JUBAH SANG KHALIFAH
Oleh:
Syaikh Umar bin Mahmud Abu Umar
“Abu Qatadah Al Falishthini”
–Semoga Allah segera membebaskan beliau–
Ramadhan 1435 – Juli 2014
(Arrahmah.com) – Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam kepada Muhammad Al Amin, kepada keluarganya, dan kepada para sahabatnya, amm ba’du:
Telah tersiar dan tersebar apa yang diumumkan oleh Jamaah dan Tanzhim Daulah Islamiyah di Iraq dan Syam berupa pengumuman bahwa mereka beserta pemimpin mereka adalah jamaatul muslimin, atau al khilafah al islamiyah al ‘uzhma.
Mereka mengajak kepada seluruh kaum muslimin di seluruh dunia untuk membai’at amir mereka sebagai khalifah, yang mana sebelumnya sudah ada yang menyampaikan kepada saya bahwa mereka akan melakukannya, yaitu para ikhwah di Syam, dan mereka telah meminta berulang kali kepada saya untuk menulis pandangan syariat tentang apa yang mereka kerjakan, sebagaimana Syaikh kami yang penyabar Abu Muhammad Al Maqdisi juga telah meminta kepada saya untuk menulis suatu makalah, ketika beliau yakin bahwa Tanzhim (Daulah) telah menolak ajakan perdamaian antara mereka dengan Jabhah Nushrah, dengan alasan bahwa mereka adalah negara dan tidak ada di dalam agama maupun sejarah ada negara yang duduk bersama dengan pihak lain untuk berdamai (klaim dusta dan menyimpang mereka).
Saya juga telah mengatakan kepada para ikhwah yang datang menjenguk saya, bahwa Tanzhim Daulah telah terjebak pada dua penyimpangan :
PERTAMA: Di antara bentuk ingusannya Jamaah Khilafah, dan ia adalah jamaah yang terbentuk di atas kebodohan, termasuk bentuk keburukannya adalah ketika mereka mengklaim bahwa hakekat kekhilafahan (imamah al ‘uzhma) adalah jika ada satu orang dari umat Islam yang membai’at satu orang lain dari kalangan ahlul bait untuk dijadikan pemangku gelar yang agung ini (khalifah).
Saya telah berbicara panjang lebar dengan mereka, dimana bahwa setiap orang yang baru belajar agama, maka akan mengetahui kebodohan mereka ini, apalagi para penuntut ilmu yang mumpuni keilmuannya, maka ia faham dan memiliki bashirah (ketajaman pandangan) akan bodohnya klaim semacam ini.
Ketika itu perkataan terakhir yang saya tujukan kepada sang khalifah abal-abal ini adalah : Sesungguhnya cara kalian ini berarti menggabungkan kesesatan rafidhah dan khawarij sekaligus. Kesesatan yang kalian ambil dari rafidhah adalah dari sisi pemberian gelar imam kepada orang yang tidak diketahui keberadaannya, yaitu imam mereka yang kedua belas, Muhammad bin Al Hasan Al Askari. Para ulama telah banyak membahas panjang lebar tentang makna yang timpang (dari keyakinan kaum rafidhah – red.) ini.
Sedangkan bagi siapa saja yang memperhatikan perkataan Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhajus Sunnah An Nabawiyah, yaitu ketika beliau memberikan pengantar tentang pembahasan makna al imamah menurut para cendikiawan Islam dan kalangan ahlus sunnah, maka ia akan mendapati kecacatan makna imamah (menurut rafidhah), baik secara syar’i maupun akal.
Saya juga mengatakan kepada mereka, bahwa hakekat (kebenaran) menurut pandangan universal adalah sesuainya kata-kata dengan makna yang sesungguhnya, begitu juga hakekat syariat. Karenanya kekhilafahan itu adalah istilah yang memiliki hakekat, bukan istilah yang maknanya tidak masuk akal, yang disematkan pada sesuatu yang nihil, lalu mereka jadikan itu sebagai hakekat syariat sebagaimana yang mereka klaim, dan mereka membantah bahwa ini –syarat-syarat imamah– belum ditetapkan oleh syariat.
Dalih yang sering kali mereka andalkan adalah hadits Nabi Muhammad SAW: “Setiap syarat yang bukan dari Kitab Allah adalah batil”, dan saya telah berusaha untuk menjelaskan hakekat dari kata khilafah, imamah dan imarah kepada mereka. Dan hakekat-hakekat dari kata-kata itu adalah ketika tujuannya (tujuan khilafah –red.) telah berhasil diwujudkan. Jika makna-mana ini tidak ada , maka hilang pula sebutan syar’inya, dan ini adalah pernyataan yang bahkan anak kecil sekalipun faham, namun jawaban mereka selalu: “ini adalah filsafat, dan kami tidak memahaminya”.
Saya telah banyak duduk bermajelis dengan mereka, kebanyakan niat mereka dari bermajlis tersebut adalah ingin mendapatkan rekomendasi saya atas keyakinan yang mereka anut. Yang saya berulang kali tekankan kepada mereka adalah : “Sesungguhnya kalian tidaklah terhitung sebagai jamaatul muslimin, namun tetap sebagai jamaah minal muslimin –ini jika kita berprasangka baik pada mereka. Ketika kalian menamakan khayalan kalian yakni gelar syar’i yang diberkahi (khilafah) maka kalian dalam hal ini mengikuti manhaj kaum rafidhah. Mereka(rafidhah) adalah golongan yang paling banyak berkhayal dalam pembahasan ini, yaitu dengan menamakan orang yang tidak ada wujudnya sebagai seorang imam, kemudian mengaitkan hukum-hukum imamah kepadanya, bahkan lebih dari itu”.
Adapun kesamaan kalian dengan khawarij adalah ketika kalian melakukan kejahatan terbesar yang pernah mereka lakukan, yaitu kalian mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan kalian dalam masalah ini. Khalifah abal-abal beserta ahli fiqih mereka yang terkemuka telah memberikan pernyataan kepada saya bahwa memang mereka menganut keyakinan yang demikian, yaitu mengkafirkan orang yang tidak berbai’at kepada mereka, namun mereka berkata:
“Sesungguhnya keyakinan kami tadi telah berubah –khalifah dan ahli fiqih macam apa?!– meskipun ada sebagian dari kami yang masih berkeyakinan seperti itu, dan kami tidak menjadikan hal tersebut sebagai landasan loyalitas (wala’)”.
Menurut mereka ini adalah pemasalahan khilafiyah yang boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya. Walaupun ini adalah keyakinan mereka yang lalu, diantara mereka ada yang terjerumus dalam banyak kebodohan, berupa menghalalkan darah dan harta. Di sini bukan tempatnya untuk menbahas sejarah kejahatan yang mereka akui sendiri bukan dari orang lain.
Akhir dari pergumulanku dengan sang khalifah abal-abal dan ahli fiqihnya adalah kita akan tetap menjaga persahabatan yang baik meski aku tetap pada penjelasanku tentang siapa mereka seperti yang sudah saya jelaskan, dan saya tahu ada beberapa pengikutnya yang menjatuhkan vonis kafir kepada saya, ada juga yang mengumumkan status hukum saya, dan meneriakkannya di masjid-masjid, hingga ada salah satu dari syaikh kami, yaitu Syaikh Abu Iyadh yang berinisiatif mengadakan pertemuan antara saya dengan dirinya –ia adalah orang yang dihormati di kalangan mereka– karena ia sangat menghindari untuk bertemu dengan saya dan mengadakan dialog.
Ketika saya tiba di rumah Syaikh Abu Iyadh, ia tidak tahu keberadaan saya hingga saya mendekati dirinya, maka serta-merta ia berusaha keluar dari rumah, namun oleh Syaikh Abu Iyadh ia ditahan dan diperintahkan untuk duduk. Ketika mulai ada dialog dengannya –Syaikh Abu Iyadh menyaksikannya– tidak ada yang ia katakan kecuali hanya mengulang-ulangi perkataan bahwa diri saya kafir.
Ketika saya tanyakan kepadanya beberapa permasalahan pokok di dalam bab takfir, saya tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali ketidaktahuannya akan permasalahan-permasalahan tersebut. Ketika ia mulai meneteskan keringat, saya menjadi kasihan kepadanya, maka saya mengizinkan kepada pemilik rumah untuk membiarkannya melarikan diri, dan ia benar-benar melarikan diri.
Alasannya mengkafirkan saya adalah, ia mengatakan bahwa saya membolehkan berhukum dengan hukum selain syariat, itu dikarenakan pada suatu hari saya pernah membahas tentang permasalahan meminta pertolongan untuk membela diri dari kezhaliman, dan ini tidak ada kaitannya dalam permasalahan menerapkan hukum, ini adalah tentang meminta bantuan hukum dalam sebuah konflik atau hal-hal lain, dan ia tidak faham sama sekali dari apa yang saya sampaikan ketika itu. Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi telah mengabarkan kepada saya bahwa orang ini pernah dipenjara oleh Jamaah Daulah karena keberaniannya dalam mengkafirkan orang Islam yang berbeda pendapat dengannya.
