Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
(Arrahmah.com) – Angka golongan putih (Golput) atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2014 diduga lebih tinggi ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya. “Kami memprediksi angka golput kali ini mencapai 34,02 persen,” kata Rully Akbar, peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Rabu, 9 April 2014. Rully mencatat, angka golput pada pemilu 1999 hanya 10,21 persen. Pada pileg 2004 angkanya naik menjadi 23,34 persen dan pada pemilu legislatif 2009 naik lagi menjadi 29,01 persen. Kali ini, berdasarkan perhitungan cepat LSI, angka Golput 34 persen.
Analisis Rully, disertai dengan penjelasan sejumlah faktor penyebab tingginya angka golput. Pertama, persoalan administratif yang mana seseorang tidak terdaftar dalam suatu TPS. Kedua, alasan teknis seperti tidak ada waktu untuk mencoblos karena kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Ketiga, “Atau alasan politis yakni kepribadian seseorang yang tidak percaya lagi pada institusi pemilu, dan merasa tidak ada keterkaitan mereka dengan calon-calon atau partai,” kata dia.
Sedang CSIS dan lembaga survei Cyrus Network dengan perhitungan agak berbeda akhirnya menetapkan persentase pemilih yang enggan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum legislatif 2014. Dari hasil kalkulasi mereka melalui metode penghitungan cepat, tingkat ‘golongan putih’ pemilu tahun ini hampir menyentuh angka 25 persen. “Tingkat partisipasi pemilih 75,2 persen. Sementara yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 24,8 persen,” tulis peneliti CSIS Philips J. Vermonte, melalui keterangan pers, Rabu (9/4).
Sementara itu sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2014. Jumlah tersebut merupakan rekap perbaikan DPT yang dilakukan pada November-Februari 2014 yaitu sebanyak 185.822.507 pemilih. “Kita sudah menetapkan jumlah DPT 185,8 juta itu sudah fix. Sudah tidak mengalami perubahan,” kata Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah di Gedung KPU, Selasa (25/3/2014). Ini artinya jumlah golput versi perhitungan cepat CSIS dan Lembaga Servei Cyrus Network sejumlah 25 % dari 185.800.000 orang yakni sejumlah 46.450.000 orang. Jika mengikuti versi LSI yang diprediksikan sejumlah 34 % maka identik dengan sejumlah 63.172.000 orang.
Berdasarkan perhitungan Quick Qount Cyrus dan CSIS sebaran prosentase perolehan parpol yang dikombinasi dengan prediksi golput versi LSI sejumlah 34 % (63.172.000) dengan jumlah pemilih : 122.628.000 orang dari DPT (Daftar Pemilih Tetap) : 185.800.000 orang adalah sebagai berikut :
No |
Parpol |
Prosentase (%) |
Jumlah |
1 |
Nasdem |
6,90 |
8.461.332
|
2 |
PKB |
9,20 |
11.281.776 |
3 |
PKS |
6,90 |
8.461.332 |
4 |
PDI-P |
18,90 |
23.176.692 |
5 |
Golkar |
14,30 |
17.535.804 |
6 |
Gerindra |
11,80 |
14.470.104 |
7 |
Demokrat |
9,70 |
11.894.916 |
8 |
PAN |
7,50 |
9.197.100 |
9 |
PPP |
6,70 |
8.216.076 |
10 |
Hanura |
5,40 |
6.621.912 |
11 |
PBB |
1,60 |
1.962.048 |
12 |
PKP |
1,10 |
1.348.908 |
Sumber : CSIS dan Cyrus Network. Last Updated, 10 April 2014 18:39.
Golput adalah kekuatan politik laten yang suatu saat bisa menjelma menjadi kekuatan politik manifes. Dalam berbagai teori gerakan sosial politik menyebut bahwa lahirnya gerakan sosial politik pada awalnya berangkat dari antipati terhadap kesenjangan atau ketidakharmonisan antara harapan dan kenyataan. Namun pada proses berikutnya bisa jadi akan menggumpal menjadi perubahan yang didorong oleh kesatuan nilai-nilai bersama. Dan Indonesia pernah mengalami masa dimana “reformasi” menjadi “keyword” nilai-nilai perubahan sosial politik atau sence of collective yang mendorong terjadinya pergantian rezim. Dari rezim Orde Baru menjadi rezim Orde Reformasi. Yang ditandai dengan kolaborasi antara orang-orang yang pernah berada di jaman Orde Baru dengan orang-orang muda yang lahir dari proses kesejarahan reformasi.
Fenomena meningginya golput pada Pemilu 2014 dengan kecenderungan terus meningkatnya prosentase golput sejak Pemilu 1999 adalah sebuah indikator kekuatan politik laten. Dimana indikator tersebut bukan saja bisa disetarakan secara vis a vis dengan salah satu kekuatan parpol yang menjadi pemenang Pemilu 9 April 2014. Namun bukan tidak mungkin golput akan menjadi kekuatan politik yang setara bahkan melebihi kekuatan politik semua parpol kontestan pemilu. Sampai pada masanya dimana kekuatan ekstra parlemen mampu mendorong paksa dinamika proses politik intra parlemen. Dan bukan mustahil tensi reformasi pada 1998 yang berhasil merealisasikan pergantian rezim akan meningkatkan eskalasi politik menjadi tensi revolusi yang menuntut pergantian rezim sekaligus pergantian sistem di masa yang akan datang. Salah satu indikatornya adalah dengan melihat trend kecenderungan meningginya golput dan berubahnya golput dari kelompok yang pada mulanya lebih didorong oleh pragmatism menjadi ideologism. Kecenderungan ini bisa dilihat dari indikator lainnya, misalnya bahwa the Jokowi Effect pada pantauan perhitungan the Quick Qount beberapa lembaga survey ternyata tidak berhasil membawa implikasi signifikan terkatrolnya perolehan suara PDIP-P. Paling tidak menembus ambang batas the Presidential Threshold sejumlah 20 persen. Dan tidak mampu mengeleminasi kecenderungan meningginya golput dari waktu ke waktu.
