KAIRO (Arrahmah.com) – Dua kantor polisi di Kairo, ibukota Mesir, baru-baru ini telah berubah menjadi kamp penyiksaan untuk mahasiswa anti-kudeta, ujar laporan aktivis HAM dan saksi mata.
Sebuah kesaksian tertulis yang bocor dari markas polisi di Nasr City, Kairo, mengungkapkan rincian mengejutkan tentang penyiksaan terhadap mahasiswa oleh polisi Mesir untuk meminta pengakuan palsu. Omar Gamal Ibrahim Al Shoeikh, dikurung di kantor polisi di Nasr City, menulis kepada pengacaranya bahwa ia mengalami penyiksaan brutal oleh polisi setelah penangkapannya dalam perjalanan pulang dari kampusnya, lansir MEMO pada Senin (14/4/2014).
Omar meriwayatkan bahwa seorang petugas polisi menghentikannya di bawah todongan senjata ketika ia menuju rumahnya di Nasr city, memukulnya dan mencuri dompet serta ponselnya. Dia dibawa ke kantor polisi dan dikurung di lantai dua, di ruang tahanan yang disebut “kulkas” oleh para tahanan.
Menurut kesaksian Omar, dia diborgol dan diikat dari belakang, matanya ditutupi dengan sepotong kain merah, dan dia diberi setruman listrik di sekujur tubuhnya. Selama penyiksaan, Omar diinterogasi tentang protes mahasiswa, terutama yang mengatur dan aliran dana. Ketika para penyiksa tidak mendapatkan tanggapan yang memuaskan, mereka menggunakan cara yang lebih menyakitkan, penyiksaan seperti setruman pada bagian-bagian sensitif tubuh Omar, seperti ketiak, perut, ujung jari dan bagian pribadi. Dia juga dipukuli dengan tongkat di punggung dan bokongnya.
Omar menambahkan bahwa polisi menggunakan serangan seksual sebagai alat untuk mempermalukannya.
“Pelecehan seksual digunakan berulang, petugas meraba-raba bagian pribadi selama interogasi.” Setelah putaran penyiksaan seksual, petugas memaksanya untuk merekam kesaksian video di mana mereka mendikte kepadanya apa yang harus dikatakan. Kemudian Omar ditahan di sel isolasi sampai ia muncul di pengadilan.
Aktivis polisi Haitham Ghonim mengonfirmasi dalam pernyataan pers bahwa rekan-rekan Omar mengunjunginya Selasa pekan lalu dan menemukan bahwa ia tidak dapat berbicara dan berdiri dengan susah payah. Dia meminta mereka untuk menyewa pengacara untuk dirinya karena dia tidak memiliki pengacara selama interogasi. Dia juga ingin melihat ibunya.
Tahanan lain di kantor polisi kedua di Nasr City mengatakan dalam pernyataan pers bahwa polisi tidak hanya menggunakan penyiksaan, tetapi juga memaksa mahasiswa untuk menyanyikan lagu pro-Sisi untuk menghentikan penyiksaan.
Dia menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa yang ditahan di sana lebih dari 50 orang, lalu menjadi 35 setelah beberapa orang dibebaskan setelah menyanyikan lagu pro-Sisi sebagai syarat pembebasannya.
Aisha Gouda, salah seorang mahasiswi yang baru-baru ini dibebaskan juga mengungkapkan rincian penganiayaan polisi terhadap tahanan. Dia mengatakan bahwa di kamp penahanan Al Salam, mahasiswi dipaksa menyaksikan rekan-rekan pria mereka saat mereka dipukuli setelah dipaksa melepaskan pakaian mereka. Dia menambahkan bahwa petugas meraba-raba mereka melalui jendela saat tahanan tidur dan memaksa mereka untuk menyanyikan lagi pro-Sisi. (haninmazaya/arrahmah.com)