Dan ini menurutku menunjukan bahwa jamaah khalifah yang dulu ada di peshawar telah bergabung dengan ISIS dan memiliki pengaruh, di mana saya mengetahui bahwa jamaah khilafah yang dulu menyerukan untuk membai’at imam yang lebih dulu muncul, maka ISIS telah terjangkiti bid’ah berupa ajakan pada kekhalifahan di atas makna yang bathil, akan tetapi mereka tidak menerima adanya seorang khalifah, maksudnya mereka mengambil fikrah dan keyakinan ini dan memanipulasinya pada amir mereka Abu Bakar Al Baghdadi.
Inilah sumber penyimpangan pertama dari jamaah ISIS, dan orang-orang yang berada diluar, baik diluar jamaah maupun diluar negeri mengajak untuk membai’at Al Baghdadi sebagai khalifah, dan ini berhasil jika ditawarkan kepada orang yang memiliki pandangan yang bodoh, ceroboh dan menyimpang.
Makna dari ajakan Jamaah Daulah ini tidak akan terlihat kecuali oleh orang-orang yang meneliti perkataan mereka ketika menolak ajakan perdamaian antara mereka dengan orang yang berselisih dengan mereka, dan syaikh kami Abu Muhammad (Al-Maqdisi) adalah salah seorang yang telah memberikan peringatan kepada mereka akan bahaya dari penyakit ini, dan telah ada pembicaraan melalui surat-menyurat antara beliau dengan mereka, dan sebagian dari penanggung jawab syariat mereka diduga bodoh, karena berkata: “imamah adalah pokok agama ini, ia adalah standar untuk menjatuhkan vonis kafir dan menyatakan keimanan seseorang”.
KEDUA: Sedangkan sumber penyimpangan kedua dari Jamaah Daulah adalah bergabungnya sisa-sisa anggota jamaah tawaquf dan tabayun ( jamaah yang dalam menghukumi keislaman seseorang menunggu di test terlebih dahulu) dan sisa-sisa anggota jamaah ghulat atau yang sering dinamakan jamaah takfir.
Ada beberapa orang dari mereka yang pada awalnya pergi berjihad, dan saya tahu sebagian nama-nama mereka, di mana mereka ini menanamkan pengaruh yang sangat buruk di benak para aktivis sebagaimana kuatnya pengaruh perkataan mereka pada sekelompok pemuda aktivis jihad pendatang baru, yang tiba-tiba berteriak tentang pembahasan agama yang mendalam yang sebelumnya berasal dari jurang kebodohan yang sangat dalam.
Perumpamaan mereka adalah seperti orang-orang ajam yang baru masuk Islam, jika ia di beri petunjuk bertemu dengan ulama ahlu sunnah maka ia akan mendapat petunjuk, namun jika tidak maka kerusakannya akan dasyat, sebagaimana yang telah dikatakan oleh para imam pada zaman dahulu.
Maka dari itu, kalian akan mendapati para pengikut mereka adalah orang-orang bodoh yang baru mulai belajar agama, yang dikarenakan kebodohannya tersebut, ia tidak mampu memahami detail-detail permasalahan agama. Sudah menjadi hal yang maklum bagi orang-orang yang berilmu bahwa merealisasikan hukum-hukum syariat adalah bagian dari permasalahan fiqh yang rumit, bahkan itu adalah hal yang paling rumit menurut ahli fiqh sendiri. Maka bagaimana bisa hukum menentukan kekufuran dan keimanan seseorang atau jamaah diserahkan kepada orang bodoh yang tidak faham tentang hukum air serta tata cara wudhu dan shalat?
Sudah ada banyak orang yang memberitahukan kepada saya bahwa mereka (orang-orang Jamaah Daulah –red.) berhujjah dengan perkataanku untuk menerapkan hukum vonis kafir tehadap individu atau jamaah tertentu, bahkan ada beberapa orang yang mencari pembenaran dengan menggunakan perkataanku untuk berbuat kerusakan, bahwa saya adalah sumber kesesatan mereka. Mereka sudah lupa bahwa dalil syar’i yang mengandung kaedah-kaedah umum dapat dijadikan hujjah bagi semua pihak, sebagaimana kaum khawarij berhujjah dengan menggunakan firman Rabb kita.
Namun terdapat perbedaan antara hidayah dan kesesatan dalam menerapkan kaedah-kaedah umum, istilahnya, syarat-syaratnya dan penghalang-penghalangnya, dan ini adalah bab pembahasan yang mana para ulama berbeda pendapat di dalamnya dan bertingkat-tingkat pula kemampuan masing-masing ulama dalam soal dien dan ilmu dalam masalah ini.
Kesempatan ini bukanlah untuk mengobati hati pendengki dan orang yang iri hati, jika tidak demikian maka akan banyak orang yang angkat bicara. Bagi semua orang yang kenal dekat dengan saya dan membaca tulisan saya dengan teliti akan mengetahui perbedaan antara orang yang berdusta dengan menggunakan nama saya dan hakikat keyakinan saya, sebagaimana semua orang yang mengenalku akan tahu bagaimana kerasnya upaya saya untuk menghindari sikap menggampang-gampangkan dalam mengkafirkan individu atau jamaah tertentu.
Cukuplah saya beritahukan kepada kalian, bahwa saya selalu menghalangi dan mengungkap kebodohan yang terjadi seputar permasalahan ini agar tidak mempengaruhi kalangan aliran jihadis, beserta banyaknya upaya saya untuk memeranginya. Lalu inilah diri saya sekarang, terbelenggu selama hampir 13 tahun di dalam penjara. Dalam perjalanan jihad, sudah banyak orang-orang yang terdahulu dalam menempuh jalannya dan membuka pintunya telah habis, mereka semua telah berpulang keharibaan Rabb mereka sebagai syuhada, dan tidak ada yang tersisa kecuali sedikit, namun mereka mengetahui hakekat dan dasar-dasar dari jalan ini, dan mereka pada umumnya berada di penjara atau sedang dicari-cari.
Di tengah-tengah perjalanan ini, tumbuhlah bibit-bibit kebid’ahan dan kesalahan, para ahli bid’ah dari golongan ekstrimis seperti jamaah khilafah sudah mampu menggaet orang-orang dan para pemuda yang baru keluar dari kubangan kebodohan. Rata-rata mereka adalah wajah-wajah non-arab, dan mereka adalah bahan bakar yang pas bagi sikap ekstrim dan menyimpang, sebagaimana mereka adalah bahan bakar tepat bagi sikap ceroboh dan anti terhadap sikap yang bijaksana, maka dari itu jangan heran jika kita mendengar setiap hari ada saja pengikut baru dari mereka.
Seseorang yang sekiranya ia bebas tentulah dia lebih bisa bersikap obyektif dalam kancah pertempuran, akan tetapi (dalam kondisi terpenjara) kemudian engkau harus menulis sebuah risalah bagi umat yang tidak akan sampai kepada mereka kecuali dengan segenap upaya dan kemampuan, bahkan engkau diperangi agar tidak berbicara dan membiarkan kancah yang ada bagi orang selainmu secara umum, agar orang lain tersbut bebas berbuat degan segala kebodohannya sesuai dengan yang dia inginkan.
Meski demikian kehinaan itu tidak terpisah pada diri orang tersebut di mana dia menuduhmu dengan berbagai penyakit hati yang ada padanya, sementara kamu tahu bahwa dia dengan sikapnya yang seperti itu telah menguntungkan musuh Islam. Musuh selalu memantau sikapnya degan penuh kegirangan dan melihat bahwa sikap ghuluwnya tersebut adalah jalan keluar yang bisa menghadang para pemuda untuk bergabung dengan kafilah jihad, karena kehidupan ini tidak akan lurus kecuali dengan sikap adil dan berlaku baik sebagaimana yang Allah perintahkan.
Maksud saya di sini, bahwa berbagai permintaan yang dikirimkan oleh para ikhwah kepadaku cukup banyak, dan semuanya membawa berbagai kepedihan dan kekhawatiran, dan seseorang tidak mendapati jawaban dari itu semua kecuali air mata dan kata “aduhai sekiranya”, perihalnya sama seperti ucapan penyair :
Aduhai, apakah sedikitpun berfaedah ungkapan aduhai…
Aduhai sekiranya masa muda itu di jual belikan kemudian aku membelinya…
Maka dia –kalapun bisa menulis– masih berpikir bagaimana mengirimnya, kalau bisa mengirimkanya bagaimana menjawab berbagai penanya dan mereka yang tak sependapat? Beginilah kondisinya di hadapan para ikhwah yang bertutur nasehat : “Jangan terlalu panjang engkau menulisnya sehingga kami bisa mendiktekannya, dan segala puji hanya milik Allah”.
Sedangkan mengenai pembahasan imamah al ‘uzhma (khilafah), maka setiap orang harus mengetahui bahwa persoalan ini bukanlah hal yang baru bagi kalangan ahlus sunnah, para ulama terdahulu telah banyak membahas hukum-hukum dan konsep-konsepnya. Di dalam sejarah Islam sendiri telah banyak terjadi peristiwa besar yang bermacam-macam, dan itu semua telah banyak ditulis oleh para ulama.
Kekhilafahan kaum sunni telah banyak dihadapkan dengan pemikiran ahli bid’ah dan kesesatan, ini terus berlanjut sehingga ranah pembahasan khilafah telah dianggap sebagai sebuah rumusan yang paten dan teruji.
Oleh karena itu jika ada orang yang mengatakan tentang hal ini maka sebenarnya ia adalah rumusan baru dari kata-kata yang lama, atau ia hanyalah mengambil ketentuan-ketentuan yang lama untuk diterapkan dalam kondisi sekarang. Inilah puncak yang bisa di usahakan oleh orang-orang sekarang yang menulis pada bahasan ini.