Dengan melihat sebaran prosentase perolehan suara Pemilu 9 April 2014 kita bisa memprediksikan bagaimana profil pilpres dan kabinet yang lahir dari Pemilu 2014. Paling tidak terdeskripsikan secara global antara lain :
Pertama, capres dan cawapres yang berpeluang diusung dan didukung oleh mesin parpol adalah kolaborasi antara PDI-P dan Golkar. PDI-P yang sejak awal mengusung Jokowi dalam beberapa kesempatan survey mendapatkan tingkat elektabilitas yang tinggi, nampaknya tetap ngotot mengusungnya sebagai calon RI-1. Apalagi optimisme bertambah saat Jokowi bersedia secara langsung mengkomandani tim sukses pemenangan pilpres Juli mendatang. Sedang Golkar harus legowo untuk ditempatkan pada posisi calon RI-2. Kemungkinan besar pasangan rivalitasnya adalah Prabowo yang diusung oleh Gerindra sebagai pemenang urutan ke 3 pemilu 9 April 2014.
Kedua, jika terjadi kondisi sebagaimana pada point pertama maka profil kabinet mendatang pada prinsipnya masih sama dengan profil kabinet hasil pemilu 2009. Yakni kabinet Koalisi dibawah komando Jokowi. Cuma bedanya yang sebelumnya bersama Demokrat, Golkar memimpin Koalisi. Tahun ini bersama dengan PDI-P. Dan PDI-P yang sebelumnya terkesan berseberangan dengan Partai Pemerintah. Sekarang diprediksikan menjadi Partai Pemerintah bersama Golkar. Profil kebijakan Koalisi ala Jokowi alias PDI-P tentu tidak berbeda jauh dengan saat Kepemimpinan Megawati sebelumnya. Pertanyaannya adalah apakah statement yang disampaikan oleh Busyro Muqoddas di depan 126 delegasi berbagai perguruan tinggi akan terulang bahwa korupsi sistemik adalah hasil dari kabinet Koalisi SBY. Substansi korupsinya sama tetapi bedanya ke depan akan banyak korupsi yang dilegalisasi dan dilegitimasi oleh undang-undang. Produk legislasi akan dipergunakan sebagai alat legitimasi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk mengeruk keuntungan individu dan golongan.
Ketiga, profil dewan, dengan sistem pemilu proporsional terbuka dan multipartai pada pemilu kemarin membuka ruang terbuka bagi caleg dari berbagai latar belakang parpol yang incumbent lebih memiliki kans untuk mengisi panggung dewan dibanding dengan caleg pendatang baru. Caleg incumbent lebih memiliki amunisi kampanye dan pengalaman. Dengan profil dewan yang dominan dipenuhi oleh barisan incumbent ini maka proses politik maupun keputusan politik dalam bentuk produk legislasi badan legislatif tidak akan mengalami perubahan secara signifikan. Berarti masih seperti yang dulu. Meski pergeseran sedikit terjadi pada komposisi kuantitas anggota dewan pada masing-masing parpol seperti PKB mengalami sedikit penambahan sebaliknya Demokrat mengalami banyak pengurangan. Dan Nasdem pengisi anggota dewan yang baru, meski sebenarnya anggota dewan Nasdem adalah lahir dari proses mutasi beberapa anggota parpol yang lain sebelumnya.
Proses pileg dan pilpres Pemilu 2014 pada akhirnya bisa dipahami ke depan tidak akan banyak diharapkan menciptakan banyak perubahan performa keputusan politik yang mendatangkan perubahan mendasar dan sistemik atas berbagai persoalan sistemik yang dihadapi negeri ini. Berjalan seiring semakin mengakumulasinya ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi poilitik yang berimplikasi terhadap institusi pemerintah/negara. Mewujud dalam bentuk semakin rendahnya tingkat partisipasi politik pemilih dalam Pemilu alias Golput. Semakin mengkristal semakin menguat. Sepi senyap menunggu momentum meledak menjadi revolusi sosial politik. Berubah dari bermotif pragmatis menjadi bermotif ideologis. Berubah dari kekuatan politik laten menjadi kekuatan politik yang manifest.
Pertanyaan akhirnya adalah seberapa jauh political will para pengambil kebijakan negeri ini mencermati kondisi ini dan mau benar-benar serius merubah dan melakukan perbaikan negeri ini dengan mengacu pada ideologi keyakinan mayoritas bangsa ini. Ideologi yang datang dari Tuhan yang menciptakan aturan kehidupan manusia. Ingatlah Firman Alloh Subhanahu Wa Taalla : “Wahai Muhammad berdoalah: “Wahai Tuhan Raja dari segala raja. Engkau memberikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan martabat siapa yang Engkau kehendaki. Semua pertolongan dan kemenangan hanyalah dengan kekuasaan-Mu, Engkau Mahakuasa mengatur apa saja.” (QS Ali Imron : 26). Wallahu a’lam bis showab.
(arrahmah.com)