(Arrahmah.com) – Ada perbuatan-perbuatan asli warisan jahiliyah yang sampai kini tetap diusung orang. Tidak ditinggalkan, justru dilestarikan. Di antaranya adalah meratapi kematian (niyahah). Itu asli warisan jahiliyah, dilarang, bahkan dosa besar.
Yang termasuk niyahah, menurut sahabat Nabi shlalallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kumpul-kumpul di rumah orang yang kematian setelah dikuburnya mayit dan dibuatkan makanan untuk yang kumpul-kumpul itu.
Kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit serta menyediakan makanan buat yang kumpul-kumpul itu merupakan macam niyahah (meratap yang hukumnya dilarang), karena menyusahkan keluarga si mayit dan mengingatkan mereka kepada si mayit, juga bertentangan dengan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: ” كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ “
تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح
Jarir ibnu Abdillah Al-Bajali berkata:“Kami menganggap kumpul-kumpul ke (rumah) keluarga si mayit dan penyediaan makanan setelah penguburan si mayit merupakan bagian dari niyahah (meratap).” (Hadits Shahih riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Niyahah itu merupakan dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
اَلنَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ القِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْباَلٌ مِنْ قَطِرَانٍ
Artinya:”Wanita yang meratapi (mayit) jika dia tidak taubat sebelum dia meninggal maka dia dibangkitkan di hari kiamat (dalam keadaan diazab) dengan mengenakan pakaian dari cairan tembaga yang meleleh.”(HR. Muslim).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata di dalam Al-Umm:
وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ , وَهِيَ الْجَمَاعَةُ , وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ , وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى فِيهِ مِنْ الْأَثَرِ
“Saya membenci kumpul-kumpul (di rumah mayit) meskipun tidak disertai tangisan, karena hal itu mengingatkan kesedihan dan menimbulkan beban serta bertentangan dengan atsar.” (Imam As-Syafi’I, Al-Umm, juz 1).
Satu macam dari perbuatan asli warisan jahiliyah (yakni niyahah, di antara salah satu bentuknya adalah kumpul-kumpul di rumah orang kematian setelah dikuburnya mayit dan dibuatkan makanan untuk mereka yang kumpul-kumpul itu) saja sudah merepotkan umat Islam, bahkan menjadi ujian berat; apakah seseorang ingin ikut Islam secara baik atau justru ikut mengusung perbuatan asli warisan jahiliyah itu. Para pengusung perbuatan asli warisan jahiliyah pun bukan sekadar mengusungnya namun kadang sampai melontarkan perkataan yang menyakitkan kepada umat Islam yang tidak mau menyelenggarakan acara kumpul-kumpul setelah dikuburnya mayit: “Kok seperti nguburin kucing saja ya, habis itu tidak diadakan upacara apa-apa …..” .
Bagaimana kalau sampai perkataan mereka yang menyakitkan kaum Muslimin itu sampai tergolong mewarisi pula apa yang telah dilaukan oleh kafirin ahli kitab dan musyrkin? Karena Allah Ta’ala telah memberikan nasihat kepada Umat Islam:
{ لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ } [آل عمران: 186]
186. Wahai kaum mukmin, kalian akan mengalami ujian berkaitan dengan harta dan jiwa kalian. Kalian akan mendengarkan berbagai ejekan yang menyakitkan hati dari kaum Yahudi dan Nasrani dan juga dari orang-orang musyrik. Jika kalian bersabar menghadapi ejekan mereka dan taat kepada Allah, maka sikap semacam itu adalah amal shalih yang berat dijalankan. (Tarjamah Tafsiriyah QS Ali ‘Imran: 186)
Bagaimanapun, orang yang mengusung perbuatan asli warisan jahiliyah akan melakukan berbagai kesalahan. Lebih salah lagi ketika membela apa yang dilakukannya itu, pasti akan jatuh kepada kesalahan pula. Baik itu kesalahan karena berhujjah (berargumen) dengan menirukan hujjah dari luar Islam, maupun pakai hujjah berupa dalil dari Islam. Bila dari luar Islam, itu sudah jelas tak sesuai dengan Islam. Dan bila dari dalil Islam, pasti akan direkayasa, dicocok-cocokkan agar sesuai dengan yang jahiliyah. Ini justru lebih parah lagi.
Perlu diingat, sampai sejauh itu akibat dari mengusung dan mempertahankan perbuatan asli warisan jahiliyah. Padahal itu baru satu sub dari satu jenis warisan jahiliyah yakni niyahah. Sedangkan warisan jahiliyah bukan hanya satu macam itu yang sulit ditinggalkan, tetapi menurut sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada empat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang meratapi mayit, apabila ia wafat sebelum bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal.” (HR. Muslim no. 934).
Jangan ikut melestarikan
Setelah mengetahui duduk soalnya, silakan menyadari. Kita ber-Islam ini hanyalah mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengharapkan ridha dan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga betapa ruginya bila hanya demi melestarikan perbuatan asli warisan jahiliyah, justru agama Islam kita relakan untuk dikorbankan. Itu lebih buruk dibanding papatah yang menggambarkan, « beruk (monyet) di hutan disusukan, anak (bayi) di pangkuan dilepaskan ». Perbuatan asli warisan jahiliyah diusung dan dilestarikan, sementara itu Islam yang seharusnya dipegangi dan diikuti secara istiqomah justru diabaikan.
Sadarilah wahai saudara-saudaraku ! Jangan sampai ikut melestarikan perbuatan asli warisan jahiliyah !
Penulis: Hartono Ahmad Jaiz
(azm/arrahmah.com)