Statemen ini saya katakan, karena saya telah memerinci sampai hal-hal yang tersembunyi dari prinsip-prinsip bid’ah yang muncul belakangan ini yang sedang saya bahas dan kemudian menjangkiti juga Jamaah Daulah Iraq dan Syam, mereka mengklaim telah mendapatkan petunjuk yang tidak didapatkan oleh pihak selain mereka, dan menurut mereka kerusakan jamaah-jamaah secara umum dan jamaah-jamaah jihad secara khusus adalah disebabkan hilangnya esensi dari makna khilafah dalam visi jamaah-jamaah tersebut.
Dan kini di hadapan saya telah disuguhkan dengan istilah “Khalifah” yang dahulu sudah pernah aku dengar di Afghanistan, hal serupa yang hari ini dikatakan oleh orang bodoh yang menjadi juru bicara resmi Jamaah Daulah Islamiyah, Al-‘Adnani, ia berkata dalam pernyataannya untuk memberikan bantahan kepada Syaikh Ayman Azh Zhawahiri, ia mengatakan kepada beliau bahwa solusi dari perselisihan yang terjadi di antara keduanya adalah mendeklarasikan khilafah. Ia juga menegaskan arti dari hal ini dalam pernyataan deklarasi khilafah, yaitu dengan menjadikan deklarasi ini sebagai pemenuh harapan kaum muslimin, seakan-akan seluruh harapan sudah dapat dipenuhi.
Saya memberitahukan kepada saudara-saudaraku yang mau mendengarkan nasehat dan ingin mencari kebenaran, bahwasanya deklarasi ini tidak merubah kondisi perlawanan terhadap kejahiliyahan. Kekuatan Jamaah Al Baghdadi dan Al-‘Adnani beserta pengikut mereka berdua tidak akan bertambah, dan barisan jahiliyah tidak akan melemah, jamaah-jamaah jihad secara umum berada dalam satu alur, bahkan kebanyakan dari mereka berada di bawah satu kepemimpinan, yaitu berada di bawah sumpah setia kepada sang Doktor (Ayman Azh Zhawahiri, –red).
Maka masuknya nama khilafah tetap tidak akan merubah kondisi peperangan melawan musuh-musuh agama, bahkan ia justru membawa petaka, ia akan menyeret para pelaku jihad ke dalam perang internal, dan seruan khilafah ini pada hakekatnya adalah perlawanan terhadap jamaah-jamaah jihad yang bergerak di seluruh dunia, mulai dari Yaman, Somalia, Aljazair, Kaukasus, Afghanistan, Mesir, dan seluruh negeri Syam, dan bukanlah kepada orang-orang awam dari kaum muslimin, karena mereka tidak peduli dengan deklarasi ini, bagi mereka deklarasi ini adalah bagian dari komoditas kehidupan belaka.
Dan petaka tersebut benar-benar ada, ia adalah bagian dari peperangan melawan imarah dan qiyadah, dan ia adalah petaka terburuk dalam sejarah umat Islam. Setiap orang Islam memiliki hak untuk membanggakan setiap aspek dari sejarah Islam, namun ketika mereka sampai dalam pembahasan sejarah imamah, mereka justru melihat kegelapan, kebencian, pertumpahan darah dan banyak lagi hal-hal yang sebagian besar adalah hal-hal keduniaan, dan sedikit hal-hal yang bernuansa akhirat.
Apa yang dilakukan oleh Jamaah Daulah adalah menjadikan perselisihan yang terjadi antara dirinya dengan lawannya dari para pemimpin jamaah-jamaah jihad – atau jamaah Al Qaeda– sebagai pembenaran untuk menumpahkan darah yang terlarang. Kita akan mendapati hal ini dalam fiqhnya para pembangkang, kita akan mendapatinya dalam pernyataan si orang yang sangat bodoh ini, yaitu Al-‘Adnani, kita akan mendapati hal ini ketika ia mengancam akan menumpahkan darah dan membunuh orang yang tidak tunduk kepadanya, bahkan kita akan mendapati anjing-anjing neraka itu mengkafirkan orang yang menyelisihi imam dan amir mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh para pengikut jamaah khilafah.
Sesungguhnya apa yang diinginkan oleh Al Baghdadi jika ia benar-benar pemegang kendali dalam tanzhimnya –saya ragu apakah benar ia yang memegang kendali– karena ada banyak isyarat yang menunjukkan bahwa hubungan antara Al Baghdadi dengan orang-orang di baliknya adalah seperti hubungan Muhammad bin Abdullah Al Qahthani (Al Mahdi Palsu) dengan Juhaiman, yaitu adanya kelemahan psikologis sehingga kepemimpinannya seperti disetir dengan orang-orang semacam Al-‘Adnani dan selain dirinya, dan saya mendapatkan kabar tentang diri mereka.
Kembali lagi, apa yang diinginkan oleh Al Baghdadi dengan mendeklarasikan kekhilafahan adalah memutus perselisihan serius yang terjadi antara mereka dengan Jabhah Nushrah dalam hal kewenangan berjihad di negeri Syam, khususnya setelah kedustaan mereka dengan menyatakan bahwa mereka tidak ada ikatan bai’at dengan Dr. Ayman terbongkar, dan Al Baghdadi hanya terdiam tak dapat menjawab dan membantah.
Sebagai penggantinya muncullah orang-orang yang ahli dalam menghina dan mencela, karena jamaah ini tidak memiliki para penuntut ilmu syar’i yang mampu menyampaikan pandangan syariat dalam pembahasan ini. Kalaupun ada yang berbicara, maka ia justru mendatangkan musibah dan bencana, ia hanya dapat melengking dan mengancam untuk membunuh dan menumpahkan darah.
Jalan pintas yang mereka maksudkan untuk memecahkan masalah dan mereka klaim untuk mewujudkan mimpi kaum muslimin ini justru akan menjadikan jurang perselisihan bertambah dalam, dan menjadikan pertumpahan darah semakin besar. Dengan ini, engkau harus tahu asal hukumnya dalam agama Allah.
Jika engkau tidak mampu mengetahui masalah hukum sesuatu, maka lihatlah hasil yang diakibatkan darinya. Ingatlah! Darah yang akan ditumpahkan adalah darah para mujahidin, bukan darah orang-orang murtad dan zindiq. Bagi para pemikir, ahli agama dan orang-orang yang bijaksana, hal ini adalah sangat penting, yaitu berusaha untuk bersepakat dalam satu hal, lalu menjadikan hal tersebut berada di atas landasan kesepakatan itu, bukannya bergerak berdasarkan doktrin yang menyelisihi pedoman para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana yang akan saya jelaskan nanti.
Cara terbaik untuk mewujudkan kesepakatan dalam bermasyarakat baik ditimbang dari sisi agama, akhlak, ketaqwaan maupun keilmuan, yaitu cara yang banyak orang telah mengajak untuk melakukannya adalah Tahkim Syariat.
Namun mereka merasa sombong, maka mereka menolaknya, mereka membesar-besarkan diri mereka dengan berkata bahwa tanzhim mereka adalah negara, tidak pantas untuk duduk dengan jamaah-jamaah yang lebih kecil dalam majelis tahkim dan pengadilan, lalu para penipu dari mereka yang mengenakan baju keilmuan palsu mulai mencari pembenaran dengan merujuk kepada sejarah Islam, lalu mengatakan bahwa tidak ada sejarahnya sebuah negara duduk di majelis tahkim dengan tanzhim.
Jika saja mereka membaca firman Allah: “Dan jika kedua kelompok dari orang-orang beriman berperang…” [Qs. Al Hujurat: 9] dan tafsirnya dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, pastilah mereka tidak akan membuat kedustaan semacam ini untuk mendustakan Al-Quran dan As Sunnah. Jika saja mereka membaca sejarah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, pastilah mereka akan melihat bagaimana Rasulullah menerima putusan hukum Saad bin Muadz dalam tahkim pada saat perang Yahudi Bani Quraizhah.
Jika saja mereka mengkaji sejarah, pastilah mereka akan melihat bagaimana Khalifah Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu menerima putusan tahkim antara dirinya dengan Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi mereka adalah para pakar syariat tanzhim yang menyimpang karena kebodohan mereka, sehingga apa yang mereka sampaikan adalah bencana yang besar.
***
Yang diminta dari seseorang yang mencurahkan tenaganya untuk berjuang menerapkan syariat dan menegakkan agama Allah bukanlah mengumumkan bahwa cita-cita terbesarnya adalah mengembalikan kekhilafahan ke negeri-negeri kaum muslimin, karena tidak ada yang akan mengingkari tuntutan ini kecuali orang yang sesat atau orang yang membangkang terhadap agama Allah.
Yang kita bicarakan bukanlah tentang dalil-dalil syar’i tentang wajibnya imamah dan khilafah, karena ia adalah hal yang telah disepakati sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab fiqh dan siyasah syariyyah.
Begitu juga yang diminta dari dirinya adalah bukan berteriak ketika ia mengumumkan tentang apa yang terjadi sekarang ini tidaklah sesuai dengan keinginannya, tidak sesuai dengan apa yang ia ketahui dari perkataan para fuqaha dan ulama, tidak sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, yaitu perpecahan adalah hal yang tercela, dan tidak boleh ada dua imam dipilih dalam satu waktu, sedangkan beberapa ulama terdahulu dan juga kontemporer yang membolehkan ada dua imam dalam satu waktu maka mereka telah salah.
