Oleh: Ustadz Muhammad Thalib
(Arrahmah.com) – ‘Aisyah berkata:
كُنَّا نَحِيْضُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami mengalami haidh pada masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami diperintahkan mengganti puasa, tetapi kami tidak diperintah mengganti shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan:
Wanita yang mengalami haidh pada bulan Ramadhan tidak boleh puasa. Akan tetapi, ia diperintahkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya pada hari-hari lain. Adapun shalat wajib yang ditinggalkan selama masa haidh tidak wajib diganti pada hari-hari yang lain.
Ada orang yang karena ketidaktahuannya tentang bahasa Arab melontarkan suatu pendapat bahwa wanita haidh tetap berkewajiban melaksanakan shalat dan puasa, karena tidak ada larangan dalam Al-Qur’an bagi mereka untuk shalat dan puasa. Selain itu, orang ini mengatakan bahwa qadha’ dalam Hadits ini artinya memenuhi atau melaksanakan. Jadi, menurut perkataan mereka, Hadits tersebut artinya: “Kami mengalami haidh pada masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami diperintah memenuhi puasa dan tidak diperintah memenuhi shalat.”
Orang ini menyamakan qadhaush shaum dengan qadhaul hajah, yaitu membuang air besar atau kecil. Bila orang ini konsekuen dalam menyamakan qadhaus shaum dengan qadhaul hajah, ia harus mengartikan qadhaus shaum dengan melepaskan puasa karena memenuhi hajat berarti melepaskan hajat. Kalau puasa dilepas dari dirinya, berarti ia tidak puasa sebagaimana ornag melepaskan pekerjaan, yang artinya ia tidak bekerja lagi. Inilah bukti bahwa orang yang mengemukakan pendapat keliru di atas tidak berilmu dan tidak mengerti bahasa Arab. Oleh karena itu, diharapkan umat tidak terkicuh oleh omongan yang timbul dari kebodohan ini.
Tegasnya, wanita haidh tidak sah puasa. Ia diperintahkan mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan semasa haidhnya pada hari-hari yang lain.
(arrahmah.com)