Oleh Hartono Ahmad Jaiz
(Arrahmah.com) – Masyarakat sudah memahami, kini tumbuh pesantren-pesantren yang berkualitas. Hingga minat masyarakat untuk memasukkan anaknya ke pesantren pun cukup tinggi. Bahkan jauh-jauh hari sebelum anak-anak SD ujian akhir, pesantren-pesantren yang diminati masyarakat telah kebanjiran calon-calon santri.
Dari sini dapat difahami, sebenarnya masyarakat membutuhkan pendidikan untuk anak-anak mereka di tempat yang terpercaya kualitasnya. Baik secara keilmuan, agama, maupun akhlak. Sehingga orang tua tenang, ketika telah mendidikkan putera-puterinya ke tempat yang seperti itu akan mewariskan generasi yang insya Allah shalih/ shalihah dan mampu menghadapi gejolak zaman yang semakin tidak keruan.
Rata-rata pesantren itu dimulai dari tingkat Tsanawiyah atau SMP, walau tidak sedikit juga yang memulainya dari SD bahkan TK. Nah sekarang, perlu ditingkatkan pula, kualitas sekolah-sekolah Islam (di luar pesantren yang telah dipercaya masyarakat itu) terutama tingkat SD Islam atau Madrasah, agar kualitasnya tidak kalah dengan yang sudah dididik di pesantren (yang berkualitas) sejak semula. Sehingga, ketika alumninya masuk ke pesantren yang berkualitas itu tidak kalah dengan yang sudah dari pesantren, atau sekolah-sekolah SD yang unggulan.
Dalam hal ini SD-SD Islam sekarang punya kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.
Kenapa?
Perlu diketahui, sekarang SD-SD negeri yang karena didanai oleh penguasa dan dikompliti sarananya, menjadi “pemangsa” bagi sekolah-sekolah Islam (swasta). Sehingga masyarakat secara sekilas lebih mempecayakan anak-anaknya ke SD-SD negeri yang dianggap lebih murah dan terjamin. Maka apabila sekolah-sekolah Islam tidak mampu menunjukkan prestasinya, boleh jadi dalam sekian waktu maka akan semakin surut. (Dan itu yang diinginkan oleh orang-orang yang sejatinya anti Islam?). Namun sebenarnya, di balik itu ada kesempatan emas bagi sekolah-sekolah Islam.
Kenapa?
Karena sekolah-sekolah negeri terutama SD sekarang banyak yang kepala sekolahnya adalah perempuan.
Menurut penuturan seorang kepala SD di Bekasi (laki-laki, yang dia ini termasuk penulis buku pelajaran SD yang disahkan kementerian pendidikan kemudian dionline-kan untuk tingkat nasional), bahwa teman-temannya yang jadi kepala SD kebanyakan perempuan. Dan menurut pengalaman yang dia tuturkan, setiap pertemuan (para kepala SD yang mayoritas wanita itu), hampir tidak menghasilkan apa-apa, karena mereka (maaf), menurut penilaian dia adalah orang-orang yang tidak berkualitas. Bahkan mereka dapat dinilai, lebih cenderung mengejar penampilan (dengan dandanan menor dan pakaian wah beserta asesoris yang mahal dsb, bagai peragawatilah) atau bahkan kemungkinan saing-saingan kendaraan dan sebagainya sesama mereka (perempuan).
Di samping itu ada saja gangguan-gangguan lain di sekolah-sekolah negeri yang menjadikan sebagian sekolahan jadi “amburadul”. Ambil contoh, di Jakarta ada belasan sekolah yang direnovasi. Otomatis para muridnya yang jumlahnya masing-masing sekolah ada ratusan bahkan mungkin ribuan itu harus menempati tempat darurat atau mendompleng sekolah yang dekat. Ternyata pemerintahan Jokowi-Ahok di DKI Jakarta tidak jadi meneruskan renovasi belasan sekolah itu, dan dibiarkan begitu saja. Dinas Pendidikan menyatakan, terdapat 18 sekolah yang terbengkalai rehabilitasi gedungnya di DKI Jakarta, menurut berita Tempo (21/04 2014). Apakah tidak amburadul itu? Bagaimana nasib murid-muridnya? Kadang para murid harus berkeliaran dulu, karena misalnya pukul 10 selesai jam pelajaran yang kesekian, nanti sorenya baru diteruskan jam pelajaran selanjutnya. Bayangkan, kebijakan Jokowi dan Ahok mengakibatkan ribuan siswa keleleran seperti itu beserta para gurunya.
Apakah Jokowi dan Ahok tidak takut ancaman Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya ini?
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ(أحمد ، ومسلم عن عائشة)
“Ya Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia.” (HR Ahmad dan Muslim dari Aisyah).