Akan tetapi agar ia mengetahui bahwa jamaah ini –Jamaah Daulah– adalah jamaah yang menyempal dari barisan, dan menciptakan perpecahan barisan mujahidin, padahal penulis tulisan ini (maksudnya Abu Qatadah sendiri –red.) memandang bahwa menyempalnya mereka adalah sebuah kenikmatan besar dan rahmat dari Allah bagi kelompok-kelompok jihad. Untuk menjelaskannya, maka saya katakan:
Pergerakan jihad telah tumbuh dengan kondisi yang luar biasa, para pemimpinnya menempuh jalan yang panjang di dalamnya, di antara mereka ada yang telah berpulang ke sisi Rabbnya, ada juga yang dipenjara. Orang-orang berilmu yang menyelisihi mereka tidak bersikap baik terhadap mereka, atau tidak menampakkan kecintaan, kelemahlembutan dan sikap yang baik, bahkan bersama musuh-musuh Islam mereka memusuhi para qaadah (pemimpin) jihad ini dengan berbagai cara, dengan cara yang hak, bathil, syubhat dan berbagai propaganda.
Maka kedua belah pihak yang bertikai hatinya menjadi keras kering, dan jalan yang dapat menghubungkan antara keduanya menjadi tertutup. Akibatnya para mujahidin memandang orang-orang yang berilmu yang berselisih sebagai orang-orang munafik yang menjual agama mereka kepada barat dan para penguasa, dan sebaliknya para ahli ilmu memandang mereka sebagai orang yang tidak memiliki kebenaran sedikit pun.
Obrolan yang terjadi pun berubah bagaikan dua orang yang ada di dua lembah yang masing-masing berteriak, ia tidak dapat mendengar perkataan kecuali perkataan dirinya saja. Dalam kondisi yang luar biasa ini, mulai ada penambahan-penambahan, dan mulai muncul penyimpangan-penyimpangan, karena orang-orang awam tidak akan bisa memahami dengan baik kecuali perkara-perkara yang umum, dan inilah kadar kemampuan mereka.
Jalan ini adalah jalan yang paling berbahaya, karena ia adalah jalan darah dan nyawa, keburukan dan kebaikan dapat masuk secara bersamaan dan bercampur bedanya tipis sekali. Berjihad di jalan Allah itu adalah puncak dari aktifitas manusia dengan berbagai keragamannya, barangsiapa yang membaca sejarah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka ia akan menyaksikan permasalahan-permasalahan besar itu muncul dan terjadi di berbagai ghazwah dan sariyah.
Orang-orang Islam pada hari ini banyak yang menyangka bahwa banyak hal tentang agama Islam yang dapat kita ungkap yang itu belum pernah diungkap oleh orang-orang terdahulu, dan ini adalah kecenderungan yang terjadi di kalangan mujahidin aliran salafi jihadi pendatang baru. Dampaknya adalah mereka tidak lagi mempelajari ilmu, baik itu ilmu yang dibaca maupun ilmu yang didengarkan.
Ilmu yang dibaca adalah ilmu yang berasal dari zaman dahulu, sedangkan yang didengarkan itu adalah ilmu yang ada pada saat ini. Akibatnya aliran jihadis mulai dimasuki asap (ketidakjelasan –red.), yaitu lingkungan jihad indentik dengan membunuh dan berperang, namun jika di dalamnya tidak ada ulama, maka suara yang akan lebih banyak terdengar dari lingkungan ini adalah suara-suara ghuluw.
Barangsiapa yang mengetahui peristiwa penuh pelajaran di Aljazair, maka ia akan mengetahui hal ini secara pasti, dan pada hari ini kita mendengarnya ada pada suara Al-‘Adnani dan orang-orang semisal dengannya.
Sebagaimana kami juga mengetahui bahwa panjangnya perjalanan dan terjadinya pergantian zaman akan menimbulkan penyakit dalam diri para penempuh perjalanan tersebut. Dan di antara sunnatullah adalah terjadinya fitnah di dalam tubuh jamaah dan umat, gejala-gejala tersebut akan terus merintangi perjalanan, maka terjadilah apa yang telah terjadi, khususnya dalam permasalahan ghuluw, orang-orang yang ghuluw mendengarkan perkataan para penempuh jalan tanpa memahami dan meneliti.
Fitnah-fitnah ini datang untuk menguji manusia, ia adalah cobaan yang akan memisahkan manusia sesuai dengan kedudukan mereka. Tebusan yang harus dibayarkan akibat perpisahan ini jumlahnya besar, dan ia adalah hal yang urgen. Dengan karunia Allah saya tidak merasa bersedih dengan apa yang sedang terjadi, bahkan saya justru melihat ada hikmah Allah di dalam cobaan ini, yaitu perjalanan ini sedang dibersihkan dari berbagai macam keganjilan, kotoran dan penyimpangan.
Sebelumnya masyarakat tidak dapat membedakan antara kaum ekstrimis dengan kaum jihadis karena urusan kita bagi orang-orang awam bukanlah hal yang penting. Namun pada hari ini perbedaan tersebut nampak jelas terlihat, dan setiap orang dapat berterima kasih kepada Allah karena ia tidak terjerumus ke dalam kejahatan, kebid’ahan dan penyimpangan, walaupun anggotanya banyak dan jumlahnya mayoritas.
Al-Quran telah mengajarkan kepada kita tentang dasar-dasar Al Wujud (keberadaan) dan Al Ittiba’. Al Wujud itu dijelaskan di dalam firman Allah Ta’ala:
“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.” [Qs. Ar Ra’d: 17].
Karenanya hanya kebenaranlah yang boleh menetap, walaupun orang-orang terombang-ambing di dalam kebatilan dan hal-hal yang superior, namun ia tidak terpengaruh dengan euforia dan lonjakan sesaat. Karena tidak ada yang tertipu dengannya kecuali anak kecil yang memang selalu ingin sesuatu yang banyak.
Sedangkan Al Ittiba’ adalah sebagaimana yang tercantum di dalam firman Allah sebagai berikut:
“Katakanlah: “tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu”[Qs. Al Maidah: 100].
Alhamdulillah saya telah memutuskan sejak awal untuk tidak tertipu dengan kelompok ini beserta pemahaman mereka walaupun anggotanya menjadi semakin banyak.
Dan sekarang tibalah saatnya penyaringan dan ujian, ia akan mendatangkan perpecahan serta akan melemahkan, namun ia akan memiliki dampak yang baik –insya Allah– namun syaratnya adalah sabar, teguh dan mamahami kondisi.
Lihatlah tumpukan kesalahan yang berkumpul di dalam aliran ini, orang yang mengikuti hawa nafsunya akan mendekati tumpukan tersebut hingga antara dirinya dengan saudara-saudaranya akan ada kerenggangan, selanjutnya ia akan mencari-cari kesempatan untuk mencela dan mengeluarkan uneg-uneg yang ada pada dirinya.
Orang yang memiliki ambisi untuk berkuasa terganjal jalannya, sedangkan orang yang terjangkiti dengan kebid’ahan tidak lekas disembuhkan dengan ilmu, dan bagi mereka orang-orang seperti ini dapat dimanfaatkan untuk mencapai kekuasaan dan menguatkan barisan. Dan jika niat awal dari pengumuman ini adalah karena kecenderungan terhadap hawa nafsu (yang saya maksud adalah pengumuman mereka bahwa Jabhah Nushrah adalah kepanjangan tangan mereka dan cabang mereka di Suriah) bagaimana bisa itu terus dilanjutkan?
Bagi para analis, mereka dapat melihat perkembangan hawa nafsu tadi di dalam rentetan kejadian, mulai dari pertama hingga pada hari ini, bagaimana bisa secapat itu ia tumbuh, hingga menjadi seperti sekarang ini, yaitu deklarasi khilafah yang bid’ah.
Sungguh, terkadang fitnah dapat menjadi anugerah, Wal Hamdu Lillahi Rabbil Alamin.
***
Saya akan membahas tentang pembahasan Imamah Al ‘Uzhma dalam fiqh Islam dari sudut pandang yang tidak seperti biasanya. Saya ingin menyusun pembahasan yang dapat menjawab pertanyaan orang banyak, dan juga sekaligus akan menjelaskan penyimpangan yang dilakukan oleh orang yang mencari batu lompatan untuk meraih Imamah Al ‘Uzhma karena kebodohannya, maka saya katakan:
PERTAMA
-
Sesuatu itu dapat menjadi bernilai ketika ia dapat menjalankan kewajiban-kewajiban dan ia bermakna. Kata-kata khilafah adalah istilah yang memiliki realita tersendiri, dan ia dapat diketahui melalui tugas-tugas yang menjadi kewajibannya. Setiap kali ada kemangkiran dari tugas maka realitas yang diraih menjadi semakin hilang, ini adalah sebuah hal yang dapat diterima oleh naluri setiap orang. Jika seseorang dikatakan dengan selain hal ini, kemudian ia menerimanya, maka ia telah menyalahi nalurinya.
