Oleh : Abdus Salam (Ketua Lajnah Siyasiyah DPD HTI Sulselbar)
(Arrahmah.com) – Pemilu Legislatif 9 April 2014 selain dipenuhi berbagai persoalan politik uang sebagaimana laporan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Juga dipenuhi dengan fenomena golput dan swing voters (massa mengambang). Bahkan ada sementara analisa yang mengatakan bahwa pemenang pemilu kemarin sangat ditentukan seberapa jauh mampu meraih suara dari swing voters. Meski belum ada survey pasca pemilu kemarin, berapa sebenarnya kuantitas riil swing voters. Namun cukup menjadi pertimbangan, hasil survey yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi yang mengatakan swing voters atau massa mengambang akan sangat mempengaruhi hasil pemilu legislatif 2014. Musababnya, menurut survei yang dirilis Indikator, kedekatan masyarakat dengan partai politik relatif kecil, hanya sekitar 14,8 persen. Artinya sejumlah 85,2 persen menunjukkan ketidak-dekatan masyarakat dengan partai politik relatif besar. Dan secara kasat mata, dengan melihat dan mencermati cuaca politik sekarang dimana krisis kepercayaan masyarakat cenderung tinggi pada politisi terutama anggota dewan maupun parpol, diduga menyebabkan tingginya swing voters.
Salah satu parpol yang diklaim paling sukses meraih suara swing voters adalah PDI-P. Dengan memanfaatkan daya tarik Jokowi, PDI-P disinyalir mampu mempengaruhi pengalihan suara swing voters ke arah partai berlambang banteng dengan moncong putih itu. “Pemenang pemilu adalah partai yang paling mampu mendekati swing voters,” kata Burhan dalam Rilis Survei Efek Kampanye dan Efek Jokowi: Elektabilitas Partai Jelang Pemilu Legislatif 2014 di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Jumat, 4 April 2014.
Dengan kenyataan seperti di atas maka pemilu 9 April 2014 dipenuhi dengan beragam persoalan antara lain : Pertama, golput yang tinggi sejumlah 34 persen versi LSI (Lingkaran Survey Indonesia) atau sejumlah 63.172.000 orang dengan jumlah pemilih : 122.628.000 orang dari DPT (Daftar Pemilih Tetap) : 185.800.000 orang. Kedua, tingginya swing voters yang ditunjukkan di atas dasar survey Indikatornya Muhtadi dari aspek ketidakdekatan masyarakat terhadap parpol sejumlah 85,2 persen. Jika diasumsikan bahwa 85,2 persen dari jumlah pemilih setelah dikurangi dengan jumlah golput dari total DPT yakni 122.628.000 orang. Maka swing voters pada kisaran sejumlah 104.479.060 orang. Ketiga, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) melaporkan kepada Bawaslu soal banyaknya pelanggaran saat pemungutan suara 9 April lalu, paling masif adalah politik uang (15/4/2014). Ini menunjukkan bahwa massa pemilih relatif dipenuhi oleh massa pragmatis yang dimanfaatkan oleh caleg dari berbagai latar parpol. Dengan kata lain, adanya kecenderungan pemilih memilih karena ikatan emosional di antaranya atas dorongan pemberian uang. Dan sedikit di antara pemilih memilih atas dasar dorongan kesadaran politik yang mendalam.
Sempurna sudah problem sistemik atas penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional terbuka dan multipartai 9 April kemarin yang menjadi pilar pokok demokrasi. Bukan saja berbiaya sangat tinggi baik dari sumber APBN, Parpol maupun Caleg. Tetapi juga menyisakan implikasi potensi stress atau gangguan kejiwaan pada caleg yang gagal. Membangun potensi semangat korup bagi caleg yang jadi karena telah mengeluarkan duit yang sangat banyak sebagaimana rilis beberapa survey yakni sejumlah antara 300 juta s/d 6 milyar. Dan potensi inkonstitusional sandaran hukum penyelenggaraan pemilu pasca dikabulkannya judicial review Efendy Ghozali Cs.
Pemilu legislatif 9 April 2014 untuk memilih anggota legislatif yang akan mengisi DPRD 1, DPRD 2 dan DPR RI menjadi dipertanyakan urgensinya. Apalagi banyak lahir produk legislasi merugikan rakyat dan berpihak pada kepentingan asing yang nampak terlihat secara substansi di dalam isi sekitar 76 undang-undang. Termasuk mempertanyakan urgensi anggota dewan sebagai kontrol dan koreksi penguasa, jika melihat kenyataan bahwa kuantitas anggota dewan mayoritas dari parpol penguasa atau yang berkoalisi dengannya. Dimana voting (suara terbanyak) biasanya menjadi mekanisme utama pengambilan keputusan politik.
Menjadi sebuah renungan secara mendalam untuk berpikir mencari solusi sistemik atas acuan penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berpemerintahan di tengah problem sistemik “Pemilu-Demokrasi”. Berusaha keluar dari jebakan kungkungan sistem yang dianggap sudah final namun selalu menyisakan persoalan sistemik. Dan mencoba berpikir out of box dan berani merubah mindset mengganti sistem yang dipraktekkan saat ini diganti dengan sistem yang berakar dari ideologi mayoritas bangsa di negeri ini yakni Al Islam. Yakni Islam sebagai sebuah bangunan hukum dan negara yang dikenal oleh sejarah sebagai Al Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bis showab. (arrahmah.com)