Mereka berakhir di sana tanpa uang sepeser pun setelah mengembara dari satu negara ke negara lainnya selama berbulan-bulan. Yahya, Aziz dan 150 warga Suriah lainnya mengalami kebrutalan di zoba perang dan berusaha bertahan hidup di sebuah taman kecil di pinggiran kota kelas pekerja di Paris, di belakang sebuah hotel, hanya beberapa meter dari jalan yang sangat sibuk.
Beberapa datang dari Homs, yang lainnya dari Aleppo atau Latakia, meninggalkan perang yang berlangsung selama tiga tahun yang memaksa sekitar setengah penduduk untuk meninggalkan rumah.
“Kami tinggal di sini sepanjang hari. Pada malam hari, beberapa berhasil mendapatkan uang untuk membayar kamar hotel, yang lainnya tidur di mobil atau Masjid,” ujar Yahya, mantan teknisi gigi dari Homs yang berbicara dengan bahasa Perancis yang sangat lancar, menunjuk ke pengungsi lain yang berbaring di taman di Saint-Ouen.
Di sebelahnya seorang pria berusia sekitar 44 tahun bersama istri dan anak-anaknya mengatakan bahwa ia meninggalkan segala sesuatu setelah Suriah menjadi zona perang, meninggalkan sebuah vila cantik dan melepaskan harapan untuk kembali.
Berkeliling dari Libanon, Aljazair, Mesir kembali ke Aljazair, Maroko, Spanyol dan terakhir Perancis. “Kami mengetuk setiap pintu,” ujarnya.
Cerita yang sama dimiliki oleh Aziz (54) yang meninggalkan Suriah pada akhir tahun 2012 dengan enam anak dan istrinya.
Keluarganya berkeliling Eropa sebelum berakhir di taman tersebut yang telah menjadi “markas” bagi mereka.
“Saya juga tinggal di Homs, di Bab Amr. Semuanya telah hancur di sana,” ujar Aziz.
Selama beberapa minggu di Perancis, keluarga Aziz tidur di sebuah hotel. Tapi beberapa hari terakhir, mereka berkemah di dalam mobil.
Yahya dan Aziz hanyalah setetes air dari lautan warga Suriah yang melarikan diri dari negara mereka.
Menurut laporan PBB, sedikitnya 2,6juta warga Suriah telah terdaftar sebagai pengungsi di negara tetangga di Timur Tengah.
Sebaliknya, Amnesti Internasional mengatakan akhir tahun lalu hanya 55.000 pengungsi Suriah telah berhasil mendapatkan apa yang disebut “Benteng Eropa” dan mengklaim suaka di Uni Eropa.
Untuk bagiannya, Perancis telah mengambil sekitar 3.000 pengungsi Suriah sejak awal konflik.
Di Saint Ouen, warga dan aktivis telah datang untuk membantu Yahya, Aziz dan pengungsi lainnya, mengumpulkan dana untuk membayar kamar hotel dan mengumpulkan pakaian dan obat-obatan.
“Mereka hidup sehari-hari dalam kondisi memprihatinkan. Mereka memiliki beberap aselimut, hanya itu,” ujar Khadija Bouehetta, seorang penduduk lokal.
Orang-orang Suriah pertama kali tiba di taman tersebut pada bulan Januari, jumlah mereka terus bertambah saat suhu menjadi lebih ringan.
Pejabat lokal mengatakan mereka akan mengirimkan tim ke lokasi minggu ini untuk membantu mengumpulkan permintaan suaka yang diperlukan untuk mencoba mendapatkan layanan dasar seperti perumahan dan perawatan kesehatan.
Sementara itu, relawan terlihat telah menyiapkan meja tidak jauh dari lokasi pengungsi di mana mereka memberikan bantuan makanan.
“Kami membawa makanan untuk mereka setiap hari. Hari ini couscous,” ujar Khadija yang sangat khawatir mengenai sanitasi di taman tersebut terutama untuk anak-anak.
Di antara pengungsi ada yang memiliki maslaah kesehatan termasuk Nawal al-Safar yang menderita penyakit kulit dan anaknya yang lahir tanpa lengan yang saat ini menderita demam.
“Saya tiba beberapa hari lalu, saya tidak mengenal siapa pun,” ujar Nawal melalui penerjemah.
Pekan lalu, tiga wanita hamil dibawa ke rumah sakit setelah kunjungan oleh dokter ke taman tersebut.
Organisasi kemanusiaan mendesak pemerintah Perancis untuk berbuat lebih banyak untuk membantu keluarga pengungsi sementara mereka menunggu permintaan suaka mereka diproses.
Yahya mengatakan ia masih memiliki harapan. “Kami harus mulai lagi dari awal, kami kehilangan segalanya. Tapi kami bekerja keras di Suriah dan kami memiliki keyakinan di Perancis.” (haninmazaya/arrahmah.com)
*diambil dari Daily Star