Imamah Al ‘Uzhma dan kekhilafahan adalah sesuatu yang memiliki wujud dan dapat diketahui maknanya, ia bukanlah bagian dari ibadah mahdhah (personal) seperti shalat, dzikir, haji dan puasa, namun ia memiliki makna sebagaimana yang dikatakan oleh semua ahli fiqh, “Pekerjaan imamah itu bergantung dengan kemaslahatan rakyat”. Maksudnya adalah imamah memiliki pekerjaan-pekerjaan yang sekaligus menjadi tugasnya. Jika tugas-tugasnya tidak dilakukan maka hilanglah eksistensinya.
Landasannya adalah kaedah fiqh berikut: “Sesuatu yang dilarang oleh syariat karena dzatnya, maka larangan itu tidak diterapkan pada sebagiannya saja”, maksudnya adalah: apa yang tidak terbagi yaitu hilangnya dzat syar’iyah, bagi siapa yang memahaminya, maka ia akan tahu bahwa hilangnya tugas-tugas imamah dari si imam yang telah dibai’at berarti menunjukkan hilangnya arti dari keimamahan yang sah sesuai syariat.
Ini adalah jawaban ringkas yang ditujukan kepada orang yang bodoh, lalu ia mengklaim bahwa At Tamkin (memiliki kekuasaan) adalah syarat yang batil dalam syarat-syarat mendirikan khilafah, dan jawaban yang sifatnya dialog kepada orang yang menguasai ilmu fiqh dan ushul fiqh, bukan kepada orang yang tidak menguasainya.
-
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, orang berperang di belakangnya dan belindung kepadanya”. Perisai ini haruslah ada yang menjadi alat bantunya, alat bantu tersebut adalah apa yang dinamakan Asy Syaukah (kekuatan) dan At Tamkin(kekuasaan). Di dalam hadits ini disebutkan dua hal yang dapat mewujudkan arti seorang pemimpin yaitu: “orang berperang di belakangnya” dan “berlindung kepadanya”.
Ini sesuai dengan kaidah fiqh “Al Gharmu Bil Ghunmi” (“Tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil”). Ia ditaati berdasarkan perkataan tersebut; orang berperang di belakangnya, perintahnya ditaati, dan setelah itu sebagai timbal baliknya orang-orang memiliki hak atas dirinya untuk mendapatkan perlindungan darinya. Dan tidak ada yang dapat melindungi kecuali orang yang memiliki arti seorang pemimpin di atas, ini sudah menjadi maklum.
-
Sudah menjadi hal yang maklum di dalam fiqh syariat, yang juga telah dijabarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam mukadimah Minhajus Sunnah, imamah itu adalah akad yang dilakukan antara umat dengan imam. Arti akad menurut syariat sendiri sebenarnya adalah harus ada dua orang yang melakukan akad, objek akad, dan shighat (lafal) akad, ini adalah rukun-rukun akad sebagaimana yang tertulis di dalam buku-buku ulama kita dan sebagaimana yang dipelajari oleh para siswa. Maka apabila ada rukun yang hilang dari akad, maka batallah akad tersebut, tidak ada yang perlu saya tambahkan dalam pembahasan ini.
-
Ibnu Taimiyah menunjukkan di dalam keseluruhan perkataannya, bahwa imamah bukanlah jabatan yang ditentukan oleh Allah, akan tetapi ia adalah bentukan manusia. Kalau saja Rasulullah SAW mewasiatkan imamah kepada seseorang, kemudian umat menyelisihinya dan membai’at orang selainnya, maka yang layak jadi imam adalah orang yang di bai’at oleh umat bukan yang di wasiatkan oleh nabi, meski umat berdosa karena menyelisihi wasiat beliau.
Karena maksud dari imarah itu terelisasi pada diri orang yang di bai’at tersebut bukan pada orang selain dia. Ini menjelaskan makna ungkapan para ulama bahwa khalifah itu adalah produk manusia, maksudnya ia adalah akad dalam Islam sebagaimana akad-akad lainnya yang terjadi atas dasar kerelaan, yang mesti memiliki syarat-syarat dan tujuan, karena jika tidak maka itu akan hanya tinggal sebatas nama.
Barang siapa yang membuat akad dengan seorang wanita dengan syarat tidak digauli maka akan lenyap maksud nikah. Dan akad tersebut hanya tinggalah akad yang tidak ada nilainya. Dan ini di antara makna ucapan para ahli ushul fiqih : “Sesuatu yang keluar dari makna dan tidak sah kecuali dengannya”, juga makna ucapan mereka : “Sesuatu yang di larang dalam syariat itu seperti tidak ada wujudnya”.
-
Objek akad dari imamah adalah menegakkan hukum, melindungi wilayah, berdakwah kepada Allah, dan berjihad. Itu semua adalah tugas-tugas dari akad ini, dan ia tidak akan dapat direalisasikan kecuali dengan alat bantunya yang bernama persyaratan-persyaratan imamah, namun ini diingkari oleh orang-orang bodoh tersebut.
-
Hadits “Innama Al Imamu Junnatun” : “Sesungguhnya imam itu laksana perisai” adalah sama dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Al Hajju Arafatun” : “Haji itu adalah wuquf di Arafah”. Kata-kata “Innama” itu berfungsi sebagai “Adatu hashrin wa qashrin” (huruf yang berfungsi untuk membatasi suatu masalah).
Jadi ketika orang yang dibai’at tidak mampu untuk mewujudkan perisai atau penjagaan karena ia tidak memiliki alat bantunya atau karena keterbatasan kemampuannya, maka sifat keimamahan hilang dari dirinya.
Imamah yang dimaksudkan di sini adalah yang memiliki arti secara khusus: sistem perpolitikan menurut anggapan kalangan kontemporer.
-
Sedangkan keharusan untuk melakukan bai’at imamah dengan ridha, maka dalilnya adalah perkataan Al Faruq, Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu: “Maka barangsiapa membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, niscaya orang yang membai’at tersebut dan orang yang dibai’at tersebut tidak boleh diikuti, karena ia telah menjerumuskan mereka berdua untuk dibunuh”.
Maka syarat imamah al ‘uzhma adalah adanya keridhaan, yaitu sebagaimana yang beliau katakan: “…tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin…”. Barangsiapa yang memahami sejarah Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu ketika beliau memberikan bai’atnya kepada Dzun Nuraini (Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu), maka ia akan mengetahui bahwa para sahabat menganggap harus ada keridhaan umat dalam membai’at seorang imam, kisahnya adalah sebagai berikut:
((Di kala mereka telah berkumpul, Abdurrahman menyatakan kesaksian dan berujar; “Amma ba’du. Wahai Ali, saya telah mencermati masalah manusia, dan tak kulihat mereka berpaling dari Ustman, maka janganlah engkau mencari-cari alasan terhadap dirimu)) beliau menjadikan pendapat orang-orang sebagai penentu pilihan, kejadian di atas tertera di dalam Shahih Bukhari.
Sebelumnya Al Faruq telah mengetahui bahwa ada beberapa orang yang merasa keberatan dengan apa yang ia katakan tentang bai’at kepada Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, dan ia berjalan tidak sesuai dengan maknanya, maka Umar langsung menjawabnya:
“Sesungguhnya ia memanglah sementara, dan Allah telah memaafkan dosa-dosa beliau”. Dosa-dosa Ash Shiddiq dihapuskan karena tingginya maqam beliau di hadapan para sahabat lainnya, dan ini adalah realisasi dari sabda Nabi Muhammad SAW: “Allah menolak (selain dia) dan orang-orang mukmin enggan (kekhilafahan untuk selain Abu Bakar)”. [HR. Bukhari No.6677], di dalam diri Abu Bakar terkumpul keridhaan dari Allah dan kemampuan yang ia miliki.
-
Jenis dari akad ini adalah akad wakalah, yaitu umat mewakilkan kepada seseorang untuk menjadi imam agar ia menjalankan pekerjaan imamah dan kepemimpinan. Itu dikarenakan Al-Quran menjadikan penegakan hukum sebagai hal yang wajib dilaksanakan oleh semua orang, sebagaimana yang Allah firmankan sebagai berikut:
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya” [Qs. Al Maidah: 47], namun karena orang yang bekelompok tidak mampu menjalankannya, maka mereka mewakilkan kepada seseorang di antara mereka untuk mewujudkan tujuan. Dengan akad ini, maka sang imam akan memiliki kekuatan yang dapat digunakan untuk menjalankan tugas, umat Islam-lah yang menjadi kekuatannya.
-
Sunnah dari Al Wujud adalah adanya eksistensi orang-orang yang memiliki pengetahuan, mereka adalah orang-orang yang mewakili umat dalam permasalahan dan kebutuhan mereka. Orang-orang ini adalah para ulama, orang-orang yang bijaksana dan orang-orang kuat lainnya. Orang-orang ini adalah anggota majelis syura dan Ahlul Halli wal ‘Aqdi, atau bisa dikatakan bahwa merekalah yang memiliki wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas seluruh umat.
Dari sini dapat diketahui bahwa segala sesuatu yang ada di dalam permasalahan ini adalah milik umat, bukan milik orang lain. Jikalau mereka tidak disetujui sebagai wakil dari sebagian umat, maka baik imam maupun Ahlul Halli wal ‘Aqdi tidak berhak untuk menyandang gelar apapun atas mereka.
Imam tidak berhak menyandang nama, Ahlul Halli wal ‘Aqdi pun tidak berhak, maka seperti inilah ketentuan imamah di dalam agama Allah.
