Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati kontra terorisme & Direktur CIIA
(Arrahmah.com) – Di sebuah acara bedah buku “Kami Jihadis, Kalian Teroris” karya ustad Rais Abu Syaukat, terpidana “teroris” dengan vonis mati (27April 2014) diGrogol Jakarta Barat, sempat saya presentasikan pentingnya penggunaan terminologi “teroris” dengan makna asal dari mana istilah tersebut muncul. Jika “teroris” padanan bahasa Arab yang dipakai (Arabisasi) “al irhab” dimana kata tersebut diambil dari kata rahiba-yarhabu-ruhban yang mempunyai arti menakut-nakuti, maka tidak sepenuhnya tepat dan bisa mewakili definisi “teroris” sebagai istilah (dengan makna ‘urf tertentu).Penggunaan kalimat “irhab” dengan konotasi sama pada istilah “teroris” justru sebagai bentuk penyempitan dan penyimpangan (tahrif) makna “irhab”. “Irhab” hakikatnya sebagai lafadz mustarak (multi interpertasi) dan tidak bisa dipaksa dengan konotasi “teroris” dengan makna ‘urf (istilah).Dalam nash-nash syara’ dan tataran praktis, aksi terorisme juga tidak pernah diajarkan oleh Islam. Rasulullah Muhammad SAW baik di fase Makkah maupun fase Madinah dalam perjuangan menyebarkan dan menegakkan Islam juga tidak pernah menjadikan aksi terorisme sebagai bagian strategi untuk meraih tujuan politiknya.Ada kalimat “irhab” yang dianggap dekat dengan istilah “teroris” ditemukan dalam nash syara’ itupun dalam konteks kepentingan jihad (perang), misalkan;(QS.al Anfal:60).
Dalam khazanah kajian hukum Islam, terorisme dan tindakan-tindakan derivatnya masuk dalam bab hudud, tepatnya kasus Hirabah atau quthaa’ al-thuruq. Hirabah adalah sekelompok teroris dari kalangan muslim, murtad, atau ahlu dzimmah yang dengan sengaja mempersenjatai dirinya dan bertujuan melakukan perampokan, pembunuhan, teror dan menyebarkan keresahan dan ketakutan ditengah-tengah masyarakat, termasuk diantaranya tindakan mereka dengan menguasai sebuah kota, menyandera penduduknya dan menghalangi mereka mencari pertolongan.Baik pelakunya berjumlah banyak atau sedikit dan dilakukan kaum bughot (separatis) atau quthaa’ al Thuruuq (pembegal/perampok).Bagi pelakunya berlaku hukum hudud dalam Islam.Oleh karena itu jelas bahwa jihad tentu bukanlah terorisme, dan terorisme bukanlah jihad.Karena hakikat keduanya tidak sebangun, ibarat pohon ia tidak identik mulai dari akar hingga daunnya.
Terorisme secara etimologis memiliki arti sebuah tindakan teror dengan menggunakan kekerasan fisik atau ancaman dengan penggunaan kekerasan untuk menciptakan rasa takut/cemas dan kekawatiran yang sangat (fear) adalah metode yang dipakai rezim hasil revolusi Perancis terhadap penentangnya. Untuk memenuhi katagori terorisme disana harus ada tiga (3) komponen utama; aksi kekerasan atau rencana penggunaan kekerasan, dilakukan dengan motif politik yakni mempengaruhi kebijakan politik tertentu, kemudian juga obyek sasarannya adalah random (bisa sipil maupun non sipil). Dari kontek ini, subyek (pelaku) bisa dilakukan oleh negara (state terrorism),individu atau kelompok (agitational terrorism).
Namun saat ini makna terorisme mengalami transformasi yang peyoratif.Terorisme sebagai istilah, ia produk sosial yang terikat pada konteks politik tertentu.Maka “hegemoni” adalah penentu (determinasi) definisi terorisme.Hegemoni menjadi komponen ke empat (4) untuk menentukan arah definisi secara politis.Meski terorisme dalam katagori “no global concencus” dalam definisi, namun pemaknaan dan menjadi “label” untuk siapa, sangat tergantung kepentingan pemegang “hegemoni”. Seperti hari ini, terorisme sudah menjadi istilah yang paling di manipulasi dalam sejarah kebijakan politik pemerintah Amerika Serikat dan di ekspor ke seluruh dunia.
