SURABAYA (Arrahmah.com) – Praktek maksiat di Dolly tidak hanya marak dengan perzinaan, kemusyrikan pun menjamur di area pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Para mucikari dan pelacur Dolly cukup akrab dengan praktek perdukunan. Alasan mereka datang ke dukun cukup beragam, mulai demi meningkatkan pendapatan sampai menyingkirkan pesaing.
Dari keterangan yang dihimpun tim Jurnalis Islam Bersatu (Jitu), setiap wisma prostitusi di Dolly lazim memiliki altar sesajian. Ngadimin Wahab (60) alias pak Petruk, anggota Ikatan Da’i Area Lokalisasi (IDIAL) yang juga berprofesi sebagai juru ruqyah di Dolly memberi keterangan menarik.
“Praktek kemusyrikan di Dolly memang marak, saya pernah menangani kasus pelacur yang di guna-guna (santet) oleh suaminya sendiri,” papar pak Petruk di rumahnya kepada tim Jitu (17/06).
Dari pemaparan pak Petruk, banyak wanita yang dijual ke Dolly oleh suaminya sendiri. Wanita-wanita ini biasa dijual seharga 2 juta rupiah. Selesai dijual, biasanya para suami ini akan meminta setoran hasil pelacuran istri-istri mereka.
“Wanita ini diguna-guna oleh suaminya sendiri agar tidak kabur dari Dolly dan terus menjadi sapi perah,” ungkap pak Petruk dengan nada sedih.
Untuk memerangi praktek kemusyrikan di Dolly, dalam setiap kesempatan, pak Petruk selalu mendakwahkan pentingnya bertauhid.
“Biasanya saat saya meruqyah selalu saya sampaikan kepada mereka (pelacur) untuk bertaubat dan memperbaiki keimanan dan tauhid,” ujar pak petruk. (azm/surya/eza/arrahmah.com)