-
Sedangkan apa yang disebutkan di dalam kitab-kitab para fuqaha dari hukum-hukum kontemporer lainnya seperti hukum suara mayoritas misalnya, maka ia tidak dapat diterapkan. Namun jika dengan adanya suara mayoritas kemudian dapat melancarkan tugas imamah, maka ia boleh diterapkan dengan tujuan menghindari fitnah kepemimpinan, karena fitnah tersebut adalah fitnah terbesar yang dapat menumpahkan darah dengan jumlah yang besar pada seluruh pihak, kaum dan negara.
-
Dengan demikian, maka mulai sekarang engkau mampu untuk membedakan antara perkataan dan perbuataan yang benar dengan yang salah. Engkau juga akan tahu akan makna dan hakekat dari nama-nama yang ada di dalam pembahasan ini, sebagaimana engkau juga akan mengetahui khayalan dan kebodohan manusia.
KEDUA
-
Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindung. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” [Qs. Al Anfal: 72]. Dan juga firman Allah: “Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” [Qs. At Taubah: 71]
-
Al-Quran menetapkan dua wilayah kepada orang-orang yang beriman sebagaimana yang dapat engkau saksikan. Yang pertama adalah wilayah keimanan, yaitu terdapat di dalam ayat: “Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…”. Sedangkan wilayah yang kedua adalah wilayah perpolitikan, yaitu yang pada hari ini dinamakan dengan kewarganegaraan.
Kewarganegaraan menurut negara Islam ditetapkan dengan dua syarat; Islam dan hijrah. Dan hijrah memerlukan sebuah syarat, yaitu bai’at. Ayat pertama (Al Anfal: 72) menjelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk meraih wilayah ini, ayat ini juga menetapkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
-
Menetapkan keimanan kepada orang yang belum berhijrah: “…dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah…”
-
Menetapkan wajibnya membantu jihad melawan musuh orang-orang beriman yang belum berhijrah, walaupun mereka masih belum memiliki wilayah politik. Namun dengan syarat bahwa jihad tersebut tidak melanggar janji antara imam yang diajak bicara di dalam ayat ini dengan kaum musyrikin.
-
Menetapkan bolehnya melakukan perjanjian damai dengan kaum musyrikin dengan syarat-syarat yang dapat dilihat di dalam kitab-kitab fiqh, hal ini berdasarkan ayat: “…kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka…”
-
Menetapkan adanya kemungkinan untuk terbentuk kelompok politik di dalam thaifah kaum muslimin, dan ini jelas dinyatakan di dalam ayat pertama, bahwa ayat ini menetapkan bagi kelompok yang berhijrah akan bolehnya melakukan peperangan jika itu diminta, sebagaimana yang tertera di dalam ayat di atas:“(akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama…” dan ini adalah bagian dari pekerjaan imamah, namun Allah membolehkannya juga kepada kelompok yang berada di luar jangkauan kekuasaan imam.
Dalilnya adalah kisah Abu Bashir Radhiyallahu ‘anhu yang terjadi setelah perjanjian Hudaibiyah, dan ini tercantum di dalam Shahih Bukhari: ((Kemudian beliau kembali ke Madinah, kemudian beliau di datangi seorang laki-laki Quraisy. Lalu orang-orang Quraisy mengirimkan utusan untuk mencarinya, kemudian beliau menyerahkannya kepada dua orang. Kemudian kedua orang tersebut keluar dengan membawanya, hingga tatkala mereka sampai di Dzul Hulaifah, mereka singgah dan makan sebagian kurma mereka. Lalu Abu Bashir berkata kepada salah seorang dari mereka; demi Allah, sungguh aku melihat pedangmu ini bagus wahai Fulan. Kemudian orang yang lain menghunusnya dan berkata; “Benar, sungguh aku telah mencobanya”.
Lalu Abu Bashir bekata: “Perlihatkan kepadaku! aku akan melihatnya”. Kemudian orang tersebut menyerahkan pedang tersebut kepadanya, lalu Abu Bashir menebasnya hingga mati, dan yang lain melarikan diri hingga datang ke Madinah, lalu ia memasuki masjid. Kemudian Nabi berkata: “Sungguh orang ini telah melihat rasa takut”.Kemudian orang tersebut berkata: “Demi Allah, sahabatku telah terbunuh, dan aku akan dibunuh”. Lalu Abu Bashir datang dan berkata; “Sungguh Allah telah memenuhi perlindunganmu, anda telah mengembalikanku kepada mereka kemudian Allah menyelamatkanku dari mereka”.
Kemudian Nabi bersabda:“Mengherankan, ia akan mengobarkan api peperangan apabila ia memiliki teman yang menolongnya”. Kemudian tatkala Abu Bashir mendengar hal tersebut maka ia mengerti bahwa beliau akan mengembalikannya kepada mereka. Maka ia keluar hingga sampai di tepi laut, dan Abu Jandal hilang dan bergabung dengan Abu Bashir hingga terkumpul dari mereka sekelompok orang (berjumlah empat puluh atau lebih). Dan demi Allah, tidaklah ada yang mendengar unta milik kafilah Quraisy keluar menuju Syam kecuali mereka akan menghadangnya,membunuh orang-orangnya dan mengambil harta mereka)).
Manfaat yang dapat dipetik dari hadits di atas adalah:
-
Ada sebab-sebab lain yang tidak disebutkan di dalam ayat pertama di atas, dari kemungkinan-kemungkinan adanya pembentukan kelompok politik kaum muslimin, yang dimaksud di sini adalah sekelompok kaum muslimin yang tetap memegang akad yang tidak dibebankan kepada selain mereka, ada Abu Bashir yang memiliki kelompok sendiri selain kelompok penduduk Madinah, mereka menjalankan kepemimpinan mereka sendiri dan mereka berjihad.
-
Ibnu Taimiyah menjadikan hadits ini sebagai dalil dalam makna yang sama pada beberapa fatwanya, di mana pada saat itu terdapat beberapa penguasa muslim yang terikat perjanjian dengan orang-orang kafir, tetapi perjanjian tersebut tidak mengikat kepada setiap penguasa muslim lainnya, ini sekaligus membantah apa yang diklaim oleh beberapa orang dari kalangan kontemporer yang mengatakan bahwa kisah Abu Bashir adalah merupakan peristiwa belaka.
-
Diperbolehkan juga kepada kelompok pertama untuk berkomitmen dengan akad perjanjian yang didalamnya terdapat larangan untuk berperang dengan pihak lain karena faktor agama, sedangkan kelompok kedua maka ia jelas masuk ke dalam ketentuan perjanjian tadi.
-
-
-
Pengelompokan ini sebagaimana diketahui bersama adalah bukan hukum aslinya, ia hanya kejadian darurat. Hukum aslinya adalah sebagaimana firman Allah: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”.
-
Semua itu menetapkan bahwa keharusan kaum muslimin berbai’at dalam setiap waktunya adalah tidak benar. Orang yang mengatakannya adalah sesat jika ia mengatakan bahwa orang yang tidak berbai’at boleh dibunuh, dan ia benar-benar menjadi anjing-anjing neraka jika ia mengkafirkan pelaku perbuatan ini dan menjadikannya sebagai salah satu dari dasar-dasar agama, karena di dalam ayat pertama telah ditetapkan bahwa orang yang tidak berhijrah dan berbai’at masih tetap beriman.
-
Hadits Abdul Qais: “Ketika utusan Abdul Qais datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bertanya kepada mereka: “Kaum manakah ini atau utusan siapakah ini?”. Mereka menjawab: “Rabi’ah!”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Selamat datang wahai para utusan dengan sukarela dan tanpa menyesal”. Para utusan itu berkata: “Ya Rasulullah, kami tidak dapat mendatangimu kecuali di bulan suci, karena antara kami dan engkau ada suku Mudlor yang kafir. Oleh karena itu ajarkanlah kami dengan satu pelajaran yang jelas yang dapat kami amalkan dan dapat kami ajarkan kepada orang-orang di kampung kami, yang dengan begitu kami dapat masuk surga”.
Kemudian mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang minuman, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka dengan empat hal dan melarang dari empat hal, memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah satu-satunya, kemudian bertanya: “Tahukah kalian apa arti beriman kepada Allah satu-satunya?”. Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan: “Persaksian tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengeluarkan seperlima dari harta rampasan perang…”.
Manfaat dari hadits ini adalah:
-
Nabi tidak memerintahkan mereka untuk berhijrah, namun memerintahkan kepada mereka untuk menetap di daerah mereka, ini menunjukkan bahwa hijrah diperintahkan kepada perorangan, yang Allah berkata tentang mereka: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)” [Qs. At Taubah: 97], jika seseorang mampu untuk menampakkan agamanya maka ia boleh kembali ke negeri asalnya.
-
Mereka dibolehkan untuk melakukan kegiatan jihad di wilayah mereka, jika mereka mampu, itu berdasarkan sabda beliau: “mengeluarkan seperlima dari harta rampasan perang”.
-
Ada satu kesimpulan yang didapatkan dari hadits utusan Abdul Qais dan hadits Abu Bashir, bahwa kegiatan jihad – adalah pekerjaan imamah – boleh dilakukan dalam segala kondisi namun harus ada izin dari imam jika jihad tersebut dilakukan di dalam wilayah kekuasaannya. Jika itu dilakukan di luar wilayahnya, maka boleh tanpa ada izin, baik itu dilakukan oleh perseorangan maupun jamaah.