Hegemoni Barat melahirkan terorisme dengan persepsi Inheren kepada sosok orang-orang muslim yang punya sikap politik dan ideologi yang dicap radikal atau fundamentalis kontra kepentingan Barat.Terlebih lagi bagi mereka yang mengangkat bendera jihad sebagai perlawanan atas tiap jengkal imperialism Barat.Yang naïf menurut saya adalah para penguasa di dunia Islam, secara membabi buta bersikap apologis. Mereka mengadopsi terminologi teroris lengkap dengan definisi politis versi Barat, kemudian dipakai sebagai alat untuk menjaga egoism status quo.Contohnya, bagaimana pemerintah AlJazair terhadap FIS, Mesir dan Saudi Arabiya terhadap Ikhwanul Muslimin. Al Qaida dihadapan Amerika Serikat dan sekutunya semua. Bahkan kontra-terorisme menjadi strategi untuk melegitimasi tindakan-tindakan butral kontra manusiawi terhadap pihak yang dianggap mengancam status quo. Padahal sejatinya hal tersebut sebagai tindakan kerdil, arogansi rezim sebagai upaya menghindari dialog rasional dan obyektif untuk menemukan solusi terhadap problem akut dan sistemik di dunia Islam.
Di Indonesia, proyek kontra terorisme 100% bisa dipastikan arahnya kepada kelompok Islam tertentu. Tidak hanya mereka yang mengangkat bendera Jihad dalam agenda perjuangannya, tapi juga di sasarkan kepada kelompok yang di cap radikal karena ia dianggap sebagai basis dan lahan subur persemaian teroris. Terorisme telah menjadi label “resmi” untuk kelompok Islam tertentu.Saya melihat fenomena tersebut, lebih memilih untuk mengatakan bahwa ini adalah tantangan bagi kaum revivalis (Islamis).Dimana para Islamis berhadapan dengan gurita hegemoni Barat yang di aminkan oleh para penguasa negeri-negeri Islam tidak terkecuali Indonesia. Ketika kaum Islamis mencoba menggeliat menuntut hak-hak dasar seara rasional, harus berhadapan dengan “sabda internasional” dan “sabda lokal” bahwa diri mereka adalah common enemy (musuh bersama) yang paling membahayakan dan harus dimatikan. Pemegang hegemoni baik di tataran global maupun lokal berijma'(mufakat) bahwa legal untuk menjagal kaum Islamis sekalipun harus dengan banjir darah dan hilangnya nyawa.Karena tindakan manusiawi atau tidak itu juga bisa disepakati, dan siapa yang paling kuasa maka dialah penentu “sabda” yang berlaku diterapkan.
Dulu Afghanistan menjadi ladang Jihad, berikutnya Iraq, kemudian alumni kaum Jihadis yang pernah terlibat disana sepulangnya ke negeri mereka sebagian besar mendapat stempel teroris atau minimal dalam daftar intelijen sebagai orang yang harus diwaspadai. Mereka berangkat Jihad dengan logika iman dan Islam Ideologisnya, sepulangnya mereka dihadapkan kepada hegemoni logika absurd “nation state” (nasionalisme)-sekuler. Jihad sebuah agenda mulia, ekspresi iman dan kewajiban menolong sesama saudara muslim yang terdzalimi. Kemudian dianggap menjadi sebuah tindakan kriminal bahkan pelakunya dilabeli teroris (ekstra ordinary crime).Para jihadis dimasukkan dalam kerangkeng istilah manipulatif yaitu “teroris” dan “terorisme”.Di tataran opini, terjadi kristalisasi penyesatan seolah jihad dan kaum Jihadis identik dengan teroris dan terorisme.
