(Arrahmah.com) – Pasukan Islam mengalami kekalahan berat pada bulan Sya’ban 13 H dari pasukan Persia dalam perang Jisr. Panglima Abu Ubaid Ats-Tsaqafi dan tujuh komandan penggantinya gugur dalam pertempuran. Lebih dari 4000 tentara Islam gugur dan tenggelam di sungai Eufrat, sebagian kecil sisanya melarikan diri ke Madinah dan sebagian lainnya menggabungkan diri dengan pasukan Islam dibawah panglima Mutsana bin Haritsah Asy-Syaibani radhiyallahu ‘anhu.
Khalifah Umar bin Khathab segera mengirimkan pasukan bantuan yang dipimpin oleh para tokoh sahabat. Diantara mereka terdapat sahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu beserta seluruh pemuda dari suku Bajalah. Para komandan Islam lainnya di Irak juga mengirimkan sebagian pasukannya kepada panglima Mutsana bin Haritsah Asy-Syaibani radhiyallahu ‘anhu sehingga terkumpul jumlah pasukan yang besar.
Saat imperium Persia mengetahui menguatnya pasukan Mutsana bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, mereka segera mengirim sebuah pasukan besar dibawah panglima Mihran untuk memeranginya. Pasukan Islam dan pasukan Persia bertemu di sebuah tempat bernama Buwaib, dekat kota Kufah. Antara pasukan Islam dan pasukan Persia dipisahkan oleh deras dan lebarnya sungai Eufrat.
Pasukan Persia menantang kaum muslimin, “Pilihlah, kalian yang harus menyeberangi sungai untuk menyerang kami ataukah kami yang akan menyeberangi sungai untuk memerangi kalian!”
Teringat kekalahan berat dalam perang Jisr di atas sungai Eufrat, pasukan Islam menjawab, “Jika kalian berani, seberangilah sungai!”
Maka pasukan besar Persia pun mulai menyeberangi sungai Eufrat.
Saat itu adalah bulan suci Ramadhan tahun 13 H. Panglima Mutsana bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kepada pasukan Islam untuk makan dan tidak berpuasa, agar mereka lebih kuat untuk menjalani pertempuran sengit.
Panglima Mutsana bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu mulai memeriksa kesiapan pasukannya. Setiap kali ia melewati sebuah kesatuan dan panji, ia menyampaikan nasehat kepada mereka untuk berjihad, bersabar, diam dan bertahan dengan teguh.
Panglima Mutsana bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu memberikan perintah kepada para komandannya:
إِنِّي مُكَبِرٌ ثَلاَثَ تَكْبِيرَاتٍ فَتَهَيَّأُوا، فَإِذَا كَبَّرْتُ الرَّابِعَةَ فَاحْمِلُوا
Saya akan memekikkan takbir sebanyak tiga kali, maka bersiap-siaplah kalian. Jika aku telah memekikkan takbir pada kali keempat, maka serbulah!”
Para komandan dan pasukan Islam mendengarkan dan mematuhi perintah tersebut.
Bau saja Mutsanna bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu memekikkan satu kali takbir, pasukan Persia telah menyerbu mereka dengan ganas. Maka pertempuran sengit pun tak bisa dihindari lagi.
Serbuan besar-besaran pasukan Persia membuat celah di salah satu barisan pasukan Islam yang dihuni oleh suku Bani Ijl. Mutsana bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu segera mengirim utusan kepada pasukan Bani Ijl dan berpesan kepada mereka,
اَلْأَمِيرُ يَقْرَأُ عَلَيكُمُ السَّلاَمض وَيَقُولُ لَكُمْ: لاَ تَفْضَحُوا اْلعَرَبَ اْليَوْمَ
“Panglima menyampaikan salam kepada kalian dan berpesan kepada kalian: ‘Janganlah kalian membuat cela bagi bangsa Arab pada hari ini!”
Mendengar wasiat dan pesan panglima Mutsana tersebut, pasukan Islam dari Bani Ijl bertahan dengan teguh sehingga celah pasukan Islam berhasil ditutup kembali. Panglima Mutsana kagum dan tertawa melihat kejadian itu. Ia pun kembali mengirimkan pesan kepada semua pasukannya:
يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ عَادَاتِكُمْ، اُنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ
“Wahai seluruh kaum muslimin, pertahankanlah tradisi-tradisi peperangan kalian! Tolonglah [agama] Allah, niscaya Allah akan menolong kalian!”
Peperangan kembali pecah dengan sengit. Ketika pertempuran telah berlangsung lama, Mutsana bin Haritsah mengumpulkan sekelompok jagoan perang kaum muslimin. Mustana memimpin regu berani mati tersebut untuk menyerang langsung posisi panglima Persia, Mihran.
Serangan regu berani mati itu memporak-porandakan jantung kekuatan pasukan Persia, sampai-sampai panglima mereka Mihran terdesak dari jantung pasukan ke sayap kanan pasukannya.
Seorang ksatria muslim, Mundzir bin Hassan bin Dhirar Adh-Dhabbi melakukan duel dengan panglima Mihran sampai akhirnya Mundzir bin Hasan berhasil membunuhnya. Jarir bin Abdullah Al-Bajali segera memenggal kepala panglima Persia tersebut. Tewasnya panglima Persia membuat pasukan Persia bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Pasukan Persia berusaha untuk kabur, namun pasukan Islam mengejar dan membunuhi mereka.
Panglima Mutsana dan sebagian pasukan Islam segera bergerak ke jembatan di atas sungai Eufrat. Mereka menutup rapat jembatan itu dan menghadang setiap tentara Persia yang mencoba kabur lewat jembatan.
Pasukan Islam terus mengejar pasukan Persia sepanjang siang tersebut, berlanjut sampai malam hingga datang pagi kembali, dan berlanjut sepanjang siang sampai malam hari berikutnya.
Para sejarawan Islam mengatakan telah tewas dalam pertempuran tersebut atau karena tenggelam dari pihak pasukan Persia sekitar 100 ribu tentara. Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.
Kaum muslimin meraih kemenangan telak atas pasukan Persia. Mereka memperoleh harta rampasan perang yang sangat banyak. Sejumlah besar tokoh dan pasukan Islam juga gugur dalam perang Buwaib tersebut. Kemenangan perang Buwaib merupakan pembalasan atas kekalahan pasukan Islam dalam perang Jisr.
Ulama tafsir, hadits, fiqih dan sejarah Islam imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi berkata: “Tengkuk-tengkuk bangsa Persia pun tunduk lewat perang ini, dan generasi sahabat mampu menyerang negeri-negeri mereka di antara sungai Eufrat dan sungai Tigris, sehingga mereka memperoleh harta rampasan perang sangat banyak yang tak terhitung jumlahnya. Perang di Irak ini sebanding dengan perang Yarmuk di negeri Syam.” (Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Al-Bidayah wan Nihayah, 9/597-599)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al majdi/arrahmah.com)