayaan, tapi “Israel” membantai 10 warga sipil termasuk 8 anak-anak di sebuah taman bermain.
Pembunuhan lain yang tak terhitung jumlahnya telah dilakukan secara brutal dan keji oleh mesin militer “Israel, yang didanai terutama oleh pembayar pajak AS. Dan di antara yang paling umum adalah penembakan berulang terhadap penampungan / sekolah milik PBB, dimana ribuan pengungsi warga sipil Palestina mencoba mengungsi ke sekolah itu untuk menyelamatkan diri dari bom-bom “Israel”.
Serangan tersebut terakhir terjadi pada tanggal 30 Juli. Lebih dari 3000 warga sipil mencari perlindungan di sekolah yang dikelola oleh UNRWA karena mereka berpikir bahwa jika mereka berada di bawah naungan PBB mereka akan aman di sana dan karena rumah-rumah warga sipil telah benar-benar dihancurkan oleh bom-bom “Israel”. Lebih dari enam belas orang tewas dan puluhan luka-luka, dengan banyak korban adalah perempuan dan anak-anak.
Sebelum serangan yang terjadi pada 30 Juli, ada juga serangan pada 24 Juli, menewaskan 13 orang dan melukai lebih dari 200 warga Palestina. Penembakan pada 24 Juli adalah serangan yang keempat dalam beberapa hari oleh militer “Israel” yang menargetkan sekolah PBB.
Dalam banyak media korporasi milik Barat dan khususnya di Amerika Serikat, malah membenarkan tindakan keji “Israel”. Di antara yang paling keterlaluan adalah tudingan bahwa faksi perlawanan seperti Hamas menempatkan peluncur roket mereka di antara penduduk sipil dan oleh karena itu menempatkan masyarakat sipil dalam bahaya. Padahal saksi mata mengatakan bahwa tidak ada roket, terowongan atau Hamas di rumah sakit, pantai, sekolah, ataupun masjid-masjid yang kini telah rata dengan tanah.
Ini adalah omong kosong!
Pertama, sampai saat ini tidak ada wartawan di lapangan yang telah menemukan bukti bahwa warga sipil digunakan sebagai perisai manusia. Faktanya malah sebaliknya, wartawan BBC di Timur Tengah Jeremy Bowen yang melaporkan dari Gaza telah menyatakan secara langsung bahwa tidak ada warga sipil Palestina yang dijadikan sebagai prisai manusia. Faktanya, dan seperti yang sudah disebutkan, anak-anak dibunuh di ruang terbuka dan terlihat jelas di pantai dan di taman bermain. Sekolah UNRWA dan tempat pengungsi yang penuh dengan warga sipil menjadi target langsung serangan “Israel”. Selanjutnya, mereka mengklaim bahwa faksi perlawanan-yang mencakup Hamas dan lainnya – telah berdatangan ke Gaza dari luar negeri. Ini semua adalah palsu!
Para pejuang Palestina seperti Hamas, Jihad Islam, Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Brigade Al–Aqsa dan lain-lainnya, kesemuanya itu adalah berasal dari Gaza. Itu berarti bahwa mereka telah tinggal di Gaza dengan keluarga mereka, dan Gaza adalah tempat di mana mereka memperoleh mata pencaharian mereka dan mengelola toko-toko, bisnis, sekolah, perusahaan dan universitas. Apakah mereka yang waras percaya bahwa mereka akan berusaha untuk membahayakan kesejahteraan keluarga mereka, saudara mereka, teman-teman, kolega dan orang-orang yang mereka cintai dengan menempatkan persenjataan di dekat mereka? Kebohongan “Israel” telah terbentang dengan jelas bagi siapa saja yang bersedia untuk membuka mata mereka.
Tentu saja, jika seseorang ingin membandingkan antara kedua belah pihak, yakni “Israel” dan kelompok perlawanan Palestina, jelas bahwa kelompok perlawanan Palestina memiliki landasan moral yang tinggi, meskipun mereka terus menerus didorong oleh “Israel” menuju ke titik putus asa dengan pembunuhan barbar yang terus dilancarkan oleh “Israel”. Menurut sumber-sumber “Israel”, sejauh ini 63 tentara “Israel” telah tewas bersama dengan 3 warga sipil “Israel”, sementara ada 1.600 warga Palestina tewas dan 8750 terluka. Oleh karena itu, 5% di antara orang “Israel” yang tewas adalah warga sipil, sementara perkiraan kelompok hak asasi manusia dan OCHA menempatkan persentase warga sipil Palestina yang tewas menjadi tidak kurang dari 64%. Ini berarti bahwa militer “Israel” sengaja menargetkan warga sipil dan itu namanya pengecut, sementara perlawanan Palestina menargetkan tentara. Tidak diragukan lagi, para pembela “Israel” akan berdebat bahwa alasan korban sipil “Israel” yang sangat rendah karena Iron Dome telah berhasil mencegat sebagian besar roket yang ditembakkan oleh kelompok perlawanan.
