XINJIANG (Arrahmah.com) – Pemerintah Cina yang melarang ummat Islam Uighur untuk menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan di distrik barat laut yang berpenduduk mayoritas Muslim, Xinjiang, telah memicu protes dari Saudi dan para ekspatriat yang menuntut pemboikotan produk-produk Cina.
Pihak berwenang Cina telah memberlakukan pembatasan kepada Muslim Uighur selama bulan Ramadan, melarang pegawai pemerintah dan anak-anak sekolah untuk puasa, dimana hal ini telah ditolak oleh Muslim Uigur yang dianggap sebagai upaya sistematis tahunan untuk menghapus identitas Islam di kawasan itu.
Pihak berwenang Cina telah membenarkan pelarangan puasa tersebut dengan dalih bahwa hal itu dimaksudkan untuk melindungi kesehatan siswa, dan pembatasan untuk menjalankan ajaran agama oleh pejabat pemerintah dimaksudkan untuk memastikan negara tidak mendukung agama tertentu.
“Ini adalah tingkat tertinggi dari ketidakadilan. Orang-orang harus diperbolehkan untuk mempraktikkan agama mereka,” Muhammad Badahdah, asisten sekretaris jenderal World Assembly of Muslim Youth, mengatakan kepada Arab News.
“Ini menunjukkan sikap anti–Islam mereka karena mereka menganggap orang-orang yang menerapkan Islam sebagai teroris. Jika hal ini dibiarkan terus, mereka akan melarang Muslim untuk menunaikan ibadah Haji dan Umrah.“
Setiap tahun, pemerintah Cina telah berulang kali memberlakukan pembatasan terhadap Muslim Uighur di wilayah Xinjiang setiap Ramadan.
Badahdah mengatakan bahwa pemerintah China telah memberlakukan kebijakan anti–Islam selama beberapa tahun terakhir, PBB dan Dewan Keamanan telah gagal melindungi umat Islam.
“China adalah negara yang tertutup dan kami sudah mulai mengetahui tentang kebijakan opresif terhadap ummat Islam melalui media sosial,” katanya.
“Kami umat Islam harus bersatu dan kembali ke ajaran Al Qur’an dan Sunnah. Itulah satu-satunya solusi untuk masalah kami,” katanya kepada Arab News.
Menolak pembatasan yang dilakukan oleh otoritas Cina terhadap sesama Muslim, Badahdah mendesak persatuan Muslim untuk mengambil tindakan politik dan ekonomi terhadap Cina atas kebijakan meninda tersebut.
“Jadi ummat Islam di seluruh dunia harus bersatu melawan praktek-praktek yang tidak adil dan tidak manusiawi tersebut untuk mengakhirinya,” kata Badadah.
“Kita adalah sebuah kekuatan besar dengan jumlah penduduk 1,5 miliar dan harus mengalahkan intrik musuh untuk memecah belah kita. Kita harus menjadi Muslim sejati agar mendapat pertolongan dari Allah.“
“Pemerintah kami mengambil tindakan tegas terhadap Belanda ketika seorang politisi sayap kanan di negara itu melecehkan Islam dan bendera Saudi. Kita harus mengambil tindakan serupa terhadap Cina jika mereka tidak menghentikan sikap anti-Muslim mereka,” Fuad Tawfik, seorang insinyur Saudi, mengatakan kepada Arab News.
Sementara itu, 57 anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengatakan bahwa pihaknya telah menghubungi pemerintah Cina untuk membahas masalah tersebut.
“Kami sedang menunggu balasan dari China,” kata sumber informasi Arab News.
Blogger Hashmet Hussain juga menyerukan kepada Muslim untuk memboikot produk-produk Cina.
“Melarang hak-hak untuk menjalankan agama Islam adalah semacam terorisme,” katanya.
Blogger lain berkata: “Untuk kepentingan mereka sendiri Cina harus segera menarik keputusan mereka dan meminta maaf kepada umat Islam.”
Mengandung cadangan minyak, gas alam, dan batu bara terbesar di Cina, Xinjiang merupakan rumah bagi mayoritas populasi Muslim Uighur – kelompok etnis Turki dengan bahasa dan budaya lebih dekat ke Asia Tengah. Sebelum wilayah itu diserap ke dalam Republik Rakyat China pada tahun 1949, hampir semua orang di sini adalah Uighur, tetapi jumlahnya sejak itu menurun menjadi setengan bagian pada tahun 2000, sebagai akibat dari perpindahan besar-besaran dari puluhan juta Cina Han – mayoritas penduduk daratan Cina – yang didorong untuk menetap di wilayah ini oleh pemerintah Cina.
Demografis tersebut kemudian mengalami pergeseran, yang dipercepat pada 1990-an saat Beijing mulai mengembangkan Xinjiang, yang dikombinasikan dengan undang-undang Cina yang membatasi praktek Islam oleh Muslim Uighur, dan pada 1997 pemerintah Cina mengeksekusi 30 separatis Uighur, memicu gelombang kekerasan yang telah menewaskan ratusan orang, sebagian besar warga sipil.
Sementara itu, Cina telah membubarkan lebih dari 40 kelompok yang mereka sebut “geng teror kekerasan” dan menangkap lebih dari 400 orang di Xinjiang sejak pemerintah melakukan tindakan keras pada bulan Mei, kata media pemerintah, Senin (7/7).
Kelompok Uighur dan aktivis hak asasi manusia mengatakan bahwa kebijakan represif pemerintah di Xinjiang, termasuk kontrol terhadap Islam, telah memicu kerusuhan.
“Kebijakan politik Cina akan menyebabkan lebih banyak orang menghadapi dakwaan yang tidak adil,” Dilxat Raxit, juru bicara kelompok Kongres Uighur Dunia, mengatakan dalam sebuah email.
(ameera/arrahmah.com)