-
KETIGA
Pekerjaan imamah itu disesuaikan dengan kemampuan, dan kemampuan itu terkadang dapat melemah, terkadang dapat menguat. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskannya:
-
Asal dari bai’at yang terjadi di Aqabah pertama dan kedua adalah melindung Nabi Muhammad SAW dan menjaga beliau, yaitu untuk membela diri beliau jika sampai beliau dibunuh di Madinah. Di dalam musnad Imam Ahmad, Ubadah bin Ash Shamit berkata: “Kami berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat saat giat dan malas, bersedekah saat lapang dan susah, memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran, tak mengomel di jalan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, tak takut celaan orang saat menjalankan perintah-Nya, membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat datang ke Yatsrib seperti menjaga diri, istri dan anak-anak dan sebagai jaminannya kami mendapatkan surga. Inilah bai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibai’atkan kepada kami”. Ibnu Katsir berkata: sandanya bagus dan kuat.
-
Dalam urusan kepemimpinan Kota Madinah, Rasulullah SAW membutuhkan pendapat kaum Anshar dalam perang Badar, yaitu ketika beliau keluar untuk menghadang kafilah namun beliau mendapat informasi bahwa di depan mereka telah ada pasukan tempur Quraisy yang menghadang. Hadits ini disebutkan di dalam Shahih Bukhari, dan dirinci di dalam Shahih Muslim dan Musnad Imam Ahmad:
“Tatkala Nabi Shallallahu’alaihi wasallam hendak berangkat ke Badr, beliau minta saran. Abu Bakar memberikan pendapatnya, lalu minta saran kepada ‘Umar juga. Maka ‘Umar memberikan sarannya. Kemudian beliau meminta saran kepada mereka, maka sebagian kaum Anshar berkata: “Kamikah yang anda kehendaki wahai Rasulullah? Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya anda memerintahkan kami mengarungi lautan, pasti akan kami arungi…” [Al Hadits].
-
Apa yang terjadi dengan Ali Radhiyallahu ‘anhu setelah pembunuhan Dzun Nuraini (Utsman bin Affan) Radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak melakukan qishah dan menuntut balas atas pembunuhan tersebut. Nash-nashnya adalah sebagaimana yang diketahui bersama oleh para penuntut ilmu, maka silahkan merujuk kepadanya.
KEEMPAT
-
Kaedah yang telah ditetapkan oleh Al Faruq Radhiyallahu ‘anhu: “Maka barangsiapa membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, niscaya orang yang membai’at tersebut dan orang yang dibai’at tersebut tidak boleh diikuti, karena ia telah menjerumuskan mereka berdua untuk dibunuh”. Perkataan ini menunjukkan bahwa seorang imam tidaklah sah jika ia hanya dibai’at oleh satu orang, atau dua, atau tiga orang, bahkan ini menunjukkan bahwa sebuah kaum tidak dapat memaksa kaum lainnya hanya karena bai’at khilafah, dan ini tidak dimengerti oleh sebagian mereka.
Mereka mengira bahwa hanya dengan adanya bai’at sebagian orang terhadap khilafah, maka sang imam telah berhak atas gelarnya dan kaum muslimin wajib menerimanya, sedangkan Al Faruq memerintahkan untuk tidak mengikuti kecuali kepada imam yang diangkat melalui musyawarah di antara kaum muslimin. Telah jelas bahwa yang dimaksud dengan kaum muslimin di sini adalah para ahli ilmu dan para pemikir yang mereka dikenal dengan nama ahli syura atau Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
Perintah dari Al Faruq ini lebih menguatkan lagi akan kesesatan dari perbuatan membunuh orang yang tidak sependapat dengan kita; barangsiapa yang mentaati perintah Al Faruq untuk tidak mengikuti (imam yang diangkat tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin), maka seharusnya ia tidak dibunuh. Justru sebaliknya, ia lebih patut untuk dipuji. Sedangkan sang pembunuh, maka ia telah menyelisihi fiqh Al Faruq ini.
-
Ketika masyarakat tengah berada pada tahapan membangun kekuatan untuk berkuasa dengan cara melawan musuh sebagaimana kondisi kita sekarang ini, dan sebagian dari mereka tengah mencoba menstabilkan kekuasaan terhadap wilayah dan bangsa tertentu, namun tiba-tiba ada orang yang mendahului mereka dengan mendeklarasikan keimamahan, kemudian ia menentukan dirinya sebagai khalifah tanpa ada persetujuan dari pihak lainnya.
Maka ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah, dan hal ini menggambarkan bahwa hakekat orang tadi adalah ia memiliki sifat kekanak-kanakan dan orang yang naif dalam berfikir. Ia membayangkan bahwa permasalahan ini adalah sebuah perlombaan, ia harus mendeklarasikan kekhilafahan sebelum pihak lain melakukannya, sungguh ini adalah cara berfikir yang menyedihkan.
-
Terkadang mereka merasa benar berdasar sabda Nabi : “Bani Isra’il, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tak ada Nabi sepeninggal aku, yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya”. Para shahabat bertanya: “Apa yang baginda perintahkan kepada kami?”. Beliau menjawab: “Penuhilah bai’at kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang pemerintahan mereka”.
Hadits ini bukanlah hujjah atas perkataan atau pendapat mereka :
-
Nash ini berbicara tentang beberapa khalifah yang berkuasa, artinya mereka punya kekuasaan atas rakyat tidak sama sedikitpun dengan yang difahami oleh mereka yakni dibawa kepada makna orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur rakyat, tidak sanggup melindungi mereka dan orang selain mereka sebagaimana yang sudah di jelaskan di depan pada pembahasan (Innamal imamu junnatun).
-
Bahwa bai’at itu hanya wajib dan mengikat sifatnya pada orang yang membai’at saja tidak untuk yang lain, seperti yang di sebutkan “penuhilah bai’at yang pertama”, maka bagaimana bisa kemudian mengikat juga bagi orang lain.
-
Kemudian hadits ini cocok pada kasus orang yang berselisih pada imarah manapun, barang siapa yang membawanya pada makna bai’at khalifah sungguh dia bodoh, karena maknanya bisa benar secara umum jika dibawa pada pengertian bahwa bai’at pada amir yang pertama itulah yang kuat bukan pada yang setelahnya.
Kalau saja mereka mau berpikir sejenak pastilah akan faham bahwa bai’at mereka ini adalah bathil, karena bukan yang pertama kali ada. Sebelumnya sudah ada bai’at-bai’at yang banyak sekali, diantaranya ada yang sudah lenyap dan yang lainnya masih eksis, semua adalah bai’at untuk mendengar dan taat dalam melaksanakan amal-amal agama yang parsial dan dalam koridor yang dimampui, dan bai’at dalam perkara yang tidak disanggupi adalah main-main tidak ada gunanya. Maka selanjutnya membawanya pada pengertian khalifah bukan yang lainnya adalah salah.
Perihal mereka ini, kalau boleh kita gambarkan: Ada sebuah jamaah yang memiliki sebagian tamkin atau kekuatan dan ada bai’at untuknya dalam perkara yang dimampui untuk dilaksanakan dalam perkara agama, kemudian datang orang asing yang lemah dan tertindas tidak memiliki kekuatan sampai mengimami shalat sekalipun, dan dia keturunan Quraisy.
Kemudian datang seseorang atau beberapa orang yang tidak bisa terwujud qudrah (kemampuan) dengan keberadaan mereka ini, kemudian mereka membai’at orang tersebut, maka ini dianggap pertama oleh mereka, sehingga wajib bagi umat untuk membai’atnya termasuk jamaah pertama yang memiliki beberapa tamkin di atas, maka ini jelas suatu kedohohan terhadap makna hadist di atas tidak diragukan lagi.
Karena kalau demikian lafadz khilafah itu jadi sia-sia belaka tidak ada nilainya. Padahal sebagaimana diketahui bahwa aqad-aqad itu adalah tergantung makna dan maksudnya bukan sekedar lafadz dan gambarannya. Karena lafadz khilafah di sini sama seperti lafadz hibbah di sertai adanya barang pengganti yang di hibahkan dan ini dikategorikan ke dalam bab jual beli tidak diragukan lagi.
-
Sebagai penutup, sesungguhnya pengumuman kekhilafahan oleh Jamaah ISIS adalah tidak sah dari berbagai sisi, ia juga merupakan hal yang bodoh dari sekian banyak kebodohan mereka yang tidak mampu membedakan mana perkara yang cabang, dan mana perkara yang pokok.
Oleh karenanya maka saya katakan:
-
Telah dibahas sebelumnya bahwa imamah tidaklah sah kecuali dengan adanya keridhaan, dan tidak dapat diwujudkan kecuali dengan adanya kesepakatan dengan orang-orang yang mumpuni dari kalangan Ahlus Syura. Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang yang memiliki kekuatan adalah para mujahidin di jalan Allah yang berada di Suriah, Syam, Yaman, Afghanistan, Chechnya, Somalia, Aljazair, Libya dan lain sebagainya dari kalangan kelompok perlawanan terhadap musuh-musuh Allah.