Namun menurut Debkafile, sebuah situs intelijen militer “Israel”, analisis itu diterbitkan pada tanggal 23 Juli dengan judul “Komandan IDF: Saatnya untuk menentukan langkah perang setelah kemenangan IDF di Shujaiya, E. Rafah dan Khan Younis“. Dalam analis itu dipaparkan sebagai berikut: “Hampir sebagian besar dari 2.000 roket yang ditembakkan oleh kelompok perlawanan Palestina selama 16 hari terakhir secara sengaja tidak menargetkan pusat padat penduduk “Israel”. Hamas berfokus pada sasaran-sasaran strategis, seperti pangkalan Angkatan Udara “Israel” dan fasilitas di bagian selatan dan tengah.” Lebih jelasnya, situs “Israel” ini sendiri mengakui bahwa kelompok perlawanan Palestina menargetkan lokasi militer dan bukan “sasaran empuk” warga sipil. Jelaslah, jika kita melihat dengan cukup dekat dan mendalami, akan nampak begitu jelas kebohongan dan propaganda “Israel”.
Pernyataan dari Debkafile di atas sebenarnya konsisten dengan pengumuman yang dibuat oleh Muhammad Deif, komandan Brigade Al-Qassam, sayap bersenjata Hamas. Dalam pidato yang disiarkan di televisi pada tanggal 29 Juli, ia menyatakan bahwa “Kami lebih suka menghadapi dan membunuh militer dan tentara elit musuh ketimbang menyerang warga sipil.”
Apa buktinya klaim Deif di atas? Perlawanan Palestina telah memanfaatkan terowongan untuk melaksanakan operasi mereka melawan pasukan pendudukan “Israel”. Beberapa terowongan ini mencapai belakang garis musuh ke wilayah “Israel”, dan ini salah satu alasan yang digunakan oleh “Israel” untuk meluncurkan perang melawan Gaza; yaitu untuk menghancurkan terowongan tersebut. Kelompok perlawanan Palestina mengeksekusi sejumlah operasi dengan menyusup di belakang garis musuh melalui terowongan ini dan menyerang tentara dan pangkalan militer. Operasi tersebut terakhir dilakukan pada 28 Juli di siang hari bolong di pangkalan militer dan ada rekaman video yang akhirnya disiarkan di media “Israel”. Para pejuang Hamas bisa saja dengan mudah mengincar penduduk sipil “Israel” selama penyusupan mereka, dimana hal itu lebih mudah dilakukan dan kurang berisiko. Namun mereka memilih untuk tidak melakukannya.
Perlu dicatat bahwa untuk mendapatkan bukti yang lebih baik dari rasisme dan kebencian yang berlimpah di kalangan “Israel” dan di antara pendukung “pro–Israel”, lihatlah komentar-komentar mereka di berbagai berita di situs-situs berita “Israel”. Komentar tersebut termasuk pernyataan seperti “Tidak ada WARGA SIPIL di Gaza“; “usulan sederhana untuk solusi 2 negara: Hidup (Yahudi) dan Mati (Arab )”, dan berbagai komentar yang lain yang menampakkah besarnya kebencian mereka. Untuk bersikap adil, kita bisa mengatakan bahwa komentar orang-orang itu tidak mewakili kebijakan negaranya. Namun, komentar-komentar itu mencerminkan sikap umum dalam masyarakat “Israel”.
Bukan hal yang asing lagi bagi “Israel” untuk membunuh warga sipil yang tak berdosa, dan ini telah menjadi praktek lama negara itu. Pembunuhan brutal terhadap warga Palestina di sekolah UNRWA, misalnya, mengingatkan kita pada pembunuhan di sekolah Al–Fakhura. Namun, pembunuhan warga sipil oleh “Israel” tidak terbatas pada warga Palestina saja. Rachel Corrie, seorang aktivis Amerika, yang memang sengaja dihancurkan sampai mati oleh buldoser “Israel” pada tahun 2003. Thomas Hurndall, seorang aktivis Inggris, ditembak oleh seorang penembak jitu di kepalanya pada tahun yang sama, seperti halnya Brian Avery, aktivis Amerika lainnya yang ditembak di wajahnya. Pada tahun 2010, sepuluh aktivis Turki di atas kapal Mavi Marmara di Freedom Flotilla ditembak dan dibunuh oleh angkatan laut “Israel” di perairan internasional. Juga di perairan internasional, “Israel” menewaskan 34 pelaut Amerika dan melukai lebih dari 170 kapal USS Liberty pada tanggal 8 Juni 1967 Lalu. Seperti halnya sekarang, “Israel” terus bertindak dengan kekebalan hukum. Namun, daftar kejahatan “Israel” yang telah dilakukan selama puluhan tahun terlalu panjang untuk disebutkan di sini. (Ini hanya menjadi perhatian penulis dimana seorang tentara “Israel” bernama David Ovadia membual secara online tentang pembunuhannya terhadap 13 anak-anak Palestina.)
Pertanyaan bagi mereka yang pro-Israel – yang selalu dengan cepat mengutuk rakyat Palestina yang mencoba untuk melakukan perlawanan – harus bertanya kepada pada diri sendiri: Jika “latihan mental” sebagaimana yang disebutkan dalam pembukaan tulisan ini ditujukan terhadap anak bayi yang mereka cintai, apakah mereka akan mampu melakukan? Dan apa yang akan mereka lakukan?
Jika begitu, alangkah luar biasanya kesabaran, berpegang teguh pada hukum, dan sikap memaafkan dari orang-orang Palestina dalam menghadapi salah satu bentuk terjelek dalam sejarah genosida yang telah mereka saksikan selama ini.
* Artikel ini ditulis oleh Rifat Audeh, aktivis hak asasi manusia Palestina-Kanada dan seorang analis media. Tulisan-tulisannya dapat ditemukan di berbagai surat kabar dan website.
(ameera/arrahmah.com)