{ وَمَنْ وَلِيَ مِنْهُمْ شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَعَلَيْهِ بَهْلَةُ اللَّهِ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا بَهْلَةُ اللَّهِ قَالَ : لَعْنَةُ اللَّهِ } رَوَاهُ أَبُو عَوَانَة فِي صَحِيحِهِ
Dan barangsiapa memimpin mereka dalam suatu urusan lalu menyulitkan mereka maka semoga bahlatullah atasnya. Maka para sahabat bertanya, ya RasulAllah, apa bahlatullah itu? Beliau menjawab: La’nat Allah. (HR Abu ‘Awanah dalam shahihnya. Terdapat di Subulus Salam syarah hadits nomor 1401).
Amien ya Rabbal ‘alamien.
Dari gambaran itu, sekolah-sekolah Islam yang rata-rata kepala sekolahnya laki-laki dan relative tidak diganggu oleh kepentingan-kepentingan yang tidak menguntungkan pendidikan seperti tersebut, sebenarnya ada kesempatan emas untuk memajukan pendidikan yang dipimpinnya, jauh lebih maju dibanding sekolah-sekolah negeri yang dipimpin oleh wanita-waita di zaman manusia haus harta dan pamer kekayaan serta saing-saingan penampilan sekarang ini; yang masih pula diganggu oleh kepentingan politik yang kadang tidak mnguntungkan dunia pendidikan.
Dalam sekian waktu, bila pembenahan sekolah-sekolah Islam ini dipacu oleh para kepala sekolahnya yang tidak dihinggapi sifat dan sikap buruk yang diidap oleh para kepsek wanita di sekolah-sekolah negeri tersebut, maka insya Allah sekolah-sekolah Islam tahu-tahu sudah jauh di depan, dan insya Allah kepercayan masyarakat pun akan ditujukan ke sekolah-sekolah Islam.
Bila nanti terbukti sekolah-sekolah Islam memang berkualitas benar-benar, maka lebih dapat dibenahi lagi secara nasional, dan nama sekolah Islam pun akan harum di tingkat nasional. Kerena punya nilai plus: yaitu para murid sekolah Islam itu dibekali ilmu umum tidak kalah dengan sekolah umum (bahkan lebih), masih pula ilmu agama dan bahkan praktek agama serta akhlaqnya pun terjamin. Hingga akhirnya sekolah-sekolah umum atau negeri akan kesulitan untuk mengejarnya, sedang perguruan tinggi umum pun akibatnya akan diisi oleh keluaran dari sekolah-sekolah Islam.
Dengan demikian, kemungkinan, kegiatan ekstra kurikuler para mahasiswanya di perguruan-perguruan tinggi umum nanti bagaikan pesantren. Ini akan ada dampak positif yang sangat mengejutkan, karena perguruan tinggi Agama yang telah tercemari dengan faham sesat warisan Harun Nasution berupa virus liberal, pluralisme agama seperti yang terjadi di UIN, IAIN, STAIN, dan semacamnya akan disingkiri masyarakat. Lantaran masyarakat faham betul bahwa di UIN, IAIN, STAIN dan semacamnya itu telah terkontaminasi dengan virus liberal dan aneka faham sesat, hingga mereka jauhi. Bagaimana tidak. Faham-faham liberal dan pluralism agama yang menyamakan Islam dengan agama-agama kemusyrikan/ kekafiran itu jelas akan membahayakan bagi generasi mendatang. Maka pilihan menguliahkan anak ke perguruan tinggi umum namun sebelumnya telah dididik secara Islami di sekolah-sekolah Islam yang berkualitas itu adalah jalan yang kemungkinan lebih dipilih oleh umat Islam.
Sekali lagi, ini adalah kesempatan emas bagi sekolah-sekolah dasar Islam untuk memacu diri, untuk mempersiapkan generasi intelektual yang Islami, terhindar dari virus sekuler dan liberal yang menjerumuskan manusia ke kubangan yang jauh dari agama.
Dengan demikian, berarti sekolah-sekolah Islam telah ikut menyelamatkan generasi dari perusakan Islam secara sistematis yang mendunia, sekaligus menyiapkan dan membentuk generasi rabbani yang insya Allah akan dekat kepada Allah Ta’ala. Ini sama dengan menyiapkan masyarakat untuk jadi manusia-manusia shalih dan shalihah, hingga terbentuk negeri atau kampong yang baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur. Semoga saja dapat terlaksana atas izin dan pertolongan Allah subhanahu wa Ta’ala. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.
Surabaya-Malang, dalam perjalanan kereta, 9 Sya’ban 1435H/ 7 Juni 2014.
(azm/arrahmah.com)