BANGUI (Arrahmah.com) – Pada saat normal, jembatan kayu reyot di setiap ujung jalan utama tanah merah di kota Boda adalah pintu gerbang ke toko-toko dan pasar yang ramai di kota pertambangan berlian di Republik Afrika Tengah.
Hari ini, jembatan-jembatan tersebut telah menjadi garis pembatas antara hidup dan mati untuk ratusan Muslim yang hidup di bawah pengepungan, dikelilingi oleh milisi Kristen anti-balaka yang bertekad untuk mengejar populasi Muslim di negara itu.
“Kami hidup di penjara,” kata Adou Kone, seorang penjahit. “Semuanya diblokir, tidak ada yang bisa masuk ke sini. Hal ini menyebabkan harga-harga bahan makanan sangat mahal … Hidup kami berada pada tahap kritis.” Sebagaimana dilansir oleh WorldBulletin, Sabtu (19/4/2014).
Jika mereka sampai melenceng melampaui salah satu jembatan tersebut, Muslim di Boda mengatakan bahwa mereka akan dibunuh, seperti nasib ribuan korban Muslim lainnya akibat kekerasan yang terus berlangsung meskipun pasukan penjaga perdamaian Perancis dan Afrika telah dikerahkan.
Bendera Perancis menggantung di beberapa gubuk dan kendaraan lapis baja tentara Perancis yang sesekali berpatroli di kota Boda, 115 km (70 mil) di sebelah barat dari ibu kota Bangui. Di lingkungan Muslim, sebuah spanduk ‘memuji’ pasukan Perancis bahwa penderitaan mereka akan menjadi jauh lebih buruk jika tidak ada pasukan Perancis.
“Kami bisa menunggu selama 10 tahun bagi mereka untuk meninggalkan kota ini. Dan jika mereka tidak pergi, kami akan tetap ada di sini, memegang posisi kami,” kata Kapten Dopani Firmin, kepala milisi anti–Balaka di Boda.
“Kami tidak bisa menerima hidup bersama dengan ummat Islam, dalam jangka panjang,” kata Firmin. “Ini hak kami untuk membunuh ummat Islam.”
PBB mengatakan bahwa lebih dari setengah populasi yaitu sebanyak 4,5 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, tetapi para donor memberikan kurang dari 30 persen dari $ 550.000.000 yang dibutuhkan untuk bantuan darurat.
Serangan terhadap petugas bantuan kemanusiaan asing di Bangui juga mempersulit pengiriman bantuan, di tengah kekhawatiran musim hujan yang akan datang yang akan semakin memperburuk kondisi kesehatan dan meningkatnya jumlah warga yang kekurangan gizi.
Adam Moussa, seorang petugas kesehatan yang beroperasi di sebuah kantor yang dulunya merupakan rumah seorang pedagang emas dan berlian di Boda, mengatakan beberapa minggu lalu bahwa empat orang per hari meninggal karena kekurangan gizi tetapi jumlah tersebut menurun menjadi satu orang meninggal setiap dua hari setelah bantuan dari Program Pangan Dunia PBB mulai menjangkau komunitas Muslim.
“Saya pergi untuk mengunjungi anak-anak yang menderita gizi buruk, gizi buruk yang sangat parah, dan kami menemukan banyak dari mereka, lebih dari 200 sampai 300 anak,” kata Moussa.
Kekerasan yang terus berlangsung di Republik Afrika Tengah telah menyebabkan ribuan Muslim menyelematkan diri ke negara-negara tetangga, meninggalkan rumah dan harta benda mereka, dan Muslim yang tersisa di negara yang dilanda konflik tersebut menderita kelaparan dibawah pengepungan milisi anti-balaka.
(ameera/arrahmah.com)