Namun kekhalifahan ditegakkan jauh dari mereka, tidak didapati ada yang mengumumkan pendiriannya kecuali hanya dari satu jamaah saja –diumumkan oleh juru bicara resminya– dan hanya jamaah tersebut yang membai’atnya. Maka berdasarkan perintah dari Al Faruq Radhiyallahu anhu dan berdasarkan pemahaman yang telah dibahas sebelumnya, dapat diketahui bahwa tidak boleh mengikuti langkah orang yang membai’at dan yang dibai’at, bahkan keduanya dalam status “dikhawatirkan dapat terbunuh”.
Jamaah ini (ISIS) tidak memiliki otoritas untuk berkuasa dan menjalankan pemerintahan terhadap seluruh kaum muslimin, ia tidak lain hanyalah jamaah minal muslimin, dan bukan jamaatul muslimin atau kekhilafahan, atau imamah al ‘uzhma. Maka bai’at untuk mentaati khalifahnya tidak diwajibkan kecuali kepada para anggotanya saja, dan status pihak-pihak selain jamaah ini tidaklah berubah sama sekali.
-
Ancaman mereka untuk membunuh siapa saja yang memecah belah tongkat kaum muslimin (khilafah) adalah didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut: “Barangsiapa orang yang datang kepada kalian sedangkan urusan kalian itu bersatu di bawah kepemimpinan seorang pria, seraya dia ingin membelah tongkat (kepemimpinan) kalian atau memecah barisan kalian, maka bunuhlah”.
Jelas sekali di dalam hadits ini beliau bersabda: “sedangkan urusan kalian itu bersatu di bawah kepemimpinan seorang pria”, sedangkan mereka berbeda dengan kondisi yang disebutkan oleh Nabi diatas, karena pada hari ini manusia itu terbagi dalam berbagai jamaah, tidak ada yang boleh mengumpulkan mereka menjadi satu kecuali orang yang diridhai atau jika terjadi kemenangan mutlak.
Saya katakan: Kemenangan mutlak ini bukanlah sebuah lampu hijau untuk menggunakan cara penaklukan, bukan juga peperangan melawan pihak yang berselisih dengan mereka, ini tidaklah diperbolehkan berdasarkan kaedah fiqh: “Apa yang bebas dilakukan di tengah-tengah amalan, terkadang tidak dapat dikerjakan di awal amalan itu”. Maka sesuatu yang dapat dikerjakan setelah berhasil mewujudkan suatu amalan, bukan berarti dapat dilakukan di awal amalan itu.
-
Mereka tidak ingin jamaah-jamaah kaum muslimin menguasai wilayah-wilayah yang ada kecuali jamaah mereka. Penghinaan ini mereka lakukan untuk mewujudkan deklarasi khilafah, dan sudah dijelaskan sebelumnya tentang keburukan yang akan ditimbulkan akibat hawa nafsu terhadap tujuan ini, maka deklarasi dan kekhalifahan mereka tidak perlu diikuti.
-
Keadaan mereka menunjukkan akan kehausan mereka untuk memerangi orang-orang yang menyelisihi mereka. Peperangan tersebut adalah sebuah dosa dan kejahatan besar, baik ia ditujukan untuk menaklukkan, atau dengan tujuan yang lain. Sedangkan jika ada vonis kafir terhadap orang yang menyelishi mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa ia adalah ajaran agamanya kaum khawarij.
-
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa para pendahulu mereka adalah kaum ekstrimis dan ahli bid’ah, dan ini telah dipaparkan secara jelas. Mereka memiliki kebodohan besar, di mana para ulama dan fuqaha saja tidak mampu menguasai kebesaran hal yang mereka gaung-gaungkan ini, yaitu Khilafah.
Adapun dengan kekuasaan yang mereka raih baru-baru ini di Iraq, maka Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim”, menurut para fuqaha yang membahas ayat yang agung ini, orang yang zhalim tidak boleh diserahi urusan kepemimpinan. Adapun jika mereka memiliki perlawanan kepada kaum zindiq yang najis (pasukan Al Maiki – red.), maka ini adalah urusan yang berbeda dengan urusan siyasah kaum muslimin dan para pemimpinnya.
Mereka tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap saudara-saudara mereka para mujahidin, maka bagaimana mungkin mereka ingin mengasihi kaum fakir miskin, orang-orang yang lemah dan orang-orang awam. Para ulama kita pernah membolehkan melaksanakan jihad di bawah komando seorang amir yang memiliki faham khawarij, sebagaimana yang difatwakan oleh para ulama madzhab Maliki di Maghribi, namun tidak pernah ada ulama yang memberikan pengakuan baik kepada pemimpin khawarij yang keinginannya adalah membunuhi manusia.
-
Deklarasi khilafah mereka tidak dapat menjadikan peperangan mereka melawan kaum zindiq sebagai sesuatu yang hina, ia tetap menjadi perbuatan yang terpuji dari jamaah ini. Jika saja mereka mau bersatu dalam memerangi kaum zindiq, maka sungguh semua orang akan berperang di bawah bendera mereka. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika mereka mencapai ranah imamah al ‘uzhma, mereka menjadi terjerumus ke dalam kerusakan syariat dan ilmu.
-
Sesungguhnya keberhasilan mereka dalam meraih kekuasaan di Iraq tidak lantas menjadikan mereka sebagai yang terbaik di dalam bidang ini. Mulla Muhammad Umar juga berhasil meraih kekuasaan, mujahidin Somalia, Yaman dan Mali juga berhasil meraih kekuasaan, dan mereka-mereka ini sebagaimana diketahui bersama sangat jauh dari sikap yang bodoh, tertipu dan mengaku-aku dirinya sebagai pihak yang berhak atas kekhilafahan. Karena lafazh-lafazh syariat hanya dapat ditetapkan jika terbukti keberadaannya atau jika terbukti ada nash yang mendukungnya, sedangkan jika ditetapkan berdasarkan hal-hal kosong, maka ia adalah ajaran rafidhah dan kaum bathiniyah.
-
Sang juru bicara resmi jamaah ini telah mengajak Syaikh Dr. Ayman Azh Zhawahiri untuk mengumumkan khilafah sebagai solusi atas permusuhan mereka, hal ini ia sampaikan sebelum kemenangan di Iraq. Maka ini menunjukkan bahwa kebodohan mereka dalam tema khilafah sudah ada sebelumnya, mereka tidak butuh tamkin dan lain sebagainya untuk menegakkan kekhilafahan.
-
Sebagai penutup, saya katakan bahwa jamaah bid’ah ini kita ketahui memiliki hasrat untuk membunuhi kaum muslimin, khususnya para pelaku jihad dan mereka masih seperti ini, bahkan kami melihat bahwa hasrat tersebut terus bertumbuh seiring dengan keberhasilan mereka menguasai beberapa wilayah di Iraq, padahal apa yang mereka raih tersebut adalah pemberian dari Allah.
Bahkan ada sebagian dari mereka yang mengaku bahwa ada beberapa wilayah yang berhasil ditaklukkan tanpa melakukan pertempuran, maka ini adalah nikmat agung yang seharusnya disikapi dengan bersyukur dan merendahkan hati, bukannya dengan kesombongan dan menambah hasrat untuk membunuh orang-orang yang menyelisihi mereka.
Penaklukan ini tidak dianggap sebagai upaya untuk meraih kehidupan yang lebih baik, karena manusia selalu melihat tranformasi besar dalam kehidupannya, dan trasnformasi terbesar biasanya jatuh dalam waktu sekejap, dan inilah yang tidak kita harapkan dari mereka, karena yang akan menggantikan mereka pada hari ini adalah kaum zindiq.
Namun tetap saja kemenangan orang-orang yang beriman akan menciptakan rasa takut dan gentar bagi musuh, sebagaimana keadaan imam kita Muhammad SAW ketika beliau menaklukkan Kota Makkah, dan keadaan Al Faruq Radhiyallahu ‘anhu ketika pundi-pundi Kisra Persia berada di bawah telapak kakinya, dan kita berada di zaman yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai zaman yang cepat, maknanya; banyak peristiwa yang terjadi dalam waktu yang sekejap, Wallahu A’lam.
Karena ia adalah jamaah yang bid’ah maka janganlah kita berperang di bawah panjinya kecuali dalam keadaan darurat. Kebid’ahannya terus bertambah seiring dengan klaimnya sebagai Jamaah Muslimin, dan imamnya adalah imam satu-satunya bagi kaum muslimin, mereka menyalahkan pihak-pihak lain selain dirinya tanpa landasan yang berarti kecuali seruan untuk membai’at pemimpinnya, maka orang Islam yang mengetahui agama Allah tidak diperbolehkan untuk mengikuti perbuatan seperti ini.
Sedangkan kepada para pemikir dari jamaah ini, mereka harus mencegah pertumbuhan sikap ekstrim yang ada di dalam jamaah mereka jika mereka menginginkan kebaikan bagi diri mereka dan saudara-saudara mereka, karena di dalam setiap kemenangan ada jatahnya masing-masing, ada rasa sakit yang akan diderita dan ada beban-beban yang harus ditanggung.
Jika mereka tidak berbenah, maka ketahuilah bahwa ketentuan sunnatullah pasti berlaku atas mereka dan orang-orang selain mereka, “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya” [Qs. Yusuf: 21].
Inilah yang dapat saya sampaikan pada waktu yang sempit ini, dan ia insya Allah akan cukup jelas bagi para penuntut ilmu. Maka barangsiapa yang mau menelitinya, ia akan mendapatkan kebenaran di dalamnya, Wallahu A’lam.
Walhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin.
(muqawamah.com/arrahmah.com)
Baca Juga: