Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra Terorisme, Dir CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
(Arrahmah.com) – Satu bulan terakhir, diluar isu Pilpres pandangan masyarakat tertuju kepada sikon global khususnya Timur Tengah. Awal bulan Juli (Ramadlan 1435 H) muncul deklarasi Khilafah oleh ISIS (ISIL) di Syuriah, berikutnya tragedi serangan Israil ke Gaza Palestina.Kedua fenomena tersebut sama-sama membangkitkan perhatian umat Islam dari berbagai belahan dunia.
Terkait deklarasi Khilafah oleh ISIS (Islamic State Iraq-Syuriah), secara aktual telah melahirkan friksi.Muncul polarisasi antara pro dan kontra ditengah umat Islam dengan alasan dan argumentasi (hujjah) masing-masing. Polarisasi yang terjadi di kawasan Timur Tengah resonansinya juga sampai ke Indonesia. Sebagian umat Islam yang berafiliasi di berbagai gerakan Islam mensikapi secara beragam. Jika kita mencermati perkembangan yang dinamis terkait ISIS, perlu kiranya mengeja bagaimana prospek gerakan pro Khilafah ISIS dalam kontek politik ke-Indonesiaan?
Dalam konteks Indonesia, Khilafah yang di deklarasikan oleh ISIS di Syuriah adalah wujud “impian” bagi sebagian orang dan kelompok gerakan Islam. Bahkan melahirkan euforia sebagian orang pergerakan baik yang bergabung dalam sebuah tandzim (organisasi) atau non-tandzim. Tersebutlah Ustad Abu Bakar Ba”asyir (ABB), top representasi dari JAT (Jama’ah Ansharut Tauhid) sekaligus sebagai icon teroris kawasan Asia Tenggara versi Densus-88, BNPT dan Amerika, kali ini menyatakan dirinya berbaiat kepada Khilafah.Dari dalam Lapas Pasir Putih Nusa Kambangan ustad ABB bersama sebagian napi “teroris” menyatakan dukungan dan baiatnya.Keputusan ustad ABB akhirnya bisa membawa gerbong JAT dengan sedikit “penumpang” nya bersama beliau. Sebagian besar “penumpang” JAT memilih keluar dan kemungkinan besar mereka mengorganisir diri dalam tandzim baru yang tidak terkait sama sekali dengan sosok ustad ABB dan JAT secara organisasi.
Otomatis, seorang ustad ABB sekarang bersama orang-orang yang selama ini orentasi perjuangnya pro ISIS. Diantaranya ada seorang ustad Aman Abdurrahman (tahanan “teroris” di Nusa Kambangan) dengan para kadernya di dalam tahanan atau diluar tahanan yang terhimpun dalam FAKSI (Forum Aktifis Syariat Islam), dibawah “kendali” seorang yang bernama M.Fachry (Pimred media online al-mustaqbal.net), Bahrum (sosok orang yang ada dalam pemberitaan terkait sebuah video; http://m.tempo/read/news/2014/7/31/078596522/video-WNI-Ajak-Masuk-ISIS-Beredar-di-You-Tube) dan forum-forum kecil lainya. Jejaring inilah yang massif mensosialisasikan Khilafah yang di deklarasikan ISIS melalui media-media propagandanya di dunia maya maupun selebaran. Bahkan juga memakai beragam strategi (uslub), semisal membagikan bantuan beras dengan kemasan berlabel bendera Khilafah, dan membuat pertemuan-pertemuan (multaqo) terbuka di beberapa daerah untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat khususnya dari kalangan aktitifs Islam.
Fenomena ini tentu melahirkan sikap berbeda bagi pemerintah Indonesia.Bagi pro Khilafah adalah impian yang mengejawantah, tapi ancaman bagi Indonesia. Sejauh ini pemerintah melalui Polri dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mengeluarkan status “waspada” dan “mewaspadai” terhadap gerakan pro Khilafah al Bagdady. Lebih-lebih paska ustad ABB menyatakan sikap dukungan dan baiatnya. Bahkan di masyarakat muncul pesan pendek (yang tidak bisa dipertanggungjawabkan) secara berantai menyebar melalui SMS/BBM/WA dan fasilitas lainnya, berisi rencana serangan bom bunuh diri dan aksi-aksi “heroik” lain di Indonesia yang akan dilakukan oleh para pendukung Khalifah al Bagdady.
Dalam perspektif hukum pidana, sikap mendukung dan baiat terhadap Khilafah al Bagdady belum ditemukan pasal yang bisa dijangkaukan. Namun bukan tidak mungkin bagi Polri melalui Densus-88 dan BNPT kasus ini akan di tarik ke isu terorisme. Meski dalam kontek politik keamanan Indonesia, penanganan fenomena dukungan WNI terhadap Khilafah bukan tangung jawab dan domain sepenuhnya BNPT atau Densus-88. Namun karena mereka menemukan relevansi secara vulgar, melalui ustad ABB yang sekarang menjadi icon dan representasi pendukung Khilafah al Bagdady di Indonesia maka secara otomatis narasi dan asumsi “terorisme jaringan global” eksis di Indonesia mendapatkan legitimiasinya.
Dukungan terhadap Khilafah oleh sebagian WNI bisa dipastikan tidak berbanding lurus dengan sikap yang akan di ambil oleh pemerintah Indonesia. Yang mendasari adalah prinsip ideologi dan konsepsi politik yang dianut masing-masing entitas (non Govermant Vs Govermant) berbeda. Sikap apriori oleh masing-masing pihak sangat mungkin melahirkan “drama” baru tentang cara mereduksi atau menganulir ancaman keamanan bagi Indonesia. Bagi komponen pro Khilafah cepat atau lambat akan menghadapi tantangan dan ancaman terhadap eksistensinya.
Sayup-sayup muncul gagasan, pemerintah Indonesia jika tidak sepakat dengan para pendukung Khilafah tinggal “menghijrahkan” saja mereka ke wilayah kekuasaan Khilafah. Sangat mungkin Ini akan menjadi gayung bersambut bagi para pendukung Khilafah. Atau mungkin gagasan-gagasan “ekstra ordinary” lainnya perlu dirumuskan sebagai sebuah solusi.
Diluar itu semua, fenomena Khilafah al Bagdady di panggung Indonesia faktanya telah menghasilkan PR (pekerjaan rumah) bagi pendukungnya sendiri, PR (pekerjaan rumah) bagi pemerintah Indonesia, demikian juga bagi seluruh komponen pergerakan Islam baik mereka yang pro maupun yang kontra. Pendulum perjuangan umat Islam bergerak pelan namun pasti, mencari titik keseimbangan determinasi baik dalam kontek politik global maupun regional yang interpendensi. Terakhir yang perlu di cermati, isu Khilafah yang di deklarasikan ISIS akankah menjadi babak baru untuk memporak porandakan ukhuwah Islamiyah umat Islam di Indonesia dan menjadi celah untuk melemahkan perjuangan komponen pergerakan Islam. Atau isu Khilafah di blow-up menjadi komoditas untuk kepentingan politik opurtunis mengalihkan isu kisruhnya pilpres di Indonesia.Wallau a’lam bis showab.
(azm/arrahmah.com)