Dan terkini, dunia menyaksikan tragedi di negara Suriah. Terlepas dari faktor penyebab lahirnya tragedi tersebut yang pasti bahwa Suriah menjadi magnitude tersendiri bagi kaum jihadis dari seluruh penjuru dunia. Bahkan tidak sedikit dari kaum muslimin Indonesia hadir ke Suriah untuk misi kemanusiaan, maupun yang terlibat dalam front-front jihad melawan rezim Bashar Asad. Karenanya Suriah menjadi salah satu negara (tidak secara langsung) menyumbang daftar para jihadis kepada pihak intelijen dari negara mereka berasal, termasuk Indonesia.
Sementara dinamika politik kemanan domestik Indonesia dalam beberapa bulan terakhir sebelum dan setelah pemilu legistalif, terorisme tidak menjadi isu yang seksi dan menarik. Bahkan jelang pilpres belum tentu terorisme menjadi isu yang penting.Meski dihembuskan isu para teroris melirik pemilu. Artinya kelompok teroris punya kepentingan untuk menggagalkan Pileg (Pemilihan Legislatif) maupun Pilpres (Pemilihan Presiden). Bahkan saya dapatkan daftar nama-nama orang yang di stempel teroris berencana melakukan pengeboman sebelum dan sesudah pemilu.Tapi saya menduga ini hanyalah fash flag dari pihak tertentu yang bernafsu dengan proyek kontra terorisme.Terorisme dan kontra terorisme di Indonesia menurut saya tepat kalau dikatakan “proyek”.Layaknya proyek, dia bisa di desain tergantung kepentingan yang hendak diraih.
Maka dalam konteks sekarang, dengan kondisi kaum Jihadis Indonesia lebih berminat terjun di Suriah, efeknya pihak Densus88 maupun BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) akan banyak kehilangan “bahan baku” dan susah membuat narasi tentang aksi terorisme di Indonesia. Suriah magnitude-nya lebih kuat bagi kaum Jihadis dibanding harus aksi “jihad” di Poso, Aceh, Bima,Solo,atau di tanah Jawa lainnya. Cerita Santoso cs, dengan MIT-Mujahidin Indonesia Timur-nya tidak lagi menjadi sangat “sesuatu” dalam proyek kontra terorisme. Begitu pula dengan Mujahidin Indonesia Barat (MIB), atau cerita tentang kelompok Tauwhid wal Jihad (TWJ). Meskipun demikian, saya perlu garis bawahi jika kontra terorisme sebagai sebuah proyek maka bisa saja dimunculkan “teroristainment”seperti keinginan pengendali proyek atau oleh pihak yang bernafsu ambil keuntungan dalam proyek tersebut.
Dari sini kiranya kaum Islamis perlu sadar pada kemungkinan strategi culas, yaitu tidak menutup kemungkinan para jihadis Suriah kedepannya ketika kembali ke Indonesia mereka akan menjadi “deposit” bagi keberlangsungan proyek kontra terorisme. Selama konstelasi politik domestik Indonesia dinamikanya sebagai satelit dan artikulasi dari hegemoni politik imperialisme global Barat dengan Amerika Serikat sebagai juragannya, maka terorisme menjadi istilah konstan dan kedok kepentingan politik untuk menjaga hegemoni imperialism dan strategi memberangus kekuatan Islam.
Di beberapa negara para jihadis ditangkap terlebih dahulu sebelum mereka sampai di tujuan (Suriah) dengan pasal terorisme. Logikanya karena mereka hendak bergabung dengan front-front jihad yang oleh Amerika Serikat sebagian dari mereka sudah diumumkan sebagai kelompok teroris.
Para Jihadis Suriah dari Indonesia jika tidak ditangkap saat keberangkatannya maka sepulangnya ke Indonesia sangat mungkin akan di kriminalisasi dengan label “teroris”. Contoh terorisasi terhadap jihadis Suriah sudah diberlakukan di Inggris, Saudi Arabiya, Malasyia dan lainnya. Kita lihat saja nanti kebenaran hipotesa ini.Walhasil siapa sejatinya teroris dan hero ini sama artinya bicara siapa yang kuat dan siapa yang lemah, karena dari sana bentuk relasi di bangun dengan beragam istilahnya. Hari ini opini dibuat pincang dan menjadi minor jika mengatakan bahwa Barat (Amerika Serikat) dengan negara-negara satelitnya tidak lebih seperti pepatah “Maling Teriak Maling”. (arrahmah.com)