AL-QUDS (Arrahmah.com) – Undang-undang yang diusulkan untuk mengizinkan pemaksaan makan tahanan Palestina yang mogok makan adalah instruksi amoral pemerintah “Israel” terhadap asosiasi dokter negara zionis itu. Para dokter mengatakan kepada AP pada Selasa (4/5/2014) bahwa “praktek makan paksa dengan penyiksaan”. Perdebatan etika dan hukum telah didesakkan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu oleh asosiasi dokter.
Sebelumnya, mereka dikabarkan meminta agar pemerintah segera membayar tagihan rumah sakit atas perawatan tahanan Palestina -pelaku aksi mogok makan- yang sudah memasuki minggu keenam. Namun, spekulan menilai pembayaran akan tersendat karena krisis anggaran menjadi kendala di internal pemerintah “Israel”.
Setidaknya 65 dari 290 tahanan yang berpartisipasi telah dirawat di rumah sakit sejak kelompok pertama mulai mogok makan 24 April. Banyak diantara mereka merupakan tahanan administratif, yang dipenjarakan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun tanpa tuduhan.
Keluarga pemogok makan mengatakan mereka mendukung aksi para tahanan yang berani menanggung risiko.
“Suami saya dipenjara oleh “Israel” tanpa mengetahui mengapa dan kapan mimpi buruk ini akan berakhir,” kata Faraj Lamees, isteri Abdel Razeq, yang merupakan anggota dari faksi garis keras Organisasi Pembebasan Palestina dan telah menjadi tahanan administratif selama hampir delapan tahun, sejak penerapannya 20 tahun lalu.
Dihadapkan dengan aksi mogok makan Palestina, skala besar kedua dalam dua tahun terakhir, pemerintah “Israel” dzolim mempromosikan sebuah RUU yang akan memungkinkan hakim untuk sanksi pemaksaan makan jika hidup narapidana yang dianggap dalam bahaya.
Hal tersebut memicu penolakan dari lembaga kesehatan “Israel”. Medical Association “Israel” (IMA) mendesak dokter untuk tidak bekerja sama. “Ini bertentangan dengan DNA dari dokter untuk memaksa pengobatan pada pasien,” kata juru bicara IMA, Ziva Miral, Selasa (4/5). “Paksa makan adalah penyiksaan, dan tidak boleh ada dokter kita yang berpartisipasi dalam penyiksaan.”
Dia mencatat bahwa World Medical Association (WMA), payung untuk asosiasi medis nasional, menentang praktek amoral tersebut. WMA mengatakan sejak tahun 2006 bahwa “makan paksa tidak pernah diterima secara etis.”
Dewan Bioetika Nasional “Israel” juga telah mempertimbangkan dan memutuskan bahwa menentang RUU yang diusulkan.
Kelompok lain, Dokter untuk Hak Asasi Manusia-“Israel” (DHAM-I), menghubungi World Medical Association bulan lalu, meminta agar membantu menghentikan pemberlakuan undang-undang tersebut. Dalam sebuah surat kepada WMA, DHAM-I menegaskan kembali keprihatinan etisnya dan menambahkan bahwa “motivasi yang benar … adalah untuk mematahkan semangat dan protes dari para pemogok makan.”
Meskipun dihujani kritik, Netanyahu dilaporkan Haaretz mengatakan kepada kabinetnya pekan bahwa dia akan memastikan akan menemukan dokter yang akan berpartisipasi dalam pemaksaan makan. Netanyahu mencatat bahwa pemaksaan makan juga bisa dilakukan, seperti yang terjadi di kamp tahanan Guantanamo oleh AS kepada para tersangka militan.
Juru bicara Netanyahu, Mark Regev , menolak untuk mengomentari laporan tersebut, tetapi menegaskan pemerintah akan membayar tagihan rumah sakit.
Di lain pihak, Hadar mengatakan pemaksaan makan akan menjadi pilihan terakhir. Pemogok makan akan diwakili dalam sidang hukum dan dokter tidak akan dipaksa untuk berpartisipasi, katanya.
“Orang-orang melakukan mogok makan untuk alasan politik … dan hanya karenanya bisa tercipta kerusakan politik pada negara ini,” katanya. “Negara juga memiliki hak untuk menghentikan pemogokan.”
Qadoura Fares, seorang advokat untuk tahanan Palestina, mengatakan Palestina akan mendulang kecaman internasional terhadapap “Israel” jika undang-undang tersebut disahkan. Sungguh ini bumerang bagi “Israel”.
Sejauh ini, 65 pemogok makan telah dirawat di rumah sakit, tetapi tidak ada yang dalam kondisi terancam jiwa, kata Sivan Weizman dari Penjara Otoritas “Israel”. Dia tidak tahu berapa banyak yang telah menerima suntikan vitamin atau infus glukosa.
Keluarga menunggu dan khawatir, termasuk Amani Ramahi, yang suaminya -Mahmoud – dipenjara oleh legislator Tepi Barat dengan tuduhan sebagai anggota kelompok militan Islam Hamas. “Israel” mengkambing hitamkan Hamas atas tewasnya beberapa ratus warga “Israel” dalam serangan pada akhir 1980-an.
Ramahi mengatakan suaminya menyampaikan pesan dari penjara bahwa pemogok makan bertekad untuk melanjutkan aksi, “bahkan jika mereka harus mati (syahid), karena mereka ingin semua penderitaan mereka berakhir,” dengan indah Inshaa Allah. (adibahasan/arrahmah.com)